“Teruussssss???” Pertanyaan panjang Lusi membuatku menjauhkan ponsel demi keselamatan telingaku.
“Yaudah,” jawabku. Yaudah, kami malah diam tatap-tatapan.
“Yaudah apaan sih Kanayaaa, kamu nih kalo cerita sepotong-sepotong, bikin gemes yang dengerin.” Lusi mulai ngedumel.
Aku tertawa juga, membayangkan Lusi misuh-misuh dengan mulut monyong dan muka merah. “Ryan kemana? Jangan teriak-teriak dong,” elesku.
“Ryan lagi ke rumah Mami. Biasa, rada ngambek ditinggal Papi ke Jerman. Habis gimana ya, Mami kan masih recovery, jadi belum boleh pergi jauh.”
“Masih pengobatan ya?”
“Iya, masih, Kan. Padahal udah setahun lebih, tapi masih belum setop obatnya.” Mami mertua Lusi ini memang pengobatan paru-paru sejak lama. Dulu aku sempat menjenguk di Rumah Sakit. “Mami pernah cerita ketemu ibunya Praja, Kan.”
“Apa?”
“Ibunya Praja masih kemoterapi kan? Mereka bertemu di Rumah Sakit yang sama.”
“Mami kenal Tante Lily?” tanyaku.
“Kenal dong, circle pengusaha itu ada, Kan. Jangan lupakan itu.”
“Oh iya juga sih. Aku jadi ingat, lama tak menjenguk Tante Lily.”
“Nah, jadi Alfian atau Praja, Kan? Ayo cepat tentukan.” Lusi tertawa nyaring. “Aku bukannya ngomporin ya, aku cuma berpesan saja, mana yang membuatmu nyaman.”
“Aku tahu, Lus.”
“Menikah itu kalau bukan dengan orang yang nyaman, engga bakal betah deh. Untung deh aku dapet Ryan yang engga nuntut apa-apa. Kamu tahu sendiri kan gimana cueknya aku, Kan. Jadi memang ya kalau jodoh itu bakal menerima apa adanya. Engga bakal dibuat-buat. Mengalir begitu aja.” Lusi berwejangan panjang.
“Aku harus jawab apa, Lus?”
“Iya aja napa sih, hahaha. Engga usah berpatokan umur. Umurmu belum kepala tiga, Kan. Santai aja. Eh tapi udah ada dua tuh yang ngejar-ngejar. Hahaha.” Aku membalasnya dengan tawa garing.
>.<
“Oleh-oleh.” Wajah Sasi muncul dengan cengiran, tangannya sudah terbuka. Aku mengisinya dengan sekotak bakpia yang kubawa. “Asikkk.” Ia langsung duduk di kubikelnya.
Aku memang sengaja membawa oleh-oleh lebih untuk dibagi di kantor. Tentu saja oleh-oleh khas dari Jogja yang paling ampuh adalah bakpia.
Ponselku bergetar diatas meja.
Praja : Morning, Aya..
Aku mengedipkan mata beberapa kali. Berusaha mencerna tulisan yang Praja kirim. Ternyata tak menghilang. Berarti ini bukan mimpi.
“Kenapa?” tanya Sasi.
“Engga apa,” elakku.
“Kenapa sih?” Sasi bergerak mendekat. Bahkan kursinya membentur kursiku. Cepat kusimpan ponsel. Tak ingin jadi bulan-bulanan Sasi lagi.
“Guysss, ada undangannnn.” Teriakan Tami mengalihkan perhatian kami. Tami membagi-bagi undangan berwarna biru pada kami. Kasak-kusuk terdengar.
“Bos Ghaisan mau tunangan,” bisik Sasi.
“Serius?” tanyaku. Soalnya selama ini tak ada cerita apa-apa dari bos pendiam kami itu.
Tami mengangsurkan undangan pada kami.
“Apaan ini, Tam?” tanya Sasi tak sabar untuk membuka undangan.
“Buka aja sendiri,” kata Tami cuek sambil berlalu.
Covernya tak bisa membayangkan apa isinya. Hanya tulisan tanggal saja. Hari sabtu depan.
“Oh yaampun.” Seruan Sasi mengagetkanku.
“Apaan sih?”
“Ternyata ulang tahun pernikahan Bos Besar. Yang ke lima puluh.” Sasi membalik undangan, hingga aku bisa melihat isinya.
“Pak Altasyah?” itu nama bos besar, ayahnya Bos Ghaisan. Pemilik perusahaan ini.
“Iya, kayaknya ngundang seperusahaan. Ini lokasinya di garden hotel pula. Eh boleh bawa pasangan nih. Ah Okan bisa engga ya.” Tak lama, Sasi sibuk men chat Okan. “Kamu dateng sama siapa, Nay?”
“Entahlah.” Aku mulai menekuri pekerjaan sheet ku kemarin sore.
“Dengan saya, mau?” Sebuah suara menyeruak. Membuatku menoleh. Pak Ghaisan berdiri didekat kubikelku. Agaknya mendengar celotehan kami. Sasi sampai melongo. “Maaf, saya mencuri dengar omongan kalian,” tambahnya santai.
“Engga apa, Pak.”
“Jadi? Mau pergi dengan saya?” tanyanya. Membuatku makin melongo.
>.<
“Jadi? Jadi? Jadi?” tanya Sasi sambil tertawa. Aku jadi bulan-bulanannya beneran. Sejak Bos Ghaisan menawariku pergi dengannya tadi pagi. Ini aku terpaksa pulang nebeng Sasi, karena Kak Redho engga bisa jemput.
“Hentikan, Sasi! Ia hanya lagi engga ada temen aja. Makanya ngajaknya random.”
“Random? Banyak anak yang mau, asal dia tunjuk aja, Nay. Aku engga bego ya, aku udah bilang dari dulu kan. Kamu aja yang engga percaya.” Kata-kata Sasi menohok sekali.
Aku masih sibuk mengacak rambutku. Ini semua membingungkan. Kenapa sih banyak orang yang hadir? Kemana aja mereka saat aku asik menjomblo beberapa bulan yang lalu? Ups, sekarang pun masih jomblo sih.
“Udah iya-in aja kenapa, Nay. Kali-kali jadi pasangan bos kan?” Sasi kembali tertawa menyebalkan.
Ponselnya bernyanyi. Ternyata Okan yang telepon. Ia malah loudspeaker. “Halo, sayanggg, mau denger cerita lucu enggaaa?” jerit Sasi tiba-tiba.
“Hai, ada cerita apaan? Masih di jalan kan?” Suara Okan terdengar.
“Iya, ini masih di jalan sama Kanaya. Masih macet. Kamu udah balik?”
“Masih lembur ini. Jadi ada cerita apaan?”
“Kannnn engga usah dengeriinnn,” seruku ganti.
Sasi langsung menyambar ponsel, mendekatkan padanya. “Hei, Bos besar mau adain ulang tahun pernikahan kan sabtu depan. Yang tadi aku cerita di chat itu.”
“Oh oke, aku bisa kayaknya. Terus?”
“Kamu tahu, siapa yang diajak sama Bos kecil?”
“Kanaya?”
“Eh kok udah tahu sih???” jerit Sasi tak terima.
“Lha itu tadi Kanaya uda ribut, aku engga usah dengerin kamu.”
Sasi terkikih nyaring. “Ohh iyaaa, aku lihat Nay makin stress. Hahaha.”
“Stres kenapa?”
“Lha kan ada Praja, Alfian, kali ini Bos kecil. Gimana engga puyeng? Apalagi Alfian udah ready melamar coba??? Gimana engga pusing??”
“Me, melamar?? Serius? Engga penjajakan dulu? Ngumpulin duit dulu gitu?”
“Hei, Alfian sepertinya udah yakin setengah mati sama Kanaya. Dulu kan dia secret admirer nya Kanaya. Jadi, dia merasa takdirnya ketemu Kanaya lagi. Kalo engga sekarang, kapan lagi coba?”
“Kalian ini, nge gossip didengerin orangnya tahuuu,” sambarku tak sabar.
“Nay, gimana? Banyak amat yang nyariin itu?” tanya Okan.
“Tauk ah Kan,” semprotku
“Besok date sama aku yuk. Banyak yang mau aku obrolin.”
“Dateee?” Sasi tampak surprise.
“Aku mau makan sama Kanaya besok ya, sayang.”
Sasi melirikku. “Oke. Sapa tahu ngobrol sama laki, bisa bikin Kanaya engga stress milih ya.”
“Iya, aku mau ngomong dari sudut pandangku ya. Terlepas dari aku engga kenal mereka bertiga. Aku hanya tahu Praja, itu pun ya sepintas sekilas doang dulu jaman kuliah.”
“Oke, Kan. Aku jemput di kantor ya besok.”
Semoga ada pencerahan dari obrolan sama Okan. Laki-laki yang betah bertahun-tahun jadi sahabatku. Tanpa ada kata cinta diantara kita.
@@