Semua mata melihat penampakan itu dan lari tunggang langgang ke depan. Hawa dingin membelai tengkuk Nilam, bulu kuduknya merinding seketika. Seluruh rambut di pori-porinya bangkit, jantungnya berpacu seiring kakinya yang bergerak menjauh. Baru kali ini ia bisa berada dekat dengan Rachel dan Zahra, mereka tak menyadari keberadaannya, mungkin karena terlalu panik melihat makhluk dunia lain.
Mereka berhenti di tepi jurang yang tak terlihat dasarnya karena gelap. Suara napas mereka yang tersengal memenuhi alam yang sunyi. Mereka saling bertatapan, menyadari bahwa tempat ini adalah jalan buntu.
“Kenapa pada lari, sih?” pekik Kak Ryu. “Itu, kan, cuma kain putih digantung!”
“Masa? Nggak, ah! Itu beneran!” sangkal Zahra gemetar.
“Nggak! Tahun lalu juga gini! Panitia sengaja bikin gituan biar kita takut!” tutur kakak kelas itu.
“Terus, kenapa Kak Ryu ikut lari?” protes Rachel.
“Ya … abis kalian pada lari!” kilahnya mencari alasan. Dia menyorotkan lampu senternya ke sekeliling, menyinari pepohonan yang terlihat hitam serta sungai yang ada di bawah jurang. Arah sorotannya berhenti saat melihat jalan setapak di tepi jurang. “Itu, jalannya ke sana. Ayo, kita lanjut! Jangan ada yang mencar, ya!” pesannya tegas.
Kak Ryu kembali memimpin jalan. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan cerita lucu, tetapi malah terdengar garing. Rachel dan Zahra saling bergandengan erat, Thomas ikut merapat di dekat mereka dan selalu terkena omelan. Nilam hendak mendahului supaya bisa berjalan di sebelah Kak Ryu karena ia tak mau sendirian, tetapi dua gadis itu selalu menghalangi. Akhirnya, ia hanya bisa berdoa dalam hati semoga tidak melihat sesuatu yang menyeramkan lagi.
Pemandangan semakin mencekam. Jalanan semakin lebar, tetapi di sebelahnya jurang. Embusan angin yang menggesek dedaunan menambah sensasi menyeramkan. Hawa dingin semakin memerangkap tubuh, berikut kabut yang semakin pekat menutupi jarak pandang.
Sekilas Nilam melihat Rachel dan Zahra berbisik-bisik, kemudian saling mengangguk. Rachel melirik ke belakang sesaat, sebelum Zahra berteriak keras. “Argh! Apa itu?”
Semua terjadi begitu cepat. Nilam yang terkejut melihat arah yang ditunjuk Zahra, tetapi terhalang oleh Thomas yang tiba-tiba berada di depannya. Sejurus kemudian, Rachel mendorong cowok itu hingga kakinya yang limbung tergelincir ke tepian jurang. Teriakan Thomas menggema saat tubuhnya menghilang dari pandangan.
Rachel dan Zahra saling bertatapan. Telinga Nilam menangkap bisikan lirih Zahra yang berkata, “Gimana, sih?”
Masih berada dalam fase terkejut yang bertubi-tubi, Nilam hanya bisa ternganga. Ia melihat wajah Rachel dan Zahra memucat, begitu juga Kak Ryu yang segera menghampiri mereka. Kakak kelas itu mengarahkan senter ke dasar jurang sambil meneriakkan nama Thomas berkali-kali.
“Kak, tolongin!” teriak Thomas dengan suara serak. “Kak, sumpah di sini gelap banget! Gue takut!”
Tampak Thomas berada di tengah rimbunan semak sekitar lima meter di dasar jurang. Di belakangnya, terlihat sungai berbatu dengan aliran air yang cukup deras. Beruntung masih ada sedikit daratan di sebelahnya sehingga ia tak langsung tercebur. Kacamatanya sudah tidak bertengger di matanya, begitu juga senternya yang tidak terlihat. Bahkan dari kejauhan, tampak wajahnya yang mewek serta cairan menggenangi pelupuk matanya.
“Sebentar, Thomas. Kita cari cara buat keluarin kamu dari situ!” sahut Kak Ryu. Dia melihat sekeliling sambil menyisir rambutnya dengan jari. “Coba cari batang kayu yang panjang, biar bisa kita tarik dia ke atas!”
“Ya ampun! Thomas! Lo nggak apa-apa?” teriak Rachel. “Lo gimana, sih, bisa jatuh?”
Tak ada jawaban. Nilam semakin cemas apa Thomas baik-baik saja di dasar sana? Bagaimana kalau dia terluka parah? Dan lagi, kenapa Rachel mendorongnya?
Bukan pertanyaan itu yang penting. Ia harus mencari kayu panjang seperti perintah Kak Ryu. Suasana sungguh gelap, ia tak menemukan kayu apa pun yang ada di bawah. Kalau saja bisa naik pohon dan mematahkan satu ranting, mungkin bisa. Namun, batang kayu di pohon sangat besar hingga rasanya sulit untuk mengambilnya.
“Kak! Kayaknya nggak mungkin, deh!” sela Zahra. “Gimana caranya kita bisa nolongin? Kita, kan, cewek! Mending cari bantuan, biar cowok-cowok yang angkat!”
“Iya, gimana kalau malah ada korban lagi?” timpal Rachel.
Kak Ryu tampak berpikir sejenak. “Ya udah, kalian berdua ke pos tiga cari bantuan!”
“Ah, Kakak! Temenin! Gimana kalo ada penampakan lagi?” rengek Zahra mengerucutkan bibir.
“Nilam biar ikut kalian. Kalian bertiga, biar saya yang coba cari cara bantuin Thomas di sini.”
Rachel menyergah. “Nggak, Kak! Masa Kakak tega biarin cewek-cewek jalan nggak ditemenin? Lagian Zahra punya asma, Kak. Kalo misal dia tiba-tiba sesak gimana?”
“Guys! Jangan tinggalin gue!” jerit Thomas dari bawah sana. “Please! Bantuin gue keluar dari sini! Tangan gue sakit, nggak bisa digerakkin!”
Dahi Kak Ryu mengerut, tangannya memijat pelipis pelan. “Kalau begitu, kalian tunggu di sini. Biar saya yang lari cari bantuan.”
“Ikut, Kak! Aku udah mulai sesak!” pekik Zahra.
“Saya juga, Kak. Saya harus temenin Zahra!” Rachel menimpali.
Desahan napas keluar dari mulut Kak Ryu. “Nilam, kamu nggak apa-apa tungguin Thomas di sini?”
Tak ada pilihan lain bagi Nilam. Mau menolak juga pasti dia tetap dipaksa Rachel dan Zahra menunggu di sini. Akhirnya, ia hanya bisa mengangguk dengan enggan.
“Ya udah. Kamu arahin aja senternya ke belakang. Mudah-mudahan kelompok sembilan bisa lihat dan kasih bantuan. Saya pergi dulu, ya. Nggak apa-apa, kan? Hati-hati, ya,” pesan Kak Ryu panjang lebar.
“Iya, Kak,” sahut Nilam singkat.
Kak Ryu tampak berat meninggalkan lokasi. Zahra dan Rachel menggandeng kedua lengannya, membuat cowok itu tak bisa berkutik. Suara obrolan mereka masih terdengar, lambat laun semakin samar. Nilam memandang berkeliling dan kini ia terperangkap dalam kegelapan malam.
“Guys! Kalian di mana? Jangan tinggalin gue!” pekik Thomas menangis.
Nilam menumpukan kaki dan tangan di pinggir jurang sambil menyorot senter ke bawah. “Iya, Thomas. Aku tungguin di sini. Kak Ryu dan yang lain ke pos tiga cari bantuan.”
“Nilam? Itu lo, ya? Nilam, bagi gue senter! Gue takut banget sumpah! Di sini gelap banget!”
Sesungguhnya, Nilam juga tak kalah takutnya. Situasi ini benar-benar di luar dugaannya. Ia benar-benar jarang berada di alam terbuka, apalagi di tengah malam gelap gulita. Hanya cahaya bulan dan bintang yang bersinar jauh di atas sana.
Tak tega dengan Thomas, ia melempar senternya ke cowok itu. “Ini, tangkap!”
Satu-satunya cahaya yang dimiliki meninggalkan Nilam. Seketika ia tersentak saat merasakan ada langkah kaki mendekat ke arahnya. Namun, belum sempat melihat, dorongan kuat terasa menyentak tubuhnya. Kesadarannya seolah menghilang saat tubuhnya menggelundung ke dasar jurang. Suara seraknya tak terdengar saat berteriak di tengah keterkejutan seperti kilat.
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10