Sontak Nilam berdiri, begitu juga Kak Tara. Tiga panitia berdiri di belakang Kak Tara, dipimpin oleh Kak Daniel dan Kak Joddy, ketua panitia, yang menjulang di antara mereka. Tubuh Nilam mendadak lemas. Keringat dingin mengucur deras, sementara perutnya terasa mulas. Jantungnya berdegup keras, dadanya sesak napas. Ia tak sanggup berkata-kata. Bahkan, kehadiran Kak Daniel lebih menyeramkan dibanding saat ia mengira ada hantu tadi.
“Anu, Kak. Tadi saya lagi ….”
Jawaban Nilam terhenti saat melihat ternyata bukan hanya tiga orang saja panitia yang menghampiri mereka, melainkan lebih banyak lagi. Tatapan mereka seolah menelanjanginya, membuat lidahnya terasa kelu. Ia seperti kepergok melakukan perbuatan tercela. Benar saja, siapa yang tidak curiga jika melihat sepasang remaja duduk berduaan di tengah kegelapan malam. Oh, kenapa Nilam begitu ceroboh?
“Dia tadi lagi gambar, terus saya iseng kagetin!” seru Kak Tara mengambil alih pembicaraan.
“Gambar? Ngapain gambar di sini? Yang lain pada kumpul di api unggun!” sergah Kak Daniel. “Jangan alasan. Jujur, kalian ngapain di sini? Berduaan di tempat gelap sepi. Apa kalian pacaran? Kalian tau, kan, pengurus OSIS nggak boleh pacaran?”
“Nggak!” tukas Nilam dengan suara bergetar. Kepalanya menunduk, menahan tangis. “Kami nggak pacaran, Kak!”
“Terus, kalian ngapain berduaan?” Suara Kak Daniel semakin meninggi.
“I–itu benar kata Kak Tara, Kak. Tadi saya lagi gambar, terus Kak Tara kagetin saya,” jawab Nilam memberanikan diri. Otaknya terasa tumpul untuk mencari alasan.
“Kenapa kamu nggak gabung sama yang lain? Kenapa harus di tempat sepi? Kalian mencurigakan! Astaga!” Kak Daniel geleng-geleng kepala. “Jangan bohong sama saya!”
“Saya nggak bohong, Kak!” Mulut Nilam tak sanggup banyak bergerak. Ia semakin terperangah melihat keriuhan yang ditimbulkan memancing lebih banyak orang lagi. Bahkan, ada Naura dan teman-temannya yang menatapnya tajam. Sesaat kepalanya kembali menunduk, menahan tangis yang akan meluncur turun.
“Dari kemarin mereka emang udah bikin masalah, Kak!”
“Iya, kemarin rebutan tempat duduk mau berduaan!”
“Mereka pacaran, Kak!”
“Ceweknya ngejar-ngejar Kak Tara, Kak!”
Suara-suara bernada cemoohan menyeruak dari belakang Kak Daniel. Nilam semakin gemetar. Kenapa masalahnya jadi runyam begini? Mendapat tatapan tajam saja nyalinya sudah ciut setengah mati. Namun sekarang, semua seperti berlomba menghujaninya dengan panah kata-kata. Ia benar-benar ingin mati saja.
“Nggak bisa gini! Peserta bisa kita diskualifikasi karena melakukan tindakan tidak senonoh di acara LDKS!” desak Kak Joddy. “Peserta bisa diberhentikan tidak terhormat dari OSIS dan tidak bisa ikut ekskul manapun, serta dapat pengurangan nilai di catatan siswa!”
Nilam terbelalak. Sungguh, hukuman yang biasanya hanya dia dengar untuk anak-anak yang merokok dan suka tawuran, kini terancam untuk dirinya. Bagaimana nasib reputasinya di sekolah nanti? Baru dikucilkan pengurus OSIS saja rasanya seperti menghadapi kiamat setiap hari, bagaimana jika dijauhi anak satu sekolah? Ya Tuhan, Nilam tak mau itu terjadi!
“Nggak bisa gitu, dong, Kak!” tantang Kak Tara maju, menutupi Nilam dari tatapan semua yang datang. “Ini salah gue. Gue yang datangin Nilam lagi sendirian ngelukis bintang. Gue memang nembak dia, bilang kalau gue suka sama dia. Tapi dia nolak gue demi mau jadi pengurus OSIS, jadi nggak mau pacaran!”
Bagai mendengar gemuruh di siang hari, jantung Nilam seperti tersambar petir. Apakah telinganya kemasukan serangga hingga ia salah mendengar apa yang diucapkan Kak Tara? Dia membelanya sedemikian rupa sampai harus berdebat dengan ketua panitia.
“Terus, kenapa kamu harus nembak dia di sini? Kamu tau pengurus OSIS nggak boleh pacaran, tapi kamu masih nembak dia? Udah gitu, di tempat gelap begini, siapa yang bisa jamin kalian nggak melakukan perbuatan asusila?” balas Kak Joddy menggeram.
Tangan Kak Tara terkepal erat. “Loh, memang kalian ada buktinya kalau gue sama Nilam melakukan perbuatan tercela? Nggak, kan? Lagian apa salahnya gue nyatain perasaan? Toh, gue nggak maksa dia buat jadi pacar!”
Kak Joddy geleng-geleng kepala. “Nggak, omongan anak ini nggak bisa dipercaya! Dia punya catatan buruk, cuma karena semua yang ikut futsal nggak ada yang lebih baik dari dia aja, makanya dia kepilih jadi ketua ekskul futsal!”
“So what?” tantang Kak Tara semakin berani. “Terserah kalian mau mikir gue apa, toh, yang milih ketua ekskul anak-anak futsal sendiri, bukan wewenang kalian. Dan lagi, kalian boleh bilang seburuk apa pun, gue nggak peduli. Tapi jangan Nilam! Dia anak paling baik yang pernah gue temuin, nggak pantas kalian semua cap dia yang jelek-jelek. Justru kalian yang harusnya mikir, gimana calon pengurus OSIS bisa duduk sendirian di sini, sedangkan kalian senang-senang di sana? Katanya tim, tapi kenapa nggak peka kalau ada yang sendirian? Kalian pilih kasih atau gimana?”
Semua terdiam, tampak terhenyak. Nilam semakin tak nyaman dengan situasi ini. Dia menarik-narik jaket Kak Tara sambil berkata serak. “Udah, Kak Tara. Ini emang aku yang salah.” Ia maju ke sebelah cowok itu, kemudian membungkuk hormat dan berkata dengan suara bergetar. “Maaf, Kakak-kakak semua, aku udah bikin keributan. Aku yang salah, aku seharusnya nggak datang ke sini. Aku benar-benar minta maaf udah bikin Kakak-kakak marah.”
Kak Tara menarik tudung jaket Nilam hingga gadis itu tercekik. Mau tak mau, ia kembali berdiri kembali tegak.
“Jangan gitu, Dora! Lo nggak salah!”
“Sudah, sudah!” sergah Kak Daniel. “Masalah ini akan kita investigasi lebih lanjut. Kalian tetap ikuti semua kegiatan LDKS ini. Tapi besok, sebagai hukuman, kalian nggak bisa ikut wisata ke kebun teh. Kalian saya kasih hukuman bersihin semua area villa ini! Paham?”
Nilam mengangguk, sementara Kak Tara mendesah, “Whatever!”
“Sekarang semua bubar!” perintah Kak Daniel. “Semua balik ke kamar! Besok acara kita lebih padat lagi!”
Dengung samar terdengar dari kerumunan panitia dan peserta yang sudah berbaur. Nilam yakin, semua pasti membicarakan tentang dirinya. Hari-hari berikutnya pasti akan semakin berat dan ditambah situasi ini, pasti akan semakin mencekiknya. Bagaimanapun, ia harus menghadapinya. Apalagi Kak Tara tadi sudah membelanya sedemikian rupa. Juga Kak Daniel yang masih membiarkannya ikut kegiatan ini. Walaupun muak, ia tetap harus bertahan agar tidak diberhentikan dengan tidak terhormat dan menjadi aib selama ia bersekolah nanti.
Berpisah dengan Kak Tara, ia hanya bisa menatapnya sebelum meninggalkan cowok yang langsung dibawa Kak Daniel ke tempat lain. Ia membuntuti semua yang kembali ke vila, tanpa ada satu pun yang menegurnya. Begitu juga saat tiba di kamar, tak ada yang mengajaknya berbicara. Ia naik ke ranjang tempat tidurnya, menahan tangis agar tak terdengar. Hingga akhirnya dia terlelap dalam sesak, kesadarannya seolah masuk ke angkasa gelap gulita.
Sesaat kemudian, cahaya benderang menerobos kelopak matanya.
“Bangun! Bangun! Bangun!” teriak perempuan tepat di telinga Nilam. Sinar senter menyilaukan mata yang baru saja terbuka. “Turun! Pakai jaket sama papan nama! Bawa senter! Kumpul di lapangan!”
Makin lama makin seru, Kak. Semangat 💪
Comment on chapter Chapter 10