Warning!
Cerita ini mengandung kata-kata kasar dan adegan yang tidak boleh ditiru. Bijaklah dalam membaca.
Akan lebih baik jika rambut Kikan rontok karena menderita kanker. Atau karena sampo yang tidak bagus. Atau menderita Alopesia areata. Ketimbang karena mereka yang menarik rambutnya dengan kasar, tanpa belas kasihan.
Tarikan itu begitu kuat, membuatnya merasa kulit kepala terkelupas. Ia yakin, sejumput rambut yang telah ia rawat berada di genggaman mereka. Seolah mencabut rumput dari tanah, seolah membersihkan gulma, mereka telah membasmi tumbuhan pesaing yang menganggu tanaman mereka.
Mereka adalah teman-temannya. Akan tetapi, apakah pantas disebut 'teman'? Mereka bukan teman, tetapi bukan pula musuh. Mereka adalah Tuan dan Puan. Kikan tidak pernah merasa punya masalah dengan mereka, tetapi merekalah yang merasa bermasalah dengannya.
Argh!
Mereka menarik rambut Kikan lagi, hanya erangan yang terdengar di kelas itu. Takada yang peduli dengan penganiayaan itu, malah menjadi tontonan. Hari ini Kikan melakukan kesalahan—tidak—lebih tepatnya disalahkan karena membeli roti dengan isian yang berbeda.
"Gue gak suka rasa keju, Kikan! Coklat, Bego! Berapa kali gue harus bilang!"
Jika Chelsea—gadis kesayangan kelas 2-1 sudah menaikkan oktafnya, itu berarti ia benar-benar murka. Kikan tidak bodoh, apalagi lupa. Ia memang tahu bahwa Chelsea tidak suka keju, lebih tepatnya alergi.
Plak!
Chelsea menampar Kikan, lalu pergi keluar dari kelas. Sudut bibir Kikan luka, tetapi diam-diam ia melirik Chelsea yang kemudian menghilang dari balik pintu. Bersamaan dengan itu, teman-teman sekelasnya yang lain mengelilinginya. Ia tahu, mereka marah.
"Kunci pintunya!" suruh salah seorang lelaki yang Kikan tidak ketahui karena tidak melihat wajahnya. Jika sudah begini, maka sebentar lagi Kikan akan dianiaya, mungkin sampai mati.
Suara gorden ditutupi, menyisakan kelas yang tidak lagi secerah tadi. Mereka menghambat sinar matahari yang masuk. Belum sempat mendongak, kepala Kikan terasa sangat sakit. Ia dijambak lagi. Ingin berteriak, tetapi mulutnya langsung disumpali dengan roti keju tadi. Sebuah peringatan, Kikan tidak boleh bersuara ketika dieksekusi. Jika tidak, mereka mungkin akan memutus tenggorokannya.
Kikan menahan rasa sakit di tubuhnya. Ia ditampar, dijambak, ditendang, dan diperlakukan seperti binatang. Beruntungnya, bel tanda kelas dimulai kembali terdengar. Kerumunan berbubaran. Kelas kembali normal seperti semula. Anak-anak yang berwajah iblis kembali memasang wajah polos mereka.
Dengan tubuh gemetar, Kikan mencoba bangkit dari lantai. Namun, beberapa kali ia kembali jatuh. Seseorang menendangnya kecil, memberi peringatan agar cepat kembali ke tempat duduknya.
Kikan patuh. Ia kembali ke tempat duduknya, bagian paling sudut dan terbelakang. Seperti biasa, ia membawa jaket. Sengaja, untuk menutupi luka-lukanya. Setelah memakai masker, Kikan mengeluarkan buku pelajaran. Hal yang menyenangkan bagi Kikan saat ini adalah belajar.
Siang ini pelajaran Matematika. Pelajaran paling dibenci pada umumnya di kalangan siswa, termasuk siswa kelas 2-1. Dan, di masa inilah teman sekelasnya akan memberi tatapan benci.
"Kikan." Suara lembut Bu Rona memanggil nama Kikan. Gadis itu mendongak, mendapati senyuman tulus Bu Rona untuknya.
Kikan bangkit dari kursinya, berjalan ke arah Bu Rona. Sementara ia merasa berjalan di karpet merah, dengan penonton yang terlihat seperti ingin memakannya hidup-hidup. Selama ini Kikan patuh untuk tidak bersikap pintar, tetapi tidak untuk pelajaran yang satu ini. Kikan berusaha keras, sehingga kebencian teman sekelasnya tidak pernah menghilang.
Kikan dipanggil ke depan untuk mengerjakan contoh soal—yang sulit bagi orang lain. Bu Rona mengakui kemampuan Kikan. Ia adalah satu-satunya guru yang merasa Kikan pintar, tetapi karena suatu alasan, Kikan bertindak bodoh. Ia juga yang mempertahankan Kikan di kelas unggulan dan menjadikannya murid kesayangan.
Matanya menyipit, melihat Kikan dengan balutan jaket dan masker. Selama ini ia tidak mempermasalahkan gaya pakaian Kikan—walau melanggar aturan.
Brak!
Tidak hanya Kikan, tetapi seisi kelas pun kaget. Wajah mereka menegang, tak terkecuali Kikan. Gadis itu sedikit gemetar saat menggoreskan ujung spidol pada papan tulis. Menyelesaikan soal tanpa hambatan. Ketika selesai, ia menggeser tubuhnya, memandang Bu Rona yang terlihat marah.
Suasana masih hening seperti tadi, hingga Bu Rona kembali menggebrak meja.
"Ke mana Chelsea?" tanya Bu Rona dengan nada marah. Seisi kelas saling berpandangan. Ketakutan. Seperti inilah pemandangan yang disukai Kikan. Ketika serigala menjadi anak kucing ketika berhadapan dengan Bu Rona. Karena itulah, Kikan menjadi 'pemberontak' setiap kelas Matematika berlangsung. Ia merasa puas, sangat puas.
Suara pintu terdengar, mengalihkan perhatian semua orang pada sosok yang baru masuk. Gadis sok polos itu tampak takut-takut melihat Bu Rona.
"Siapa penyebabnya?" tanya Bu Rona dan seluruh siswa menunjuk ke arah Chelsea. Gadis lugu itu berkeringat dengan kaki gemetar. Tanpa disuruh, Chelsea tahu bahwa ia harus menghampiri Bu Rona.
Chelsea khilaf. Ia lupa bahwa hari ini ada pelajaran Matematika. Seharusnya ia tidak 'menyentuh' Kikan. Tiba di depan Bu Rona, Chelsea mengulurkan kedua telapak tangannya. Ia sempat melirik Kikan dengan sinis sebelum kemudian menunduk.
Pintu dan gorden kembali ditutup. Beberapa detik kemudian, suara cetar-ceter terdengar memenuhi seisi ruangan. Bu Rona memberi Chelsea 'peringatan'. Ringisan Chelsea terdengar. Gadis itu terlihat lebih menyedihkan dari kondisi Kikan.
"Kamu tahu apa kesalahanmu?!"
"T-telat."
"Bahkan sedetik pun, saya tidak memaafkannya."
Bu Rona—wali kelas yang mencintai kedisiplinan. Namun, Kikan bukan masalah. Karena Kikan adalah Kikan.
"Kembali ke kursi kamu! Saya tidak akan menolerir kamu lain kali."
Chelsea mengangguk pelan dan memberi Kikan tatapan permusuhan. Kikan yakin, pulang sekolah ia akan dianiaya lagi, lebih parah. Ketakutan menelusup hatinya. Kikan akan disalahkan karena membuat Chelsea telat masuk kelas.
"Kikan," panggil Bu Rona lembut sehingga gadis itu menoleh. Sebenarnya, ia sedikit ketakutan melihat Bu Rona, walaupun terlihat lembut padanya.
"Papa kamu sudah pulang dari perjalanan bisnis?" bisik Bu Rona membuat Kikan menegang.
Ia melirik wanita itu. Inilah alasan yang sebenarnya. Kikan diperlakukan berbeda karena ia adalah Kikan—anak dari seorang lelaki kaya yang diincar Bu Rona. Tidak peduli jika lelaki itu masih memiliki istri.
Tangan Kikan mengepal erat. Wanita inilah yang menjadi awal kehancuran keluarganya. Wanita inilah yang membuat papa dan mamanya tantrum setiap saat. Wanita ini yang membuat mimpinya hancur memiliki keluarga yang utuh dan bahagia.
Ibu dan anak sama saja. Iblis.
Kikan tidak peduli dengan kebaikan Bu Rona padanya, bahkan memperlakukan Chelsea—anak kandungnya sendiri seperti orang lain. Ia membenci mereka.
Bu Rona yang menghancurkan kebahagiaan di rumahnya dan Chelsea yang menghancurkan lingkungan pertemanannya. Masih lekat di ingatannya di tahun lalu, saat Kikan masih menjadi favorit anak sekelas. Ia masih ceria, punya banyak teman, dan terkenal sebagai sosok pintar yang ramah. Namun, semuanya berubah ketika gadis sok polos menjebaknya.
Kikan disebut sebagai pembunuh. Kesalahpahaman itu terjadi ketika Cecil jatuh dari gedung. Ia disebut mendorong Cecil karena takut disaingi. Padahal, Chelsea melihatnya. Ia tidak mendorong Cecil, tetapi ....
"Papa pulang, tetapi nanti malam akan merayakan wedding anniversary dengan Mama. Ibu mau kasih hadiah atau ucapan selamat?"
Plak!
Gubrak!