Hari itu di ruang konsultasi, Dr. Laras menerangkan diagnosisku: skizofrenia anak-remaja. Kata-katanya menembus telinga dan menetap di dada. “Kita perlu kombinasi antipsikotik atipikal dan CBT,” katanya lembut. Kalimat itu menandai awal dari perjalanan baru yang panjang—penuh kepasrahan, dan pelan-pelan, perlawanan.
Malam pertama menelan obat terasa seperti menenggak kabut. Aku membaca label kecil: 1 mg Risperidone sebelum tidur. Dosis itu perlahan naik menjadi 2 mg ketika gejala tak kunjung reda. Efek sampingnya datang tanpa undangan—kantuk yang merangsek, mulut kering seperti gurun, dan pagi hari yang terasa berkabut. Meski sempat merinding, aku tahu ini pilihan satu-satunya.
Beberapa minggu setelah diagnosis itu, aku mulai mencoba mempercayai kata-kata orang dewasa di sekitarku. Ibu selalu ada, menemaniku ke sesi terapi, membacakan buku tentang gangguan jiwa yang ia pinjam dari perpustakaan, dan mengajak bicara dengan sabar meski aku sering menjawab dengan diam.
Aku ingin mempercayainya—juga dokter, dan guru konseling, dan Paman yang bilang bahwa dengan terapi dan obat, aku bisa merasa “lebih baik”. Tapi mempercayai mereka berarti harus mengkhianati bagian dari diriku yang paling lama bersamaku: Ethan.
Menerima bahwa aku mengidap skizofrenia bukan seperti menelan pil dan semuanya beres. Itu seperti membakar peta yang selama ini kupakai untuk memahami dunia, lalu diminta berjalan di hutan yang sama tanpa arah baru. Setiap kali aku mengangguk dan berkata, “Iya, aku mengerti,” hatiku menangis karena tahu: mengerti bukan berarti siap. Kebenaran yang tiba-tiba begitu kasar membuat dunia terasa jauh lebih sunyi. Semua yang dulu menyertainya—kenangan, suara-suara, tawa Ethan—berubah menjadi bayangan samar yang semakin kabur.
Setiap Rabu sore, aku masuk ruang terapi. Dr. Laras membimbingku mencatat setiap kali detak jantungku berbalik arah—ketika bisikan di kepalaku menuduh dan ketakutan menyeretku. Aku belajar menantang pikiran: mencocokkan bisikan itu dengan kenyataan.
Aku menanyakan pada diri sendiri, “Siapa lagi yang mendengar?” atau “Adakah bukti fisik?” Teknik itu membuatku merasa setenang genangan air yang tercegah angin.
Seminggu sekali aku juga duduk dalam lingkaran kelompok terapi remaja. Delapan wajah terasing, semua membawa cerita halusinasi yang tak bisa diceritakan orang lain. Di bawah bimbingan psikolog, kami berlatih mengekspresikan ketakutan tanpa dijauhi—sebuah latihan keberanian yang aku butuh kan lebih dari segalanya.
Setiap kunjungan ke klinik, aku menanti hasil skala PANSS yang menilai seberapa keras bisikan itu menerpa pikiran. Angkanya perlahan menurun, memberi harapan. Meski lambat, kemajuan itu terasa seperti cahaya di ujung lorong gelap.
Aku mulai minum obat setiap malam. Efeknya menumpulkan segalanya. Warna menjadi lebih pudar, suara Ethan jadi lebih jauh. Terkadang aku merasa lega, karena tidak lagi dikejar suara-suara yang membuatku takut. Tapi di waktu yang lain, aku merasa seperti tubuhku bukan lagi milikku.
Perasaanku tidak sedalam dulu. Imajinasi yang dulu mengalir deras kini seperti sungai yang mengering. Setiap kali aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang besar, sesuatu yang tak bisa digantikan, aku merindukan masa-masa ketika semuanya terasa nyata, bahkan jika itu hanya dalam bayanganku.
Tetapi saat aku mulai berjalan "menuju kesembuhan", dunia tidak menjadi lebih ramah. Sekolah tidak memberi ruang untuk mereka yang berbeda. Bahkan, dunia terasa semakin tajam, semakin kejam. Teman-temanku yang dulu hanya diam kini menjadi lebih sinis. Seolah mereka tak pernah melihat sisi lain dari diriku—hanya sisi yang mereka anggap sebagai penyakit.
"Pagi, anak gila," sapa seseorang suatu hari dengan nada mencemooh. "Sudah minum obat, belum? Masih lihat setan nggak?"
Mereka menirukan suara-suara halus, berjalan dengan tangan melayang-layang, dan berkata, "Aku dengar Ethan di toilet!" sambil tertawa-tawa.
Ada yang menggambar karikaturku sedang bicara sendiri, lalu menempelkannya di papan mading tanpa nama. Semua itu menambah rasa kesepian yang menggerogoti hati. Mereka tidak mengerti, dan aku tidak bisa menjelaskan.
Aku duduk sendiri di kantin, menatap bekal yang tak tersentuh. Di kelas, aku seperti hantu—bisa dilihat, tapi tak ada yang peduli. Terkadang, kursiku sering diambil diam-diam. Saat aku duduk, mereka akan menyingkir, pura-pura takut. "Eh, jangan dekat-dekat. Nanti dilihatin hantu."
Setiap langkahku di lorong terasa seperti hukuman. Guru-guru mencoba membela, tapi tak bisa selalu ada. Beberapa bahkan bersikap canggung, seolah aku adalah masalah yang harus ditoleransi, bukan dipahami.
Saat aku mencoba ikut ekskul seni, seseorang berbisik, "Jangan kasih dia pisau atau kuas. Nanti Ethan disuruh bunuh kita."
Ketika aku lupa membawa tugas karena efek obat, guruku berkata, "Kita semua punya masalah, Rembulan. Tapi nggak semua berhalusinasi." Seolah aku hanya beban, dan itu semakin memperburuk perasaanku.
Mereka tidak tahu bahwa suara-suara itu, yang mereka sebut “halusinasi”, adalah bagian dari hidupku yang tak bisa mereka pahami. Itu lebih dari sekedar gambaran dalam kepala—itu nyata bagi aku. Dan itu adalah hal yang tidak bisa aku jelaskan.
Pulang ke rumah menawarkan pelita dalam gelap. Rumah adalah satu-satunya tempat aku bisa bernapas. Ibu, dengan mata lelahnya, selalu menyambut. Tangan lembutnya menepuk punggungku saat aku menceritakan efek obat dan strategi CBT yang kubawa dari sesi terapi. Dia tak menghakimi—dia hanya mendengarkan.
Tapi bahkan di sana, aku harus menahan perasaan bersalah karena membuat Ibu begitu cemas. Aku tahu ia tidak pernah mengeluh, tapi aku juga tahu ia menangis diam-diam saat aku tertidur. Lelah sekali rasanya. Rasa bersalah yang semakin menghimpit hati. Aku ingin melindunginya, membuatnya bangga. Tetapi aku merasa tak cukup kuat untuk menjadi seperti yang diharapkannya. Aku merasa aku telah merampas kebahagiaannya.
Suatu malam, aku menatap wajah Ibu yang tertidur di kursi dekat tempat tidurku, masih mengenakan baju kerjanya. Di tangannya ada buku tentang neurokimia otak remaja. Saat itu aku sadar: Ibu tidak hanya memperjuangkan anaknya. Ia memperjuangkan pemahaman atas sesuatu yang bahkan aku sendiri belum mengerti.
Ibu telah belajar banyak tentang kondisiku, lebih banyak dari yang kuinginkan. Dia mencari tahu segala hal tentang skizofrenia, tentang perawatan jangka panjang, tentang perubahan otak, dan bagaimana menanggapi halusinasi. Tapi aku tahu ada yang lebih dari itu yang dia perjuangkan—dia berjuang untuk membawaku keluar dari kegelapan yang hanya kami berdua yang tahu betapa dalamnya. Dan itu membuatku merasa lebih dekat dengan ibu, meski aku merasa terperangkap di dalam diriku sendiri.
Sejak malam itu, aku mulai menuliskan catatan kecil setelah sesi terapi. Aku mencatat apa yang kupelajari tentang pikiranku, dan kadang, aku menulis surat untuk Ethan. Surat-surat itu kubaca diam-diam sebelum tidur.
“Ethan, aku sedang belajar. Bukan untuk menghapusmu. Tapi untuk tahu di mana kamu berdiri. Jika kamu hanya di kepalaku, aku ingin tahu kenapa kamu begitu nyata. Dan jika kamu nyata, aku ingin bisa menjelaskan itu tanpa mereka menyebutku sakit. Kumohon, jangan pergi. Tapi izinkan aku tumbuh.”
Malam-malam kugunakan untuk menulis. Jurnal medis dan emosional berpadu di halaman: catatan dosis, catatan mimpi, surat untuk Ethan. Dalam surat itu kuberitahu dia: “Aku belajar memahami pikiran, bukan memusnahkan kenangan. Jika kau hanya ada di kepalaku, aku ingin tahu mengapa kau begitu hidup. Dan jika kau nyata, aku ingin bisa menjelaskan itu tanpa disebut gila.”
Setiap hari adalah perjuangan. Untuk bangun. Untuk minum obat. Untuk tidak menjawab saat suara-suara datang. Untuk tidak menangis di kelas saat tawa mereka seperti pisau. Untuk tetap percaya bahwa meski otakku bermain-main denganku, itu bukan berarti aku lemah. Aku tidak tahu apakah ini artinya aku mulai sembuh. Tetapi mungkin, menerima bahwa aku sakit bukan akhir dari diriku—melainkan pintu menuju bagian lain dari diriku yang lebih kuat.
Hari demi hari, aku belajar merawat otakku seperti merawat taman rahasia. Menyiram rasa takut dengan bukti logis. Menyingkirkan gulma ejekan dengan kebisuan yang lebih kuat dari amarah. Aku merasakan kekuatan baru tumbuh—bukan dari hilangnya suara-suara, melainkan dari kemampuanku bertahan meski dunia menolak memahami.
Aku belajar untuk menjadi bayangan. Untuk diam. Untuk tidak membuat orang lain merasa ‘tidak nyaman’ dengan kehadiranku. Aku berhenti menggambar. Berhenti menulis puisi tentang bintang atau roh penjaga hutan. Karena semua itu dianggap “symptom”, bukan ekspresi.
Aku berhenti berbicara tentang hal-hal yang aku yakini. Semua hal itu dianggap hanya sebagai halusinasi, sesuatu yang harus diabaikan. Bahkan saat aku ingin berbicara tentang Ethan, aku merasa seperti aku melawan angin
Tapi di dalam hati, aku tetap mempertahankan semua itu. Aku memilih untuk diam, bukan karena aku setuju, tetapi karena aku tidak tahu bagaimana lagi cara menyampaikan semuanya tanpa dipandang aneh.
Yang paling menyakitkan adalah aku harus berhenti menyebut nama Ethan. Berhenti menulis di jurnal harianku. Bahkan menghindari tempat-tempat kenangan kami. Tempat-tempat yang dulu penuh tawa, yang kini terasa seperti sisa kenangan yang menggelap. Mereka hanya menjadi bayangan yang semakin sulit digapai.
Namun di dalam diriku, sebuah perlawanan kecil terus berbisik: bahwa sesuatu dari masa lalu itu masih nyata. Bahwa mungkin Ethan bukan sekadar ciptaan. Bahwa mungkin, masih ada celah untuk pulang ke dunia yang telah disangkal oleh dunia ini.
Aku merasa, meskipun dunia ini memaksaku untuk menghilang dalam bentuk yang baru, sesuatu dari masa lalu itu masih hidup. Sebuah ikatan yang sulit dijelaskan, yang lebih dari sekedar kenangan.
Perlahan, sosok Ethan lenyap dari hidupku. Dan bersama kepergian Ethan, aku merasa kehilangan bagian terpenting dari diriku sendiri. Ada sesuatu yang hilang. Bukan hanya sosoknya, tetapi juga kenyamanan yang ia berikan selama ini—kenyamanan yang kuanggap nyata meskipun dunia berkata sebaliknya.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami bahwa perasaan ini, perasaan kehilangan itu, adalah bagian dari proses yang lebih besar. Sebuah perlawanan terhadap apa yang dunia inginkan, dan sebuah penemuan kembali terhadap diri sendiri.
Mungkin, aku akan terus berjuang dengan ingatan tentang Ethan, dengan bayangannya yang terkadang muncul dan menantang keyakinanku. Namun, mungkin ini adalah langkah pertama menuju suatu bentuk penerimaan yang lebih besar—bukan hanya terhadap diriku, tetapi terhadap kenyataan yang lebih luas tentang siapa aku sebenarnya.
Karena kesembuhan bukan tentang menghapus apa yang ada dalam diri kita, tetapi tentang belajar untuk hidup berdampingan dengan kenyataan—meskipun kenyataan itu datang dalam bentuk yang tidak selalu kita pahami.