Sasi menyetir keluar kota. Entah kemana. Aku tak bertanya. Hanya sibuk dengan pemandangan diluar dalam diam.
“Kita makan soto bogor yuk.” Akhirnya Sasi bersuara, setelah sejam kami diam. Tepatnya hanya aku yang diam, ia tetap bersenandung sambil mendengarkan lagu.
“Okan kemana?” Aku heran juga, Sasi free di hari sabtu, tanpa Okan yang membuntuti.
“Dia lagi ada acara dengan divisinya.” Sasi mengatakannya dengan santai. “Ke Bandung. Berangkat semalam.”
Aku hanya manggut.
“Bagaimana perasaanmu?”
Aku mengangguk lagi.
“Gimanaaaaa,”
“Engga gimana-gimana, Sas.”
“Really?”
“Mungkin patah hati untuk kesekian kali. “
“Dengan orang yang sama?” tanya Sasi lagi. Ia melirikku.
“Mungkin pikirmu, aku ini bebal ya Sas. Tapi, aku engga bisa mengontrol perasaanku sendiri.” Aku memainkan tanganku, tanpa sadar.
“Iya, aku tahu itu, Nay. Kadang aku tak rela, Praja muncul lagi di hidupmu, seperti ini. Buat apa muncul lagi, kalau akhir-akhirnya membuatmu begini lagi.” Aku masih diam. “Nay, apa aku harus bilang pada Praja, untuk engga nongol lagi di depanmu?” Ide gila Sasi terucap dengan tampang antusiasnya.
“Entahlah, Sas.” Aku masih tak rela melepaskan pandanganku dari jalanan.
>.<
Bukan Sasi namanya, kalau tak berhasil membujukku menghabiskan waktu dengannya. Sampai aku tak kepikiran Praja lagi. Entah ada saja idenya. Dari kulineran di Jalan Surya Kencana, masuk Kebun Raya Bogor, sampai bermacetan kearah puncak.
“Woy! Woy! Jangan ngalangin jalan deh lo!” Teriakan Sasi membuatku tersentak, saat meminum air mineral.
“Sabar dong, Sas.” Kendaraan memang padat merayap. Padat disegala sisi. Aku masih penasaran, apa semua mobil ini mau naik ke puncak ya?
“Liat tu, dia main nyerobot aja!” Sasi mengklakson mobil SUV merah didepan. Dia nyeberang jalan, dan masuk depan mobil Sasi, jadilah Sasi engga terima.
“Sudah, Sas. Kesusulan satu mobil aja kok. Ngomong-ngomong kita mau kemana sih?”
“Cimory dong, aku mau puas-puasin minum susu.” Heran juga, ini anak, suka banget minum susu. Bahkan stok susunya melebihi keponakannya sendiri. “Okan suka misuh kalo aku ajak ke cimory. Yauda, aku ajaknya kamu aja. Mumpung si Okan lagi pergi.”
“Ooh, boleh boleh, aku juga laper.”
“Buset dah, sapa yang ngabisin sotoku tadi sih?” Sasi mengeryit padaku. Entahlah, kadang aku merasa lapar tak berkesudahan begini. Terutama kalau sedang stress dan kalut. Seperti saat ini.
>.<
Aku memandangi burung-burung yang berterbangan di bird park. Bagian dari cimory ini. Warna-warni yang bertabrakan lengkap dengan kicauan kerasnya.
Kadang aku merasa, aku terlalu memikirkan sesuatu yang tak berujung. Hingga akhirnya membuat sakit kepala saja. Betapa enaknya jadi burung-burung itu. Yang melanglang, mengepakkan sayapnya, tanpa memikirkan apapun.
“Pap, manaaaaa.” Sebuah rengekan membuatku berhenti melamun. Seorang anak perempuan berkucir dua, berlarian kesana kemari. Memang hari ini weekend, makanya disini pun ramai anak-anak. “Mana makanannya burung?” Ia masih bersemangat berjingkrakan.
Seorang pria berjongkok disampingnya, mengulurkan makanan burung yang ada di telapak tangannya. Tak bisa kucegah, aku mengikuti kemana arah gadis kecil itu.
“Kanaya?” Pria tadi sudah berdiri tak jauh dariku. Memandangiku dari balik topi baseball nya. Siapa? Aku merasa tak asing. Terutama dengan lesung pipi kiri itu. Ia tersenyum padaku.
“Apa kabar?” Suara baritonnya terdengar.
Siapa ya?
“Lupa, Kanaya?” Ia tersenyum kecil. Seakan menikmati kealpaan ku berbicara.
“Ya?” Akhirnya hanya kata itu yang keluar dari bibirku.
“Alfian, Kanaya.”
Pasti mataku membelalak sekarang. “Alfian?” Kilasan wajah itu versi muda tergambar di benakku. Alfian, sang ketua BEM yang dulu pernah tergosip denganku. Eh beneran tergosip denganku? Yang ada aku yang terlalu sibuk dengan Bima, hingga tak menghiraukan gossip itu. Kakak tingkat yang sangat baik padaku.
“A, apa kabar, Kak?” Hanya itu pertanyaan yang terlintas dikepalaku.
Ia tersenyum simpul. Lalu mengarahkan pandang pada gadis kecil tadi, yang tengah asik memberi makan bebek. Ia tampak menikmati dikerubuti bebek.
“Baik, Kanaya. Kamu sendiri?”
“Baik, Kak.”
“Sendirian aja?” Mungkin tampak aneh ke tempat jauh sendirian aja ya.
“Aku sama Sasi. Teman kantor. Kakak?”
“Aku cuma dengan Rifa. Anakku.” Tentu saja, ia sudah punya anak sebesar itu. Lama sekali aku tak mengetahui kabarnya. Mungkin sejak ia lulus.
“Mamanya enggak diajak?”
Alfian menggeleng. “Dia enggak mungkin ikut, Kanaya.” Dan mengalirlah ceritanya. Ia harus mengurus Rifa seorang diri, karena istrinya meninggal setelah melahirkan. Hampir empat tahun lalu.
Aku tahu, ia bukan pribadi yang mendramatisir keadaannya. Aku salut padanya.
“Iya, kalau aku ke luar kota, aku titipkan Mamaku.” Ia kembali bercerita kalau bekerja di United Tractor kantor pusat.
“Tante Lani sehat?” Aku ingat sekali pernah bertemu dengan Mamanya saat acara BEM dulu.
“Sehat, dan tambah cerewet. Sekarang Kani yang menemani Mama di BSD.” Aha, Kani adalah adik semata wayang Alfian, setahun lebih tua dariku. Kalau tidak salah, dulu kuliah kebidanan. “Belum mau nikah, dan sudah diomelin Mama terus.”
“Wah, alhamdulilah sehat semua.”
“Pappppp.” Rifa berlari kearah Alfian. Dengan pipi gembulnya, bercerita soal bebek yang mengerubutinya. “Tante siapa?” Ia mendongak kearahku. Dengan sikap protektif pada Papanya. Aku tahu, inilah anak perempuan pada Papanya.
“Kanaya, Rifa.” Aku mengulurkan tangan, dengan canggung, ia menerima tanganku.
“Ini teman Pap, Rifa.” Jelas Alfian.
“Teman? Kayak Tante Luna, Tante Usy, Tante Jesy?” Ia bertanya dengan polosnya. Membuatku hampir tertawa. Entah siapa tante-tante itu, yang pasti ia mengenal mereka, karena Papanya yang mengenalkan.
“Iya, semua teman kantor Papa. Kalau Tante Kanaya, teman sekolah, Papa.” Alfian tampak tenang menjawabnya.
“Sekolah? Kayak temanku di sekolah ya Pap?” Kemudian Rifa berceloteh tentang teman sekolahnya. Sementara, aku melupakan Praja.
Sasi sampe melotot saat melihatku bersama Alfian Rifa, saat menyusulnya ke resto. Akhirnya kami makan bersama, tentu dengan desakan Rifa yang masih mau bercerita padaku tentang teman sekolahnya.
“Wah, boleh juga sama duren, Kan,” celetuk Sasi usil, saat kami berjalan kembali ke Jakarta. Tadi Rifa berkali-kali menyuruhku berjanji akan bermain dengannya lagi. Alfian hanya bisa tertawa geli melihatnya. “Kasihan Rifa ya, masih sekecil itu, tapi engga dapat perhatian ibunya. Padahal Papanya ganteng bingit gitu. Serius dulu doi naksir kamu, Kan?”
“Aku enggak tahu, Sas. Itu cuma gossip. Aku tetap professional dalam BEM. Dia ketua, aku sekretaris. Itu aja. Lagian enggak ada omongan apa-apa darinya.” Aku hanya bisa mengangkat bahu.
“Bima ya?”
“Iya, kamu tahu sendiri gimana watak Bima yang superprotektif itu.” Aku jadi ingat Bima masih saja mengirim pesan pesan yang bahkan tak aku buka sampai sekarang.
“Sudah, buang Bima! Buang Praja!” misuh Sasi.
“Of course,”
>..<