Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maju Terus Pantang Kurus
MENU
About Us  

Griss meneguk segelas air bening untuk melegakan tenggorokannya setelah makan banyak makanan berlemak. Dari ayam goreng, seafood, mi goreng, kerupuk, es serut, kue tart, hingga tumpeng. Porsi masing-masing makanan yang Griss sebutkan tidaklah sedikit, cewek itu benar-benar merasa kekenyangan.

Sayang sekali. Harusnya Griss tidak makan terlalu banyak sampai perutnya begah. Griss hanya perlu makan secukupnya dan mengobrol dengan orang-orang agar tidak kelihatan canggung. Namun, Griss bukan orang yang pandai bicara dan Griss merasa tujuan Dewi mengundangnya adalah untuk makan, untuk menemani Juna dan anggota keluarga yang lainnya makan. Ya, Griss masih yakin kalau Dewi mengundangnya semata agar Juna dan tamu-tamunya menikmati makanan yang dihidangkan. Kalau memang benar begitu, maka tujuan Dewi telah tercapai.

Kini, setelah acara potong tumpeng dan makan-makan selesai, tamu-tamu Dewi berpencar untuk menikmati acara selanjutnya. Beberapa orang seperti Juna dan orang tuanya berada di halaman belakang untuk barbekuan, Kayra dan Alfin terlihat sedang mengobrol di ruang tengah. Sementara Griss, sekarang dia merasa terjebak karena tidak tahu harus berbicara apa kepada seorang perempuan yang duduk di sebelahnya. Omong-omong, Griss masih tertahan di ruang tengah—tempat dilangsungkannya kegiatan makan-makan—karena tidak tahu harus melakukan apa setelah menghabiskan satu gelas air beningnya.

"Kamu nggak ikut barbekuan di belakang?"

Griss mendongak untuk menjawab pertanyaan itu. "Enggak. Kalau, Kakak?"

Orang yang dipanggil Kakak nyengir. "Panggil Mbak aja. Aku Prilda, sepupu jauh Juna, umurnya masih muda, dan belum menikah."

Dengan canggung, Griss menyambut uluran tangan Prilda. "Aku Griss, Grissilia."

"Budhe Dewi udah ngenalin kamu ke semua keluarga kayaknya. Anyway, makanan-makanan tadi, mama kamu yang masak?" Prilda mengambil segelas es jeruk, kemudian menawarinya pada Griss, tapi cewek itu menolak.

"Nggak semua makanan, Mbak, cuma beberapa."

Prilda menganggukkan kepalanya. "Termasuk cumi asam manis, nggak? Itu enak banget, sumpah. Mama kamu keren."

Pujian itu membuat Griss malu. Karena meski yang dipuji adalah masakan ibunya, yang memerah adalah telinganya. "Makasih, Mbak, tapi masih kalah sama masakan restoran pasti."

"Jujurly, aku lebih suka makan masakan rumahan."

Keduanya tertawa untuk menutupi kecanggungan.

"By the way, Griss, muka kamu agak pucet. Lagi sakit?" tanya Prilda dengan mimik khawatir.

Griss langsung mengambil mirror hand dari dalam tasnya untuk memastikan ucapan Prilda. Sejak datang ke pesta orang tua Juna, sebenarnya Griss sudah merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Griss terus merinding. Dia kira karena lengan gaunnya yang terlalu pendek.

"Kamu yakin kamu baik-baik aja?" tanya Prilda sekali lagi.

Griss cuma tersenyum tipis. Dia sudah melihat seperti apa wajahnya sekarang. Memang pucat, tapi Griss tidak mungkin mengaku sedang tidak enak badan. Jadi, Griss bilang dia baik-baik saja, hanya makeup-nya yang sudah luntur.

"Aku izin ke kamar kecil dulu, ya, Mbak. Mau retouch."

Griss meninggalkan meja makan setelah berpamitan pada Prilda. Langkahnya yang sempoyongan membawanya ke toilet yang berada di balik dapur. Griss meringis begitu sampai di tempat itu. Seperti yang dikatakan Prilda, wajahnya pucat, bahkan saat makeup-nya tidak benar-benar luntur.

Griss duduk di atas toilet yang ditutup. Kepalanya mulai terasa berat. Begitu juga dengan perutnya yang makin melilit. Yang lebih parah adalah kondisi perasaan Griss. Cewek itu merasa resah, merasa bersalah karena makan terlalu banyak hingga begah. Dan, satu-satunya cara untuk menebus kesalahan itu adalah dengan mengeluarkan apa-apa yang sudah masuk ke perutnya.

Griss berdiri dengan sisa-sisa kekuatannya, membuka toilet, menyalakan keran air, lalu memasukan jari tengah dan telunjuknya ke dalam mulut. Dengan itu, Griss berharap keresahannya akan segera berlalu.

^^^

Juna masih barbekuan di halaman belakang rumahnya. Arya, omnya, dan Obe, ponakannya, bertugas menyiapkan api. Sementara mami dan tantenya, sibuk menyiapkan daging, sosis, jagung, dan tempura untuk dimasak. Juna sendiri cuma duduk anteng di atas kursi rotan, malas ikut campur. Soalnya, terakhir kali Juna membantu Kayra membakar satai saat mendapat daging kurban, tangannya nyaris terbakar karena tidak berhati-hati. Karena itu pula, baik Dewi maupun Pandu—papi Juna—tidak ada yang berkomentar melihat putra mereka duduk-duduk saja.

Lima menit berlalu, Arya dan Obe akhirnya bisa menyelesaikan tugas mereka menyiapkan bakaran. Semua orang berseru senang, tidak terkecuali Juna yang sebenarnya tidak akan ikut menikmati barbeku. Perutnya sudah penuh, bisa meledak kalau dipaksa lagi. Tadi, saat acara potong tumpeng, Juna berhasil menghabiskan satu piring penuh makanan karena Griss berada tepat di sebelahnya. Seolah memiliki kemampuan hipnotis, melihat Griss makan, semua orang jadi ikut lapar. Akan tetapi, saat acara makan berlangsung, Juna tidak banyak bicara dengan Griss, malah cenderung diam.

Kursi di sebelah Juna ditarik seseorang. Prilda dengan segelas jus jeruknya duduk tanpa permisi. "Apa?" tanyanya, ketika Juna menatapnya dengan kening berkerut.

Juna mengedikkan bahunya setelah menormalkan ekspresi wajahnya. Prilda bukan sosok sepupu yang dekat dengannya seperti Alfin. Meski begitu, kecanggungan tetap tidak berlaku.

"Tadi bukannya sama Mbak Sri ya, Mbak?" tanya Juna.

Prilda menggeleng. "Yang sama Mbak Kayra itu Alfin. Aku tadi di ruang tengah, ngobrol sama temenmu."

"Temen?" Alis Juna menyudut.

"Grissilia."

"Oh." Mendengar nama itu, Juna jadi tidak bersemangat.

"Kenapa kamu?" Prilda bertanya dengan mimik curiga setelah melihat perubahan ekspresi Juna. "Lagi nggak akur apa kalian?" tebaknya.

Lagi-lagi, Juna cuma mengedikkan bahunya. "Ngobrol apa aja?"

"Nggak banyak. Aku cuma ngajak kenalan, memuji katering ibunya, terus ...." Gadis bergaun kuning bunga matahari itu menjeda kalimatnya, tampak berpikir sejenak. "Terus apa, ya?" lanjutnya.

Juna terkekeh kecil. "Ya mana aku tahu? Kan, Mbak yang ngobrol sama dia."

Prilda cengengesan. "Oh, iya. Aku ingat. Tadi itu aku nanya apa dia baik-baik aja. Soalnya mukanya pucat, jadi aku ngira kalau Griss lagi sakit."

Punggung Juna menegak, tapi ekspresinya tetap dijaga agar tetap datar saat bertanya, "Grizzly sakit?"

"Nggak tahu. Tadi bilangnya cuma makeup luntur, terus Griss pamit ke kamar mandi. Karena hampir sepuluh menit nggak keluar juga, aku tinggal dia ke sini. Gabut."

Tiba-tiba perasaan Juna diliputi kecemasan, tapi di saat yang sama egonya menahan agar dia tidak beranjak untuk mencari tahu keadaan teman makannya itu. Lagi pula, ke kamar mandi setelah makan, kan, sudah jadi kebiasaan Grizzly? Apa yang perlu dicemaskan?

Juna menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran buruk yang hinggap. Saat Prilda bergabung dengan ibu dan tante-tantenya, Juna menghela napas, menyandarkan punggungnya dengan nyaman, lalu mengeluarkan ponsel dari saku blazernya. Saat itu Juna tahu, ada beberapa panggilan yang masuk, tapi tidak terjawab karena ponselnya disimpan dalam mode hening. Panggilan-panggilan itu dari nomor Griss asalnya.

^^^

Griss meremas perutnya yang semakin melilit. Dia masih belum keluar dari kamar kecil sejak seperempat jam yang lalu. Griss merasa suhu tubuhnya meningkat, kepala semakin memberat. Yang terjadi pada tubuhnya seperti bukan masuk angin biasa. Kini, dada hingga tenggorokannya juga terasa panas.

"Gue kenapa, sih?" keluhnya. "Biasanya kalau udah muntah, kan, lega. Ini kenapa sakit banget?"

Griss benar-benar ingin menangis sekarang, tapi dia tidak punya tenaga. Griss benar-benar ingin pulang saat itu juga, tapi acara orang tua Juna belum selesai, apalagi Juna tidak bisa dihubungi.

Kembali duduk di atas toilet yang tertutup, Griss menarik-embuskan napasnya untuk menenangkan diri. Selain merasakan sakit di kepala, perut, dan dadanya, kini Griss merasa mengantuk. Matanya begitu berat sampai Griss ingin memejamkannya erat-erat.

"Jun, angkat telepon gue, please ...."

Griss benar-benar memohon. Namun, lagi-lagi panggilannya tidak terjawab. Cewek itu mendesah, selain Juna, Frissi dan Indira juga tidak bisa dihubungi. Satu-satunya nomor tersisa yang bisa membantunya adalah nomor Jayan. Nyaris putus asa, Griss menekan nomor itu. Dan, terhubung!

"Halo, Griss?"

^^^

"Ajun, ada yang nyari kamu."

Kegiatan Juna membantu mengangkat meja terinterupsi oleh panggilan Utari. Juna menurunkan meja di tempat yang ditunjukkan Dewi, kemudian menghampiri Utari yang berada di ambang pintu.

"Siapa, Tante?" tanyanya. Tantenya itu mengedikkan bahu.

"Nggak tahu. Cowok ganteng. Temen kamu, kali."

Cowok ganteng? Alis Juna tertaut, seingatnya yang ganteng itu banyak. Apa mungkin Dewangga? Bang Dewa ngapain?

Juna masuk ke rumah setelah melaksanakan perintah Dewi. Di ruang tamu, Kayra sudah lebih dulu menyambut tamunya yang datang tak diundang.

"Lho, Bang Jayan?" kejutnya saat menemukan Jayan berdiri di depan Kayra. Melihat adiknya datang, Kayra langsung pamit pergi, kembali mengobrol bersama Alfin di ruangan yang lain. "Ngapain, Bang?"

"Gue ditelepon Griss, katanya dia sakit."

"Hah?" Tak kalah terkejutnya dari melihat Jayan berada di rumahnya, Juna membulatkan matanya mendengar kabar yang temannya itu sampaikan. "Serius lo?"

Jayan mengangguk, mengangkat ponselnya, lalu menunjukkan riwayat panggilan Griss kepada Juna. "Dia minta tolong dijemput karena lo nggak bisa dihubungi. Lo ke mana aja?"

"Gue ada di belakang. Terus, Grizzly bilang dia ada di mana?" tanya Juna, mimik mukanya berubah khawatir, apalagi saat obrolannya dengan Prilda kembali berputar di kepala.

"Tadi itu aku nanya apa dia baik-baik aja. Soalnya mukanya pucat, jadi aku ngira kalau Griss lagi sakit."

Tanpa sadar, tangan Juna mengeluarkan keringat dingin.

"Griss cuma bilang dia ada di rumah lo. Eh, tapi gue dengar suara air. Terus—"

Belum selesai Janu berbicara, Juna langsung berlari ke dalam rumahnya. Jayan mengekor di belakang Juna meski sedikit kebingungan. Keduanya berhenti di depan pintu toilet yang tertutup. Tanpa membuang waktu lagi, Juna menggedor pintu itu dengan cukup brutal.

"Grizzly!" panggilnya. "Buka kuncinya."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When Flowers Learn to Smile Again
1005      732     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Jalan Menuju Braga
478      362     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...
Menanti Kepulangan
45      41     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Monday vs Sunday
216      173     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Matahari untuk Kita
1122      560     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Ilona : My Spotted Skin
598      429     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Smitten Ghost
213      175     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Ruang Suara
205      144     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Fidelia
2157      940     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Yu & Way
167      136     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...