Dan disinilah aku. Di kursi penumpang. Sebelahku, Alfian menyetir dengan santai. Entah bagaimana Alfian meyakinkanku untuk ikut dengannya kemarin. Tapi, pagi ini aku siap pergi jam lima pagi. Mama sampai terheran melihatku, sampai menoleh ke jam dinding berkali-kali.
Jalanan masih lenggang.
“Aku tak bisa tidur, Naya.”
“Kenapa?” tanyaku, menoleh padanya. Ia ikut menoleh, saat lampu merah menghadang.
“Karena kamu menemaniku ke Bandung.” Senyumnya nampak jelas. Alfian tampak segar dengan kaos berkerah merah dan celana jeans hitam yang pas dengan tubuhnya. Yang bisa kubilang kekar. Tak ada perut membuncit. Entahlah kalau ternyata ia gemar nge gym. Aduh, mikir apa aku ini.
“Liat apa?” Mata tajamnya menatapku tiba-tiba.
Ups, aku ke gap memperhatikannya.
“Enggaaaa,” elakku, memalingkan muka.
Lama kami terdiam, hanya ditemani suara penyiar radio. “Kita sarapan di cikampek ya, engga apa kan?”
“Engga apa, Al. Apa kita mau menginap?” Aku melihat tas pakaian di kursi belakang. Tak ada cerita soal menginap kemarin.
“Hanya jaga-jaga, Kanaya. Aku tak bermaksud menculikmu dua hari,” celetuk Alfian. Aku melotot.
“Al, apa maksudmuu.” Aku memukul lengannya.
Alfian malah tertawa nyaring. “Sakit, Naya. Jangan sakiti aku dong.” Aku makin memukulinya.
>.<
“Hai, Kanaya ya?” Seorang perempuan berambut sebahu keluar dari pintu, dan langsung menodongku dengan pertanyaan itu.
Aku mengejap. “Kani?” Aku tak menyangka, Kani yang sekarang bulat. Dulu seingatku Kani kurus.
“Kakakku udah bilang apa? Udah bilang cin-“
“Kani!” Alfian memanggil tiba-tiba dari arah mobil. Menyuruh Kani membantunya membawa brownies yang dibawa dari Jakarta.
Ia mendengkus, kemudian mulai mengoceh dengan Alfian.
Sementara aku sudah disandera Rifa, dengan menggiringku kearah Tante Lani. Dan seorang wanita yang lain setengah terduduk di sofa ruang tengah. Aku menyalaminya. Ternyata ia adalah Tante Tia, kakak Tante Lani yang habis operasi.
“Ya ampun, jadi beneran ini Kanaya?” Tante Lani memelukku. Tak banyak berubah sejak aku melihatnya terakhir kali. “Rifa engga mau diam bicara soal kamu.” Kemudian melirik Rifa yang senyum lebar, sembari menarikku duduk dengannya.
“Masa Tante? Saya diculik Alfian ini,” sahutku.
“Diculik, tapi tak menyakitkan kan?” Tante Tia tertawa.
“Engga dong, masa menyakitkan.” Alfian menyalami Tante Tia. “Gimana Tante? Uda enakan?”
“Alhamdulilah, lebih baik dong. Apalagi Edo juga pulang tadi.”
“Edo?” Alfian tampak terkejut. “Mana dia?”
“Masih istirahat. Baru sampai jam tujuh tadi. Ayo, minum-minum dulu.” Tante Tia memanggil asisten rumah tangganya, menginstruksikan sesuatu.
Alfian duduk disampingku dan Rifa yang tak henti memelukku. “Tuh kan senang apa yang Papap bawa,”
“Makasih ya Papppp,” sahut Rifa manja.
“Kok cuma Tante Kanaya yang dipeluk? Papap engga?” dengan cepat Rifa berpindah ke pelukan Alfian. Rifa tertawa riang.
“Makasih ya Kanaya, mau diajak sampai Bandung sini.” Tante Lani menoleh padaku. “Tante lihat, bukan cuma Rifa yang girang.” Melirik pada Alfian. Yang malah melengos.
Kani tertawa terbahak. “Kakkk Kakkk, buruan dijadiin, keburu diembat orang lho.”
“Diem kamu ah,” omel Alfian, menjewer Kani.
“Kanaya, jangan mau sama abangku ini, dia tukang jewerrr.” Kani mengadu padaku.
“Tante Kanaya sama Rifa aja, engga usah sama Papap.” Rifa berkata manja, seraya memeluk lenganku. Semuanya tertawa mendengar celotehan Rifa.
Sedikit banyak aku tahu apa yang terjadi disini. Tapi aku tak ambil pusing. Hanya jantungku berdesir mengetahui keluarga Alfian sungguh berharap padaku. Untuk menjadi bagian dari keluarga mereka.
>.<
“Di Bandung,” kataku pelan.
“Dimana, Aya? Bandung? Ada acara apa?” Barusan Praja tiba-tiba menelepon ditengah acara makan siang kami.
“Main aja, Kak.” Entah, rasanya aku malas bicara banyak padanya.
“Oh, sama siapa?”
“Alfian.” Aku menahan nafas mengatakannya. Berharap apa aku?
“Oh begitu, baiklah. Have fun ya.”
“Iya, makasi Kak.” Telepon terputus. Dari suaranya, nampaknya biasa saja. Apakah aku menyesal?
“Tanteeeee tolong akuuuu,” jeritan Rifa membuatku menoleh. Ia berpaling padaku dalam keadaan cemberut. “Aku engga mau makan sayur!”
Aku tersenyum. Beranjak ke tempat duduk samping Rifa yang ngambek diberi sayur oleh Alfian. Memang harus sabar mengurus Rifa.
>.<
Ini sudah empat hari sejak acara ke Bandung, dan baru hari ini aku bertemu tak sengaja dengan Praja di dekat lift.
“Apa kabar, Kak?” tanyaku. Seperti biasa, ia memakai kemeja putih garis biru berdasi merah. Nampak kontras dengan kemejanya. Terus terang aku agak kecewa, ia tak menanyakan soal ke Bandung lagi. Apa yang aku harapkan? Praja cemburu pada Alfian?
Praja mengangguk-angguk. “Baik, Aya.”
“Tante Lily?” tanyaku, sungguh tak enak hati, gara-gara masalah dengan Praja, aku sampai lupa menengok Tante Lily.
“Baik juga, masih kemoterapi. Kapan hari nanyain kamu.”
“Oh ya? Kapan-kapan aku main, Kak.”
Praja tersenyum. “Iya, main aja. Tahu rumahku kan? Atau, katakan saja mau main kapan, aku jemput.”
“Jangan, Kak. Nanti aku datang sendiri aja.”
“Kabari ya, Aya.”
Detik berikutnya, pintu lift terbuka.
>.<