Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perjalanan yang Takkan Usai
MENU
About Us  

“Hei, mau duduk bareng?” ucap salah satu siswi yang membuatku sedikit senang dan kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Kursi berderit ketika aku menariknya, membuat suasana semakin canggung. Tak lama kemudian, tangannya disodorkan kepadaku yang membuatku menatapnya.

“Aku Agina, kamu?” Perlahan aku raih tangan itu dan kemudian berjabat tangan dengannya.

“Laila.” Setelah itu kami terdiam, tidak tahu ingin mengucapkan apa lagi. Saking heningnya, suara jam dinding pun sampai terdengar di telingaku, bahkan cecak menertawakan kami. Aku benci canggung, batinku. Siswa berdatangan, namun kelas ini tetap sunyi—seolah kecanggungan ikut melayang dan menyatu dengan atmosfer. Beberapa menit kemudian, salah satu guru perempuan memasuki kelas.

“Halo siswa kelas tujuh! Selamat sudah menjadi siswa SMP ya!” Begitu ceria dan riang gembira. Aku hanya bisa berharap energiku tidak tersedot olehnya.

“Untuk pertemuan pertama BK, silakan tulis apa pun tentang kalian. Entah itu sedih, bahagia, bebas!”

Tentangku? Tidak ada yang menarik, karena semua tentangku itu kelabu, batinku. Aku menghela nafas sesaat lalu menuliskan salah satu yang mengganggu pikiranku. Aku buka buku BK yang telah aku siapkan kemudian menulis perlahan.

Semenjak kejadian yang membuatku depresi, aku tidak bisa bersosialisasi lagi seperti dulu. Bicara dengan percaya diri dan ceria. Aku ... harus bagaimana?

Buku BK segera aku tutup dan mengusap mataku. Aku tidak boleh menangis! Esoknya, buku BK dikembalikan. Ternyata, aku mendapatkan balasan di bawah tulisanku.

Tetap semangat! Perlahan-lahan saja dan selalu ingat kamu tidak sendiri.

Saat melihatnya aku tertawa lega dan setitik air mata yang aku tahan akhirnya mengalir juga. Baiklah, perlahan-lahan saja, aku akan belajar kembali--memahami makna dunia.

“La!” Zura hampir berteriak yang membuatku terkejut bukan main. “Dari tadi aku panggil, kamu nggga denger?”

Hehe, tadi bengong bentar. Ada apa? Kenapa? Bagaimana? Wahai saudari Zura.”

“Boleh aku pinjam chargermu ngga?”

“Boleh, bentar ya.” Segera aku cari charger di tas kecil yang aku bawa.

“Ini.”

“Oke, terima kasih.”

Aku melihat ke arah jendela, ternyata banyak gereja sebelum jalan Malioboro. Arsitektur gereja itu seperti bergaya Eropa dan terlihat indah. Kini, awan sudah tidak menangis dan menghiasi langit dengan senja yang begitu elok. Aku jadi tidak sabar ke jalan Malioboro.

Saat matahari lelah dan akhirnya tertidur, kami baru sampai dan sedang memikirkan bus. Tanah yang di basahi oleh tangisan awan mengharuskan kami untuk berhati-hati saat berjalan.

Jika terpeleset pasti malu sih, batinku. Tak berselang lama, aku mendengar suara ‘srek’ halus dan saat aku menengok ke belakang, salah satu siswa angkatan kami terpeleset.

“Astaghfirullah.” Kemudian, yang melihat siswa itu terpeleset pun tertawa. Aku pun sedikit bingung karenanya. Memang itu lucu, tetapi apa boleh tertawa ya? Aku putuskan untuk segera pergi ke jalan Malioboro agar bisa pulang lebih cepat. Perutku meronta-ronta sedari tadi.

Saat aku menginjakkan kaki tepat sebelum papan yang bertuliskan Malioboro, aku merasakan hawa yang aneh. Rasanya, aku kembali ke masa lampau di mana pala, cengkeh dan rempah-rempah lainnya diburu oleh negeri asing. Hawa ini seakan mengatakan bahwa tempat ini adalah istimewa. Aku lihat lampu jalan yang bercahaya yang berpendar begitu indah.

“Jadi ... ini Malioboro,” ucapku. Mataku melirik ke sana kemari. Semua terasa begitu menawan. Hingga, aku merasa ada yang menatapku begitu erat. Saat aku melihat ke arah belakang, terlihat Biru yang sedang tersenyum. Melihat aku menatapnya, Biru langsung memalingkan wajah dan terlihat berpura-pura mengobrol dengan temannya.

Engga mungkin kan, batinku. Aku menggaruk-garukkan kepala lalu aku lanjut berjalan. Aku sudah berjanji untuk tidak terlalu memikirkan cinta, karena itu membuang-buang waktu dan pikiran. Rumit sekali yang dinamakan cinta ini.

Tak lama kemudian, awan menangis kembali. Aku tetap terus berjalan santai seperti tidak ada yang terjadi. Aku nikmati tetes demi tetesan rintik air matanya.

 Menangislah! Menangislah awan! Seperti air mata yang aku tumpahkan saat perjalanan menuju tebing Breksi, kamu juga butuh menangis. Aku dan kamu, kita harus belajar damai pada diri sendiri, batinku.

Zura, Aqila dan Rini yang melihatku menikmati rintik hujan, mereka terheran akan kelakuanku.

“Kamu lagi kenapa?” tanya Aqila yang membuatku tersenyum kecil.

“Aku lagi berdamai,” gumamku yang membuat kening Aqila, Rini dan Zura berkerut.

“APA?” mereka bertanya serempak. Sepertinya mereka tidak mendengar jelas apa yang aku katakan .

“Ngga mau kasih tahu. Bye!” Aku berlari meninggalkan mereka bertiga. Akhirnya aku bisa tertawa lepas, aku tidak terikat dengan masa lalu!

“Aku baru tahu Laila bisa kayak begitu, apalagi tertawa lepas,” ucap Aqila

“Aku juga,” ucap Rini.

Yah, apa pun itu kita kejer Laila kalau dia tersesat bagaimana?” ucap Zura yang membuat Aqila dan Rini saling berpandangan.

“Walah iya,” ucap Aqila dan Rini berbarengan.

“Aku gak bakal tersesat!” Aku berhenti berlari kemudian berbicara dengan nada sedikit teriak untuk menjangkau mereka yang jaraknya sekitar 6 meter.

Buset, pendengaran kamu tajam sekali,” ucap Zura.

“Alhamdulillah,” ucapku sembari tersenyum. Kemudian, Zura, Aqila, dan Rini menghampiriku.

“Jadi, kita mau cari oleh-oleh di toko mana?” tanyaku yang membuat Zura menggaruk-garukkan kepala.

Hmm, kita lihat-lihat saja dulu?”

“Oke.”

Kami berjalan sembari celingak-celinguk seperti mencari seseorang yang hilang. Padahal, kami kebingungan setengah mati karena toko di Malioboro sangat banyak dan setiap toko bagai lautan manusia.

“Memang ya, kalau di Malioboro itu bukan banjir karena air tetapi banjir manusia,” ucap Aqila yang membuat Aku, Zura dan Rini menengoknya dan kemudian tertawa bersama. Tak lama kemudian, kami berhenti karena ternyata sudah tidak ada toko lagi di depan sana. Kami pun tertawa karenanya.

“Saking bingungnya kita malah jalan-jalan gak jelas,” ucap Rini.

“Yaudah, yuk kita balik lagi,” ucap Zura yang kemudian diangguki oleh kami bertiga. Kami putar balik sembari celingak-celinguk kembali. Hingga tak lama kemudian aku pegang tangan Zura lalu menunjuk sebuah bangunan seperti mal.

“Mau ke situ?” tanyaku.

Hmm, boleh,” jawab Zura.

Kemudian, kami memasuki mal itu. Betapa terpesonanya aku ketika melihat arsitektur bangunan yang terlihat seperti zaman dahulu. Banyak yang berjualan gelang manik-manik yang membuat Zura, Aqila dan Rini terpesona. Sedangkan aku terpaku pada sebuah baju batik yang begitu indah dan berwarna biru, kesukaanku! Namun, aku tidak lagi terpesona ketika salah satu pembeli menanyakan harganya dan kemudian penjual menjawab bahwa harganya 300 ribu. Aku menghela nafas kasar lalu aku melihat ke arah atas, ternyata ada banyak toko yang menjual batik.

“Zura, aku ke atas dulu ya mau lihat-lihat baju,” ucapku.

“Oke.”

Aku menaiki tangga menuju lantai atas. Langkah kakiku terdengar dan bergema. Para penjual bersiaga siap menawarkan berbagai macam barang pada seseorang yang menaiki tangga. Setelah aku pijak tangga terakhir semua pedagang bersemangat.

“Neng ini 100 ribu dapat 3 loh.”

“Neng gelangnya.”

“Topinya Neng,”

Telingaku hampir pecah mendengar semua promosi para pedagang. Maaf saja, saat ini ia belum menjadi ibu-ibu, ia tidak akan tergiur diskon apa pun. Tak lama kemudian, aku melihat ke arah penjual baju batik yang berada di ujung. Baju batik berwarna biru, walaupun desainnya sederhana entah kenapa warna biru itu mengingatkanku pada warna laut yang biru dan tenang.

“Permisi, baju itu berapa ya?” tanyaku sembari menunjuk baju yang membuatku terpesona.

“Oh itu 85 ribu dek,” jawab penjual.

“Boleh saya tawar 80 ribu tidak?” tanyaku kembali sembari cengengesan.

“Boleh dek! Mau dicoba dulu?” Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian pedagang itu menyerahkan baju indah ini padaku. Segera aku mencobanya, ukurannya pas! Baiklah aku akan membeli dirimu wahai baju indah!

“Oke Mba saya beli ini,” ucapku yang membuat penjual itu senang dan sigap ia membungkuskan baju itu dan menyerahkannya padaku. Kemudian, aku menyerahkan uang 100 ribu dan mendapatkan kembalian 20 ribu. Ah! Jadi ini ya kenapa semua orang senang berbelanja, karena entah kenapa merasa bahagia membeli apa yang disukai.

“Sudah selesai?” tanya Zura.

“Sudah!” ucapku sembari tersenyum senang.

“Ayo kita kembali ke bus!”

Kami berjalan dengan langkah pelan, menikmati angin dingin di Malioboro. Suatu saat nanti, mungkin aku akan kembali ke sini bersama keluargaku saat aku sudah sukses dan kami akan menikmati indahnya jalan Malioboro. Angan-angan yang indah, tetapi angan-angan itu akan aku wujudkan dengan cara belajar dengan sungguh-sungguh!

Setelah memasuki bus, aku memeluk baju batik ini dan kemudian aku terlelap.

“Kenapa kamu suka warna biru?” tanya Biru yang membuatku mengerutkan kening sebentar memikirkan jawabannya. Anak laki-laki kecil ini selalu membuat pertanyaan entah itu hal yang simpel atau yang paling kritis, semua ia tanyakan.

“Mungkin karena namanya sama dengan namamu?” Perkataan yang aku ucapkan secara tidak sadar sepenuhnya membuat pipi dan telinga Biru bersemu merah. Melihat Biru seperti itu pun aku tertawa-tawa.

“Sudahlah, ayo kita tanding sepakbola lagi!” ucapnya sembari bersedekah dada.

“Ayo!” Sepertinya dia menganggapku rival karena ia terus kalah dalam permainan sepakbola denganku.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Warisan Tak Ternilai
485      178     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Langit Tak Selalu Biru
69      59     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Help Me Help You
1730      1025     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
116      93     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Merayakan Apa Adanya
402      289     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Batas Sunyi
1823      819     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Fidelia
2073      894     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Andai Kita Bicara
575      459     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Langkah Pulang
376      275     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...