Awan yang menangis begitu deras membuat hawa menjadi lebih dingin di Yogyakarta. Apalagi saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju tebing Breksi, dinginnya luar biasa menusuk hingga rongga terdalam. Aku pakai kembali jaket yang sebelumnya aku lepas saat berada di candi Prambanan. Kaki dan tanganku seperti menyerap semua udara dingin, aku berusaha menahan dingin itu tetapi karena aku memiliki penyakit anemia aku tidak berhasil menahan dan akhirnya tubuhku menggigil. Melihat tubuhku yang menggigil, Zura mematikan AC yang berada tepat di atasku.
“Sudah lumayan hangatkan?” tanya Zura yang kemudian aku jawab dengan anggukkan kepala. Entah kenapa rasa dingin ini begitu menyakitkan bagiku.
Perjalanan menuju tebing Breksi begitu curam, apalagi di tengah hujan deras. Sangat mencekam! Segera aku lantunkan zikir, berharap agar hati dan pikiranku tenang. Semua perasaanku tentang kematian menjalar di pikiranku.
Apakah takut dengan kematian itu manusiawi? batinku. Ketakutan seakan melahap pikiranku dan menyuruhku untuk membayangkannya. Takut, aku takut hari ini aku wafat sementara aku belum menyiapkan bekal dengan baik untuk di akhirat nanti. Ah, iya juga, suatu hari nanti aku pasti akan berpulang. Kenapa aku baru sadar sekarang?
Aku kembali teringat dengan surat yang dulu aku hafalkan untuk menjadi pelengkap saat presentasi agama kelas tujuh. Surat yang berhasil menggetarkan hati dan pikiranku saat itu dan saat ini.
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Maka barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran: 185)
Aku menghela nafas panjang, sekelebat pikiran tentang cintaku pada Biru tiba-tiba muncul. Aku terdiam—menyadari bahwa saat ini cintaku pada Biru hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan pikiranku saja. Lebih baik, untuk saat ini aku tidak memikirkan cinta, aku akan fokus hubungan dengan Tuhanku dan keluargaku. Karena, aku tidak tahu kapan aku akan tiada.
Akan aku biarkan perasaan cinta ini, karena cinta bukanlah hal yang salah dan terlarang. Cinta akan menjadi salah ketika membebaskannya hingga menjadi monster yang menghantui dan menggoda kita untuk selalu memikirkannya dan hal yang membuang-buang waktu lainya. Bahkan, cinta yang berubah menjadi monster dapat membahayakan terkhususnya perempuan.
Aku tarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Sungguh, aku sangat berterima kasih pada Tuhanku yang telah mengingatkanku melalui perjalanan ini. Cinta-Nya memang sangat romantis.
Beberapa menit kemudian, sopir memarkirkan bus. Sepertinya kami sudah berada di tempat parkiran. Tetapi, guru pendamping kami berbicara dengan sopir di depan.
“Sepertinya, anak-anak kami gak bisa melihat tebing Breksi karena hujan,” ucap guru pendamping.
“Sabar pak, kita bisa tunggu hujan reda,” ucap sopir.
“Baiklah, jika sudah 40 menit berlalu kita tidak jadi ke tebing Breksi.”
Kami tidak heboh mendengarnya karena kami tidak tahu seindah apa tempat wisata ini “Tebing Breksi” dari namanya saja seakan mengajak kami untuk mendaki dan hal-hal repot lainnya. Biasa, gen Z. Generasi ini, terkhususnya generasi Z yang ada di sekolah kami itu 85% remaja jompo karena kurang gerak dan suka rebahan saja. Memang, itu pola yang tidak baik dan tidak boleh di tiru. Kalau anak-anak muda di Indonesia semuanya sakit, Indonesia tidak akan maju-maju dan tidak bisa meraih cita-cita yaitu Indonesia emas 2045 yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang.
Rasanya bosan menunggu awan berhenti menangis. Segera aku buka handphone dan melihat media sosial. Saat aku buka, sebuah postingan membuat mataku terpaku. Postingan itu bertuliskan “Cinta sejati adalah cinta terhadap Allah. Kenapa? Karena, cinta-Nya menyelamatkan bukan melukai. Bahkan, saat kamu Melupakan-Nya ia akan menunggumu kembali dan membukakan pintu maaf yang sangat luas.” Hatiku terasa hangat walau cuaca mendingin karena hujan.
Tak lama kemudian, aku melihat biru yang sedang membeli sesuatu di dekat parkiran. Aku tarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Cinta masihlah ada, tetapi aku akan berusaha untuk tidak terlalu memikirkan cinta yang belum pasti dan bisa saja menenggelamkanku ke dalam hal yang Allah larang.
Aku tampar pelan pipiku. Bismillah! Bisa! batinku. Zura yang melihatku pun terheran.
Beberapa menit pun berlalu, para guru pendamping memutuskan untuk berfoto bersama saja karena awan masih terus menangis. Kami akhirnya berfoto bersama lalu kembali ke bus dan melanjutkan perjalanan kami.
Kini, tak ada lagi lagu Jawa yang dikumandangkan di bus, melainkan shalawat yang terus bergema saat kami menuruni jalan terjal.
“La pimpin doa!” ucap Zura yang membuat keningku mengerut. Tiba-tiba saja Zura menyuruhku memimpin doa padahal sebelumnya ia terlihat santai saja.
“Kok aku?”
“Kamu kan paling tinggi nilai agamanya.”
“Iya, benar itu,” timpal Aqila. Aku menghela nafas panjang. Aku lihat ke arah kursi belakang, mereka hanya diam menatapku. Tidak ada yang menolak, mereka diam dengan wajah yang seakan berkata ‘terserah kamu’.
“Huh, baiklah.”
Aku pimpin doa dengan suaraku yang agak ditinggikan agar siswa di kursi bagian belakang terdengar. Para siswa mengaminkan doaku yang membuat pipiku bersemu merah. Pertama kalinya aku memimpin doa di depan banyak orang yang tidak aku kenal. Rasanya aku akan sangat malu saat sudah pulang dari study tour bahwa aku memimpin doa.
Mendadak mobil bus terombang-ambing bak perahu yang terkena ombak besar. Para siswa menjerit-jerit sembari berpegangan pada kursi agar tidak terjatuh. Tentulah kami takut bukan main, kecuali anomali berjenis kelamin laki-laki yang malah mengambil ponsel lalu berperang melawan musuh di handphonenya, ya apalagi kalau bukan bermain game. Aku melihat mereka tertawa-tawa sembari maracau tak jelas.
“Suka-suka mereka saja,” ucapku yang membuat Zura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Aku melihat ke arah jendela yang dipenuhi oleh tangisan awan yang membekas, begitu sejuk dan indah saat dipandang. Tak lama kemudian, aku lihat jurang yang dipenuhi pohon-pohon yang hijau. Melihat pohon-pohon di jurang membuatku teringat IKN, bagaimana ya kabarnya sekarang? Aku khawatir Kalimantan yang merupakan paru-paru dunia akan rusak akibat pembangunan tersebut. Aku tahu, pembangunan IKN memiliki visi sebagai kota hijau, cerdas, dan berkelanjutan, yang diharapkan dapat memberikan solusi terhadap masalah lingkungan. Tetapi, aku tetap khawatir. Jujur saja, karena berbagai masalah yang dilakukan oleh oknum, aku jadi kesulitan percaya terhadap pemerintah.
Aku menghela nafas panjang. Entah kenapa, hari ini aku banyak menghela nafas. Jika aku disuruh menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini, aku juga bingung. Sedih, lega, bahagia, dan takut, semua perasaan itu muncul hari ini. Apa pun itu, aku tidak akan hancur dan aku akan terus mencoba agar tidak tenggelam pada perasaan.
Bus terus memecah belah jalan di tengah tangisan hujan, demi perjalanan kami menuju wisata selanjutnya. Tidak sia-sia aku ikut study tour karena di sini aku belajar banyak hal.