Juna baru selesai membersihkan diri setelah keasyikan bermain gitar, ketika Kayra menghadangnya di depan pintu kamar. Kakak perempuannya itu masih mengenakan baju khas dokter hewannya, artinya dia baru pulang.
"Ngapain?" Sebelah alis Juna terangkat.
Kayra menguraikan lipatan tangannya. "Jemput Mami, sana!" katanya. "Mami masih di sekolah lo, habis ngajar anak-anak klub renang katanya."
"Emang nggak bawa mobil?" tanya Juna.
Kayra menggeleng. "Kalau Mami bawa mobil, gue nggak akan nyuruh lo!" ketusnya. Cewek yang memiliki kesabaran cukup tipis itu kemudian beranjak dari pintu kamar Juna setelah melempar kunci mobilnya. Karena Juna tidak siap, kunci itu pun jatuh, menimbulkan bunyi yang sedikit memekakkan telinga.
Juna buru-buru mengambilnya sebelum Kayra berubah menjadi singa. "Kenapa nggak lo aja yang jemput, sih, Mbak? Kan, kalian searah."
Kayra menghela napasnya dengan kasar. Dia sudah akan masuk ke kamarnya, yang berada tak jauh dari kamar Juna, saat Juna bertanya seperti itu. Ah, tubuh Kayra sudah minta direbahkan sekarang. "Mami bilangnya telat, gue udah di garasi pas Mami telepon."
"Kalau gitu, lo minta tolong Papi lah."
Kilat menyambar, bukan dari langit asalnya, tapi dari mata Kayra. Tangannya menunjuk Juna yang menunduk minta ampun.
"Eh, Paus Kurus, itu namanya nggak sopan. Papi baru pulang kerja. Lagian lo, kan, pengangguran."
"Dih, mulutnya." Juna mencebikkan bibirnya, tidak diterima dibilang pengangguran. Lagi pula, dia kan masih pelajar. Bagaimana bisa disebut pengangguran? Tak ingin menambah kekesalan Kayra, Juna akhirnya menurut. Dilemparnya kunci mobil Kayra ke udara, kemudian ditangkap menggunakan satu tangan. "Ya udah, sekalian balikin lunch box-nya Grizzly, deh."
Tanpa menunggu balasan dari kakaknya Juna segera turun. Itung-itung cari angin, biar otak jadi fresh juga. Seharian ini, Juna terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan, termasuk soal Griss yang belum menghubunginya sejak insiden di halaman sekolah, sesaat setelah Juna bermain basket lebih tepatnya.
"Mami, I'm coming!"
^^^
Griss terkejut saat Jayan mengirimkan pesan yang mengatakan bahwa cowok itu sedang berada di depan rumahnya. Jadi, cewek itu langsung menyuruh Frissi keluar dari kamarnya untuk memastikan kebenaran bunyi pesan Jayan. Semenit kemudian, Frissi kembali ke kamar sambil berkata, "Buset, Kak! Ternyata pangeran itu beneran ada ya? Kak Jayan ganteng banget ...." Itu adalah kata-kata yang tidak ingin Griss dengar.
"Jadi, beneran ada Kak Jayan?"
"Yup. Gue suruh masuk aja apa ya?"
"Biar gue." Griss bangkit dari duduknya, lalu menyambar kemeja yang tergantung di belakang pintu kamarnya untuk menutupi kaos rumahannya yang sudah terlihat kumal.
"Kak Jayan," panggil Griss begitu membuka pintu rumahnya. Benar kata Frissi, pangeran itu—maksudnya Jayan—ada di depan rumahnya. Terlihat tampan dengan balutan kemeja flanel dan celana jeans. Sebelum salah fokus pada ketampanan kakak kelasnya, Griss buru-buru bertanya tujuan Jayan.
"Gue lagi cari kue. Nyokap lo bisa bikin?"
Kepala Griss sedikit meneleng. "Kue?"
Jayan menganggukkan kepalanya. "Kue ulang tahun buat Mira. Dia ulang tahun tepat jam dua belas nanti."
Griss membuka pintu rumahnya lebar-lebar agar dia bisa melihat jam dinding yang digantung di dinding rumahnya. Jam tujuh malam, pantas saja langit sudah gelap.
Setahu Griss, mamanya tidak menjual kue ulang tahun. Namun, Griss nggak enak mau bilang enggak, apalagi Jayan sudah datang jauh-jauh.
"Masuk dulu, yuk, Kak. Tanya langsung aja ke Mama." Griss memilih cari aman.
"Jadi, Nak Jayan mau cari kue?" Indira meletakkan remote televisinya di atas meja. Griss baru saja menggagalkan rencananya nonton drama India dengan mengatakan bahwa ada cowok ganteng yang ingin bertemu dengannya.
Jayan mengangguk-angguk, tak lupa tetap memasang senyum yang membuat pipinya terlihat bolong. "Iya, Tante. Saya udah muter, tapi nggak ketemu juga sama toko yang bisa dipesan mendadak," jawabnya.
Saat ini, ketiganya—Indira, Jayan, dan Griss—berada di ruang tamu. Di tengah-tengah mereka ada sestoples kacang bawang dan segelas jus mangga.
"Ya iya lah. Lagian kamu ada-ada saja. Kenapa nggak pesan dari kemarin?" tanya Indira. Aura ibu-ibu galaknya terlihat, padahal Jayan bukan anaknya.
"Saya lupa. Jadi, apa Tante bisa bisa membantu saya?"
Indira nyaris berkata tidak, jika saja Griss tidak menginjak ujung kakinya sambil berkata, "Bisa, kan, Ma? Mama, kan, jago bikin makanan apa aja?"
Indira tampak berpikir sejenak, membuat Jayan dan Griss menunggu jawabannya dengan tidak sabar. "Kalau cuma sebiji kue ulang tahun, sih, sepertinya bisa. Cuma ... bahan-bahan di dapur lagi nggak lengkap."
"Apa aja yang diperlukan, Tan? Bisa dicari di market-market dekat sini, nggak?" sambar Jayan. Binar kelegaan tergambar di matanya.
"Bisa, sih. Itu pun kalau kamu bersedia keluar kompleks."
Jawaban Indira makin membuat Jayan melebarkan matanya yang berpendar. Griss ikut merasa senang. Setidaknya, Jayan tidak akan pulang dengan tangan kosong alias zonk.
"Griss, toko depan gang itu, yang punya adiknya Bu RT, jam segini masih buka, nggak?" tanya Indira.
Griss, yang semula sedang terpana pada ekspresi senang kakak kelasnya, sedikit terkejut. "Mana aku tahu," ucapnya sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Aduh, Griss, malu-maluin kalau ketahuan terpesona.
"Coba dicek sana!"
"Aku, Ma?" Griss menunjuk dirinya.
Indira mengangguk-angguk. "Iya. Sana temenin Nak Jayan," titahnya.
Jayan sudah bangkit dari kursi. Sebelah tangannya terulur di depan Griss. "Yuk!"
^^^
Sudah sekitar setengah jam Juna menunggu ibunya di parkiran depan minimarket. Sebenarnya, dia bisa saja memasukkan mobilnya ke area sekolah, lagi pula masih banyak guru yang lembur dan siswa-siswa rajin yang masih berkegiatan di sekolah di waktu selarut ini. Juna tidak akan didatangi hantu. Sayangnya, Juna terlalu malas untuk itu. Seharian tadi dia sudah berada di sekolah, rasanya terlalu bosan jika malam ini dia nongkrong di parkirannya.
Biar nanti Mami Dewi yang menyusulnya ke parkiran minimarket. Lagian, Mami nyuruhnya cepetan, kenapa jadi Mami yang kelamaan?
Juna menyandarkan punggungnya di kursi kemudi yang sedikit dilandaikan. Kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, digunakan sebagai bantal. Matanya memejam. Sesekali mulutnya bersenandung mengikuti lagu yang terputar dari pemutar musik yang ada di mobilnya, mobil milik Kayra tepatnya.
Malam jatuh tanpa bintang, tapi tidak ada hujan atau gemuruh petir. Angin bertiup tipis-tipis. Meski Juna menutup jendela mobilnya, dia bisa tahu dari kibaran rambut atau hijab orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mobilnya.
Sepuluh menit berlalu, Dewi belum juga mengirimkan pesan. Juna jadi berpikir, apakah lebih baik dia pergi ke rumah Griss dulu untuk mengembalikan kotak bekal? Sepertinya, mengobrol dengan Griss atau Tante Indira lebih baik daripada berdiam diri di dalam mobil. Lagi pula, Juna memang harus mengobrol dengan Griss untuk mengakhiri kecanggungan setelah kejadian itu, bukan?
"Baiklah." Juna tersenyum saat menatap pantulannya di cermin. "Gue tampan seperti biasa," katanya kemudian, entah apa tujuannya.
Cowok itu mengambil ponsel untuk menghubungi Dewi sebelum dia pergi. Akan tetapi, saat sebuah sepeda motor yang suaranya sangat-amat-dia kenali menepi di dekat mobilnya, Juna mengurungkan niatnya.
"Bang Jayan sama siapa?" tanyanya pada udara diam. Dahinya berkerut-kerut.
Juna meletakkan kembali ponselnya. Musik yang masih berputar, dikecilkan volumenya. Kedua mata elangnya menyipit, memperhatikan gerak-gerik teman satu band-nya, juga seorang cewek yang cukup familier di matanya, yang mengekor di belakang Jayan. Juna tahu persis siapa cewek itu, tapi ... kok, bisa mereka datang berdua? Mau ngapain? Batinnya bertanya-tanya.
Meski Juna tahu Griss sudah lebih bisa berbaur dengan teman-teman band-nya, dia tidak pernah mengira cewek itu akan jalan berdua dengan Jayan. Ada apa di antara mereka? Apa yang membuat mereka bertemu malam-malam? Kenapa hanya berdua? Kenapa ... kenapa Juna merasa tidak terima seperti ada bagian dari dalam dirinya yang baru saja dipatahkan?