“Ayah!” Aku berlari dengan secepat mungkin untuk meraih ayah dan berniat memeluknya. Ayah pun tertawa kecil ketika melihatku berlari menghampirinya. Dengan sigap ayah memelukku dan tak lama kemudian menggendongku.
“Yey! Ayah berhasil tangkap Ila!” ucap ayah yang membuatku cengengesan. Tangan ayah begitu besar, entah kenapa tanganku begitu mungil bahkan tak sampai setengah dari lebar tangan ayah.
“Ayah kok tangan Laila kecil ya? Gak sama kaya Ayah.” Mendengar hal itu ayah kembali tertawa dan mengelus kepalaku dengan halus.
“Nanti, kalo sudah besar tangan Laila bakal setengahnya dari Ayah kok!”
“Kok setengah sih! Mau sama!”
“Iya-Iya apa pun untuk putri Ayah.”
“Hehe, mau sama Ayah selamanya!” Mendengar ocehanku entah kenapa ayah terdiam dan hanya tersenyum.
“Sudah-sudah, ayo kita makan, itu Kakakmu sudah menunggu di meja makan,” ucap Ibu yang membuatku senang bukan main. Ayah menurunkanku di lantai membiarkan putrinya berlari menuju dapur. Setelah aku duduk di kursi dengan susah payah karena tinggiku, aku berceloteh asal saking bahagianya.
“Makan! Makan! Makan!” suara yang dihasilkan ternyata mengganggu kakak dan membuatnya menutup erat kedua telinganya.
“Berhentilah ribut, suaramu membuat kuping Kakak sakit,” keluh kakak tetapi aku abaikan. Tak lama kemudian, ayah ikut duduk bersamaku dan kakak.
“Nah, ini dia ayam goreng spesial!” ucap ibu yang membuat mataku berbinar-binar. Aku makan ayam goreng itu dengan lahap, kulit ayam yang terasa begitu gurih dan nikmat aku sisakan di akhir. Nasi putih yang mengepul hangat turut membuat ayam semakin nikmat. Hari-hari yang terasa bahagia itu ternyata tidak selamanya bertahan.
Di hari ulang tahunku yang ke 7 aku melihat pertengkaran ayah dan ibuku di kamar mereka. Linang Air mata ibu begitu deras, suara bentakan ayah membuatku takut dan tak lama kemudian kakak menyeretku masuk ke dalam kamarnya.
“Sini sama Kakak dulu,” ucapnya sambil mengelus kepalaku. Air mataku menetes deras. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa ibu menangis? Kenapa ayah bentak ibu? Kenapa harus di hari ulang tahunku? Hari yang aku tunggu untuk diucapkan selamat oleh semua anggota keluargaku.
Beberapa menit kemudian, tak terdengar suara bentakan dan barang jatuh lagi yang membuatku sedikit senang karena mungkin saja ibu dan ayah sudah berbaikan. Aku keluar dari kamar kakakku kemudian melihat kamar ayah dan ibu. Aku melihat ayah sedang membereskan baju-bajunya ke dalam tas dan tiba-tiba saja keluar dari kamar melihatku yang berdiam di balik pintu. Ayah hanya bisa terdiam lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar rumah.
“Ayah! Ayah mau pergi?” tanyaku. Namun, ayah sama sekali tidak memedulikan dan pergi dari rumah sembari membawa tas yang berisikan baju.
“AYAHH! AYAH MAU KE MANA?” teriakku yang tak lama kemudian ibu memelukku dengan sangat erat.
“Ayah,” lirihku.
Sejak hari itu, setiap ibu selalu menangis di kamarnya. Suaranya terdengar hingga ke kamarku. Tangisannya begitu dalam, terasa begitu kesakitan dan membuatku ikut menangis di kamarku. Sebenarnya ada apa? Kenapa? Apa yang telah terjadi? Apakah karena aku nakal dan berisik? Kalau begitu maaf, maaf, maafkan aku, batinku.
***
Sudah 2 tahun lamanya ayah meninggalkan aku, kakak dan ibu. Aku selalu menunggu-nunggu kedatangan ayah setiap sore. Berharap, ayah kembali dan memelukku dengan erat. Namun, saat aku pulang sekolah, aku melihat ayah yang sedang menggendong seorang bayi dan bersama seorang wanita lain. Jantungku berdegup tak karuan, es teh yang aku beli jatuh membasahi sepatuku. Tetapi, aku tidak memedulikan sepatuku yang basah. Aku terus melihat ayah yang menggendong seorang bayi dan bersama seorang wanita, hingga ayah melihatku tetapi ia memalingkan wajah seperti tidak mengenalku.
Aku memang tidak terlalu mengerti cinta, tetapi aku tahu semua alasan kenapa ayah pergi meninggalkan aku, kakak dan ibu. Aku tahu.
Setelah kejadian itu, aku menjadi jarang berbicara entah itu kepada teman atau dengan ibu. Entah kenapa hatiku kosong, seakan sudah rusak dan usang. Aku terus menyalahkan diriku setiap malam karena mungkin salah satu faktor penyebab ayah meninggalkan aku, kakak dan ibu adalah aku. Di bawah sinar rembulan, aku terus menyalahkan diri. Hingga, akhirnya aku menyadari mentalku sudah rusak, tetapi aku tidak memberi tahukan kepada siapa pun selain dengan Tuhanku.
Melihat teman-temanku yang pulang diantar jemput oleh ayah mereka membuatku iri setengah mati, tetapi aku pendam. Tidak, tidak ini gak baik, kata ibu iri itu gak baik, batinku. Aku berusaha menahan iri, dengki, dan berandai-andai aku bisa merasakan momen itu. Rasanya sangat sulit.
Semakin hari aku terlihat tidak bahagia yang membuat ibuku khawatir. Aku berniat mengubur dalam-dalam ingatan itu dan membuat ibuku tidak khawatir lagi. Aku tidak tahu risiko memaksa otak untuk menghilangkan ingatan itu, tetapi demi ibuku dan mungkin aku, apa pun akan aku lakukan. Tak lama kemudian, aku kembali ceria bagai tak mengalami hal sedih dan membuat ibuku bahagia.
Aku tulis dibuku diary.
Aku bahagia!
Aku sangat bahagia!
Tak lama kemudian, entah kenapa air mataku menetes perlahan.
***
Aku merasa ada seseorang yang menggoyang-goyangkan badanku, aku buka mataku perlahan dan mendapati Zura yang panik mencoba membangunkanku.
“Kamu kenapa? Mimpi buruk sampai nangis gitu?” Mendengar hal itu aku pun terkejut. Aku menangis? Segera aku cek pipiku apakah basah atau tidak, ternyata pipiku basah. Aku menghela nafas berat.
“Haha, tadi aku mimpi kamu malah makan es krimku,” ucapku yang membuat Zura tak habis pikir akan kelakuanku.
“Ada-ada saja kamu ini,” ucap Zura sembari tertawa kecil. Aku pun ikut tertawa dan tak lama kemudian berhenti, mataku terpaku pada indahnya sang langit. Aku berusaha damai semenjak aku memasuki SMP, tetapi masih saja mimpi ini terus menghantuiku.
Aku mencoba menenangkan diriku dengan membaca Al-Qur’an di handphone karena aku lupa membawa Al Qur’an. Aku membaca surat Al Baqarah, hingga saat membaca surat Al Baqarah ayat 286 hatiku bergetar ketika melihat terjemahannya.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...”
Rasanya, aku ingin menangis tetapi aku mencoba menahannya agar Zura tidak khawatir.
Aku berjanji, aku akan mencoba, mencoba kembali damai dengan diriku hingga tuntas.
Setelah selesai membaca surat Al Baqarah, salah satu siswa laki-laki merekomendasikan lagu tulus dengan judul "Monokrom" yang membuatku menghela nafas kasar. Tetapi, aku sangat berterima kasih pada siswa laki-laki itu, berkat lagu itu semua orang menangis dan akhirnya aku melepaskan tangisanku, tidak lagi menahannya. Sembari menangis kami menyanyi lagu itu bersama-sama.