Jayan tak berhenti terkekeh, bahkan setelah Juna—dengan pipi merah meronanya setelah digoda—ngacir keluar ruangan. Ternyata temannya itu buta sekali masalah asmara. Sejenis indirect kiss karena minum dari botol yang sama saja tidak tahu. Ya, meskipun pada kenyataannya, Jayan pun tidak mempercayai hal-hal seperti itu. Jayan sering berbagi alat makan atau botol dengan Mira, sahabatnya dari zaman TK.
Omong-omong soal Mira, Jayan jadi merasa bersalah karena telah melupakan hari ulang tahun cewek itu. Belum terlewat, memang, tapi H-8 jam itu terlalu mepet untuk mempersiapkan kejutan. Jayan belum mencari toko kue recommended, membeli hadiah, dan menentukan tempat di mana dia akan memberikan kejutan.
Merayakan ulang tahun Mira bukan sebuah kewajiban, tapi buat Jayan, memberikan kejutan kepada Mira tepat di jam dua belas malam adalah sebuah keharusan.
Jayan suka melihat raut terkejut Mira saat melihatnya datang membawa kue. Jayan juga suka melihat senyum manis Mira saat melihatnya datang membawa kado. Sayangnya, Jayan terlalu sibuk bermain musik dan Mira sibuk dengan kegiatan ekskulnya. Ketidakseringan mereka berinteraksi akhir-akhir ini, membuat Jayan melupakan hari istimewa sahabat kecilnya.
"Bang Jay? Masih di sini?"
Jayan berhenti memainkan tuts keyboard-nya saat kepala Mali menyembul dari balik pintu. Di belakang Mali, terlihat sosok lain mengikuti.
"Ada lagu yang mau diulik lagi, Kak?" tanya Melodi.
"Mal? Mel? Kalian belum pulang juga?"
Mali dan Melodi masuk ke ruang musik, menghampiri Jayan yang duduk di atas stool, berhadapan dengan keyboard. Mali menarik stool lain untuk Melodi, sementara dirinya tetap berdiri di sebelahnya.
"Ngapain, Bang?"
"Bengong doang." Jayan menyengir, memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi.
Melodi mencebikkan bibirnya. "Bengong, kok, dijadikan hobi. Pasti ada masalah."
Kekehan meluncur dari mulut Jayan. "Tahu aja lo." Cowok itu kembali memainkan sebuah intro lagu dengan alat musik kesukaannya. Kali ini dengan mimik serius.
"Serius, Bang, lo lagi ada masalah?"
"Hm. Bukan masalah gede. Cuma kelupaan ultahnya Mira," katanya.
"Ultah Kak Mira bukannya besok?" tanya Melodi.
Jayan mengangguk. "Masalahnya, gue biasanya ngerayain ultah dia pas jam dua belas malam," ucapnya. "Mel, Mal, kalian tahu di mana toko kue yang recommended dan bisa pesan mendadak, nggak? Terus, kira-kira kado apa yang harus gue kasih ke Mira?"
Mali dan Melodi saling pandang. Keduanya ikut berpikir keras. Jam dua belas malam kurang dari sepuluh jam lagi. Tidak banyak toko kado atau toko kue yang buka dua puluh empat jam.
Mali menggelengkan kepala, tidak menemukan jawaban. Kini, Jayan menatap Melodi penuh harap. Semoga adik kelasnya itu bisa membantunya.
"Gimana kalau tanya Griss aja, Kak? Mamanya buka katering, kan? Siapa tahu bisa bikin kue juga."
Ide Melodi bisa dicoba.
^^^
Kalau tidak sering membaca buku-buku fiksi atau menonton drama, mungkin Griss tidak akan pernah menganggap bahwa cewek dan cowok yang minum menggunakan satu botol yang sama berarti melakukan indirect kiss. Dan, tentunya, Griss tidak akan segelisah ini.
Cewek yang saat ini mengenakan kaos oblong dan celana panjang kotak-kotak itu terpekur di bawah jendela kamarnya. Griss baru selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya, dengan tidak fokus, tentu saja, karena sejak tadi kepalanya dipenuhi oleh Juna dan segalanya yang dia lakukan saat bermain basket.
Argh! Rasanya, Griss ingin menghapus sebagian ingatannya. Benar-benar menyebalkan saat muka tengil Juna terbayang-bayang di kepala, ditambah lagi dengan komentar orang-orang—yang saat itu berada di lapangan—yang bertebaran di sosial media. Entah siapa admin akun gosip sekolah, yang jelas, foto dan berita huru-hara yang disebabkan oleh Juna sudah tersebar di jagat maya.
"Kak!"
Griss terperanjat saat pintu kamarnya dibuka paksa—maksudnya tanpa diketuk—oleh adiknya.
"Apaan?" sahutnya malas. Griss beranjak dari bawah jendela, duduk di depan meja belajar dengan lunglai.
Frissi masuk dan langsung merebahkan diri di kasur Griss
"Nggak sopan!" tegur Griss, tapi Frissi tidak peduli. Anak kelas tiga SMP itu berguling-guling di kasur Griss, membuat tempat berukuran 120cm×200cm itu berantakan. Seprainya jadi kusut, bantal dan selimut berhamburan entah ke mana. "Frissilia! Mana sopan santunnya?"
Frissi meringis, kemudian duduk. "Sori, Kak. Pusing banget gue, perlu guling-guling."
"Di kamar sendiri, dong, jangan di kamar gue!"
"Nggak mau. Nanti kasur gue berantakan, terus gue diomelin Mama."
Griss mendesah cukup panjang, sebelum memiting leher Frissi hingga anak itu merengek minta dilepaskan.
"Barbar bener, sih?"
"Elo barbar!"
Frissi mengalah, memilih membereskan singgasana kakaknya daripada harus menerima pitingan lagi.
"Kenapa lo pusing? Emang udah masuk musim ujian?" tanya Griss, sedikit berempati pada adiknya yang terlihat putus asa. Frissi yang Griss kenal jarang berkeluh kesah, apalagi galau berkepanjangan, kalau sudah uring-uringan begini, artinya ada yang tidak beres.
"Pusing mikirin redaksi. Bantuin gue, dong, Kak," jawab Frissi dengan muka memelas.
Frissilia Indhika. Salah satu siswa SMP swasta yang cukup berprestasi. Meski sudah kelas tiga, dia tetap aktif di klub majalahnya. Kali ini, dia sedang ditugasi untuk membuat sebuah artikel yang akan dimuat di majalah sekolah. Kalau bukan karena waktunya bertabrakan dengan try out, les, dan segala tetek bengek kegiatan sebelum ujian, sudah pasti Frissi sudah menyelesaikan artikelnya. Masalahnya hanyalah waktu, juga ide yang tak kunjung muncul di kepala.
"Gue disuruh bikin artikel, topiknya tentang hidup sehat. Ketua klub gue nyaranin gue buat ambil topik diet sehat karena sekarang banyak anak-anak seusia gue yang kelebihan berat badan, kayak yang BMI-nya di atas normal gitu, lho. Terus, Kak .... ekhem. Sorry to say, gue langsung keinget lo, jadi gue menyanggupi topik itu. Eh, tahu-tahu aja gue nggak punya waktu. Gue selalu sibuk ngurusin ini itu," jelas Frissi, dia menatap kakaknya dengan tatapan memohon. "Jadi, kakakku yang lucu, bolehkah gue meminta bantuan lo?"
Griss berdehem, ditatap seperti itu oleh Frissi membuatnya merasa kasihan. Akhirnya, meski enggan, Griss mengangguk saja. "Gue kudu ngapain aja?"
Mata Frissi membulat. "Lo mau bantu? Yes!" Tangannya mengepal di udara. "Kalau gitu, kasih tahu gue rahasia lo turun BB, dan lo harus mengizinkan gue mencantumkan nama lo di dalam artikel itu."
Tanpa sadar, Griss menelan ludahnya. Dia tidak yakin rahasia penurunan berat badannya bisa dibagikan kepada orang lain.
"Jadi ... gimana, Kak?"
Jreng ....
Nada dering ponsel menunda Griss untuk menjawab pertanyaan Frissi. Cewek itu menyuruh adiknya untuk diam sejenak. Griss turun dari kasur untuk duduk melantai setelah mengambil ponselnya. Nama Jayan yang tertera sebagai pengirim membuat jantungnya seperti dipompa lebih cepat.
Kenapa Kak Jayan ngirim pesan? Batinnya bertanya-tanya.
Tak mau mati dilanda penasaran, Griss pun membukanya.
Kak Jayan:
Sori, lo bisa keluar sebentar? Gue di depan