“Kenapa, Nay?” Alfian menoleh, saat mobil berhenti di perempatan lampu merah.
“Kenapa?” tanyaku balik.
“Kamu kayak mikir begitu. Engga enjoy?”
“Kata siapa? Aku enjoy aja, kan udah lama juga engga ketemu yang lain.”
“Terus?” tanyanya terus mendesak.
“Aku engga papa,” elesku.
“Yakin? Apa kamu merasa engga nyaman soal celetukan Robi tadi?” Tadi saat pulang, memang si Robi nyeletuk soal menentukan tanggal dan undangan.
Aku menggeleng.
“Kamu tahu kan gimana Robi itu. Jangan diambil hati banget.” Alfian menjeda, saat mobil mulai bergerak. “Aku engga akan maksa, Nay. Itu semua tergantung bagaimana hatimu saja. Jangan diambil pusing. Aku sebagai lelaki, tentu inginnya memenangkan hatimu. Tapi, kalau apa pun sudah aku lakukan, kamu masih tidak memilihku, ya mau bagaimana lagi. Aku bisa apa.”
Aku melihat sisi lain dari Alfian. Dewasa. Keadaan membuatnya lebih dewasa. Dengan merawat Rifa sendiri, membuatnya melakukan semua yang ia bisa untuk kebaikan Rifa.
“Kagum ya?” Alfian nyengir padaku.
“Yeeee, maunya dikagumi ya?”
“Tentu aja dong, maunya begitu. Hm, aku mau ngaku, Nay.”
“Ngaku apa?” tanyaku penuh selidik.
“Kamu pasti dengar banyak selentingan di kampus dulu kan? Bahkan dari obrolan anak-anak tadi, kamu pasti bisa menyimpulkan, aku tertarik padamu dari jaman kuliah dulu.” Aku diam mendengarkan. “Ya, aku memang suka padamu dari jaman itu. Bahkan waktu itu sepertinya kamu belum sama Bima. Tapi aku engga berani maju. Mungkin sikapku kelihatan banget ya, jadi bikin orang lain bikin gossip begitu.”
“Aku tahu. Aku dengar gosip itu. waktu itu aku udah sama Bima.”
“Terus?” tanya Alfian.
“Cuma engga percaya. Soalnya hmm apa ya, kamu terlalu keren, Alfian sang ketua BEM masa suka sama aku? Aku cuma bisa mikir begitu. Sejak ada gossip itu, Bima jadi makin protektif. Bahkan dia nungguin tiap ada rapat sampai sore. Dan tiap kali ketemu, yang dia tanyain itu kamu.”
“Aku?”
Aku mengangguk. “Ketemu Alfian engga? Alfian ngomong apa? Pokoknya begitu-begitu. Itu baru berhenti setelah kamu lulus, Al.”
“Oh ya? Dia terancam juga ya?” Alfian terkikih.
Gimana bisa Bima engga terancam dengan gossip itu? apa dia engga merasa famous?
“Tentu aja, Al.”
“Makan dulu yuk,” kata Alfian, berbelok ke resto jawa yang engga asing. Oh ya, ini resto favoritnya Bima.
“Kanaya.” Sebuah suara memanggil. Suara familier itu, aku kenal sekali. Sosoknya berdiri canggung, tampaknya keluar dari rest room. Aku tersenyum seadanya.
“Halo,” sapaku. Aku mempercepat cuci tangan. Malas juga berinteraksi dengannya, apalagi belum satu jam kami membahasnya.
“Sama siapa?” Dia masih berdiri mematung.
“Alfian,” jawabku.
“Siapa?” tanyanya ulang. Seolah ia salah dengar.
“Nay.” Dan tiba-tiba aja Alfian muncul dengan buku menu ditangan. Tadi kami berpisah saat ia mencari tempat duduk, dan aku mau mencuci tangan. “Oh, Bima ya?”
Muka Bima tampak shock. Tapi cepat bisa menguasai diri. “Iya, Alfian kan? Apa kabar?” Ia mengulurkan tangan.
Alfian membalas genggaman tangan Bima. “Baik sekali, Bima. Makan siang juga? Sama siapa?”
“Sama keluarga,” jawab Bima, menunjuk kearah bungalow sebelah barat. Oh, jadi ada Tante Rita juga ya?
“Oke, enjoy ya, ayo, Nay.” Alfian mengambil tanganku dan ditariknya dari hadapan Bima, kami berjalan kearah berlawanan dengan bungalow Bima. “Panjang umur dia ya, baru juga diceritain.” Alfian terkekeh pelan.
“Sengaja ya?” Aku mengangkat tautan tangan kami.
Alfian berkedip usil. “Aku cuma tahu bagaimana reaksinya tadi. Lumayan juga terkejutnya.” Sok analisis sekali dia.
“Lalu? Apa analisismu?”
“Yah, masih ada hati denganmu, Nay.” Kami berhenti di meja ujung bungalow. “Dia masih ngubungin kamu?” tanyanya.
Aku duduk dan membuka buku menu. “Udah lama engga, Al. Waktu itu pernah engga sengaja ketemu sama Mama, jadi aku ditanyain terus.”
“Terus?”
“Ya engga ada terusannya. Aku engga respon dengan baik, jadi dia menghilang begitu aja.”
Alfian manggut manggut. “Iya, jangan ditanggapi kalau memang engga bisa lagi.” Aku memandangi Alfian penuh selidik.
“Kenapa?”
“Menguntungkan kamu ya?” tanyaku memastikan.
Alfian malah tertawa. “Tentu aja, Nay. Kamu mau pesan apa?”
>.<
Berbicara dengan Alfian itu mudah saja. Rasanya tak ada yang bisa aku sembunyikan darinya. Dia sangat komunikatif. Mungkin karena itu ia dipilih jadi ketua BEM dulu.
“Apa ini?” tanyaku, saat Alfian mengangsurkan plastik putih resto tadi, yang diambilnya dari jok belakang.
“Ayam bakar buat yang di rumah,” jawab Alfian santai.
“Aku kira untuk Rifa.”
“Rifa sudah ada,” jawab Alfian, menunjuk ke kursi belakang. Masih ada satu bungkusan lagi. Tadi memang dia membawa dua plastik.
“Makasi, Al.”
“Iya, sama-sama, Nay.” Tiba-tiba saja ia mengambil tanganku. Mengenggamnya dengan erat. “Nay, tolong dipikirkan ya. Aku menunggumu menjawab perasaanku.” Matanya menatapku lembut.
Tiba-tiba perkataan Praja kemarin jumat membuatku ingin bertanya. “Al, apa benar kamu mau melamarku minggu ini?”
Mata Alfian membola. “Praja ya? Iya, aku memang sudah berniat, setelah kamu menjawabku, Nay. Aku sudah merasa kalau aku memang harus bersaing dengan Praja.”
Entah keberanian darimana, tangan bebasku mengelus pipinya.
“Nay, jangan, aku engga bisa menguasai diriku lagi, kalau lebih dari ini,” bisik Alfian parau.
>.<