Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maju Terus Pantang Kurus
MENU
About Us  

Tiga bulan kemudian
"Grissilia ... sarapan dulu ...."
Griss baru selesai memulas pelembap bibir ketika Indira berteriak dari arah dapur. Itu artinya, jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Griss meraih ranselnya, lalu berkaca lagi. Setelah semuanya dirasa sudah pas, dia keluar dari kamar.
Di meja makan sudah ada Mama Indira, Frissi, dan Papa Andhika yang wajahnya memenuhi layar ponsel. Griss menyapa semua orang, termasuk papanya, sebelum duduk di sebelah Frissi.
"Mama masak fuyunghai. Mumpung masih anget tuh."
Tatapan Griss tertuju pada sepiring telur dadar yang dimasak ala Tionghoa. Dulu, Griss menyukainya, dia tidak akan melewatkan makanan itu. Namun, saat ini, dia hanya mengambil sepotong kecil, bahkan terlalu kecil untuk disebut potongan.
"Aku bakal sarapan di sekolah. Hari ini mau berangkat pagi soalnya. Ada piket," ucap Griss sambil mengunyah fuyunghai masakan mamanya. Lalu, dia beranjak setelah meminum sedikit air putih. "Aku berangkat dulu, ojolnya udah datang."
"Kebiasaan kamu tuh. Makan siang Juna jangan lupa." Indira geleng-geleng kepala. Terhitung sudah lebih dari tiga bulan Griss melewatkan sarapan. Nggak benar-benar melewatkan, sih, Griss masih selalu bergabung di meja makan, tapi dia tidak ikut sarapan. Kalau ditanya kenapa, alasannya selalu sama: mau sarapan di sekolahan.
"Iya, Ma. Udah di ransel aku. Aku berangkat."
Pukul enam lebih sepuluh, Griss meninggalkan rumahnya.
Tiga bulan berlalu sejak Juna memberinya sekarung makanan ringan. Sejak saat itu, Griss melakukan sebuah perubahan. Melewatkan sarapan adalah salah satu contohnya. Griss tahu itu bukan hal baik, tapi demi kebaikannya, apa saja akan dia lakukan. Termasuk memuntahkan apa saja yang masuk ke dalam perutnya. Griss tidak mengira, ternyata menjadi kurus tidak sesulit bayangannya. Cukup dengan meninggalkan sarapan, pura-pura lahap makan, lalu memuntahkan makanan yang sudah tertelan.
Sepuluh kilogram berat tubuhnya sudah menghilang dalam kurun waktu tiga bulan. Kini, cewek itu tidak lagi berjalan sambil menunduk, atau melewati gerombolan orang dengan perasaan was was takut dikuliti. Dengan penampilan barunya, Griss mulai bisa melangkah dengan percaya diri.
"Woilah, cerah betul itu muka."
Griss baru sampai di kelas ketika sapaan itu sampai di telinganya. Awan, dengan potongan rambut barunya, duduk di atas meja. Sementara Wina yang tiga bulan terakhir ini memutuskan untuk tidak memotong rambutnya, duduk di kursi sambil menghitung uang kas anak-anak kelas. 
Libur semester satu sudah berakhir. Tampaknya, ada banyak yang berubah begitu kembali ke sekolah.
"Rambut baru nih ceritanya." Griss berjalan ke kursinya sambil bersiul untuk menggoda kedua teman sekelasnya. 
Wina mengibaskan rambutnya yang sudah melewati bahu. Kemudian menunjuk jepitan berwarna silver yang terpasang manis di atas telinga. "Gue cantik, nggak?" tanyanya, membuat Griss tertawa, sedangkan Awan berpura-pura ingin muntah. Sejak Griss menjadi kurir surat Awan waktu itu, ketiganya mulai menjadi akrab. Makanya, Wina tidak sungkan memukul-mukul lengan Awan yang sekarang tertawa terbahak-bahak.
"Ampun, deh. Selama liburan, lo belajar silat di mana? Sakit bener pukulannya."
"Makanya nggak usah usil!"
Griss geleng-geleng melihat tingkah kedua temannya yang mirip anak SD. "Udah, Win. Lo cantik, kok," ucap Griss, mencoba melerai.
Pukulan Wina berhenti. Senyumnya mengembang lebar setelah mendengar pernyataan teman sebangkunya. Cewek itu menghambur memeluk Griss.
"Emang lo doang yang terbaik, Griss."
Griss duduk di kursinya dengan tenang, membiarkan telinganya menangkap obrolan-obrolan yang menyebut namanya. Penurunan berat badan Griss memang cukup mengejutkan. 72 ke 62 dalam waktu tiga bulan itu luar biasa. Beberapa orang mengira kalau Griss sakit, sisanya menuduh Griss mengonsumsi obat diet tak ber-BPOM.
Griss sudah menduga perubahannya akan mendapatkan banyak komentar, sama seperti saat berat badannya masih di angka tujuh puluh, tapi setidaknya sudah tidak banyak yang memanggilnya dengan sebutan "gendut" atau "gajah", kecuali Juna. Cowok itu masih memanggilnya dengan nama "Grizzly". Griss memilih untuk tidak ambil pusing.
Jam tujuh kurang lima menit, bel masuk berbunyi. Tak lama kemudian, wali kelas masuk untuk memberikan pembinaan sekitar 45 menit. Setelahnya, pelajaran dimulai. Jam pelajaran pertama hingga ketiga diisi dengan mata pelajaran sejarah. Pelajaran yang membuat murid-murid bernilai standar seperti Griss merasa didongengi. Murid-murid di barisan belakang sepertinya sudah tertidur lelap. Griss duduk di barisan nomor dua dari belakang, barisan paling kiri. Dia bisa saja ikut tidur tanpa takut ketahuan, tapi perut yang keroncongan karena melewatkan sarapan tidak membiarkannya terlelap.
Griss sudah sering merasa seperti itu, perutnya seperti diremas-remas. Kalau itu sudah terjadi, yang bisa Griss lakukan cuma satu. Berharap semoga jam makan siang segera tiba.
"Lo kenapa, Griss?" tanya Wina yang melihat Griss tampak loyo.
Griss cuma nyengir lebar. "Ngantuk. Berasa didongengin," katanya, setengah berbohong.
^^^
"Grizzly ... hari ini makan di lantai dua, ya! Gue lagi konser sama Hazel!"
Andai ada aplikasi yang bisa digunakan untuk meledakkan manusia menyebalkan macam Juna, pasti Griss sudah menginstalnya dan meledakkan Juna saat itu juga.
Mungkin tidak akan jadi masalah kalau Juna menelepon Griss lima menit lebih awal, saat Griss masih berada di kelas, bukan seperti sekarang saat Griss sudah berada di kantin lantai dasar.
Napas Griss memburu tepat di depan ponselnya yang masih tersambung dengan Juna. "Kenapa nggak bilang dari tadi, sih?" tanyanya bernada kesal.
Di seberang, Juna cuma tertawa-tawa. "Namanya juga konser dadakan. Maklumi lah temen gue yang satu itu."
Setelahnya, telepon diputus sepihak oleh Juna. Griss berdesis, makin sebal dengan Juna ketika cowok itu mengirimkan foto yang menunjukkan bagaimana kondisi kantin lantai dua.
Juna berdiri di atas meja, memegang sodet milik ibu kantin. Di bawahnya, Hazel berlagak bermain drum menggunakan sumpit dan meja. Dewangga berperan sebagai manager yang bersedekap dada tak jauh dari dua sohibnya. Anak-anak lain yang berada di sana tampak menikmati pertunjukan dadakan yang lebih mirip huru-hara.
Satu pesan menyusul setelah foto dibuka.

Juna:
Ke sini yaaa, Grizzly
Gue tunggu

Griss menghela napas panjang. Meski begitu, dia tetap menuruti perintah menyebalkan teman makannya.
"Kalau bukan karena Bu Dewi langganan katering Mama, nggak bakal gue nurutin kemauan Juna." Griss menghentakkan kakinya keluar dari pintu kantin lantai dasar, mendengkus cukup keras saat kembali berdesakan di dalam kotakan besi yang akan membawanya kembali ke lantai dua. Untung, tubuh Griss sudah tidak segempal dulu. Jadi, dia bisa menyelinap dengan lebih mudah.
Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Griss menoleh untuk menemukan siapa pelakunya.
"Griss? Bukannya tadi lo ada di lantai satu, ya?" tanya Melodi. Vokalis Chill Zone itu berdiri tepat di belakang Griss.
"Eh, Mel, hai. Iya tadi di bawah," jawab Griss. Bibirnya menyunggingkan senyuman ramah kepada Melodi juga Mali yang berdiri tepat di sebelah Melodi.
Melodi mengangguk-angguk, tatapannya terarah ke tas berukuran sedang yang berada di tangan Griss, tas berisi box makanan yang biasa dipesan oleh Juna. "Emang udah makan siangnya? Istirahatnya baru lima menit, lho?"
Griss meringis, kekesalannya pada Juna kembali bertumbuh. "Gue belum makan malah, Mel. Juna mau makan di lantai dua. Lagi konser katanya." Senyum Griss menghilang, berganti dengan decakan yang bisa didengar oleh orang-orang di dekatnya.
"Emang aneh tuh cowok," celetuk Mali.
"Lo juga aneh, Mal. Lo, kan, temennya si Juna," timpal Melodi.
Griss tertawa kecil melihat dua orang itu saling membalas kalimat satu sama lain. Sudah bukan rahasia lagi memang, kalau Mali dan Melodi adalah sepasang sahabat yang hobi berdebat, seperti Tom and Jerry. 
"Kalian mau ke atas juga?" Cewek itu mencoba kembali membangun percakapan.
Mali mengangguk setelah berhasil menghentikan repetan Melodi. "Yoi, tapi bukan mau ke konsernya Juna."
Melodi ikut mengangguk-angguk. "Kami mau ke perpus lantai dua, hape gue ketinggalan pas jam Bahasa Indonesia tadi. Untung udah diamanin sama Mbak Renata—penjaga perpus."
"Untung gue punya pulsa buat telepon ke nomor lo. Kalau enggak—"
"Astaga, Mali, pamrih banget jadi orang!"
Dan, mereka bertengkar lagi. Griss hanya menyaksikannya dalam diam. Lagi pula lift lumayan penuh, kalau Griss ikut membeo, bisa-bisa makin rusuh.
Lift tiba di lantai dua. Ketika pintu terbuka, Griss langsung keluar begitu tiba gilirannya. Mali dan Melodi ada di belakangnya. Karena arah kantin dan perpustakaan berbeda, ketiganya berpisah di persimpangan koridor.
"Duluan ya, Griss." Melodi melambaikan tangan.
Griss tersenyum hangat, ikut melambai juga. "Dah."
Griss berjalan menuju kantin lantai dua yang biasanya dikuasai oleh anak-anak kelas dua belas. Anak kelas sebelas sepertinya jarang sekali yang berani datang ke sana. Pertama, karena merasa sungkan. Kedua, karena jajanan di sana harganya lebih mahal.
"Grizzly!"
Seseorang memanggil, tapi bukan Juna. Tidak hanya Griss yang mendongak, kini semua orang menoleh ke arah Hazel yang sedang dadah-dadah. Griss mengangguk untuk menanggapi panggilan itu. Sambil menahan malu—karena ikut jadi pusat perhatian—Griss berjalan ke meja konser Juna-Hazel-Dewangga.
"Nah, karena makanan gue udah datang, konsernya udahan dulu." 
Kerumunan di sekitar meja Juna bubar, tersisa Juna, Griss, Hazel, dan Dewangga yang duduk memutari meja. Griss membuka lunch bag dan mengeluarkan dua buah lunch box. Bersamaan dengan itu, pesanan Hazel dan Dewangga—mie ayam dan kwetiaw—datang.
Keempat remaja itu langsung memakan menu makan siang mereka dengan lahap. Apalagi, ada Griss di sana, si Nafsu Makan Berjalan yang membuat semua orang doyan makan.
"Gila, setiap makan bareng lo, mangkuk gue selalu bersih," celetuk Hazel. Mie ayam di mangkuknya tinggal kuahnya saja.
"Gue juga, lho. Padahal porsi kwetiaw di sini mayan gede," sahut Dewangga.
Griss hanya menyimak tanpa banyak berkomentar, berbanding terbalik dengan Juna yang mulai membeberkan kemampuan Griss yang luar biasa.
Tiga bulan berlalu sejak Griss memutuskan untuk berubah. Sikapnya terhadap Juna dan teman-temannya pun ikut berubah. Griss mulai berani berbaur. Tidak lagi merasa terlalu insecure. "Eh, Kak. Aku izin ke toilet dulu, ya." Meski setelah makan bersama Juna atau teman-temannya, Griss selalu izin ke toilet untuk memuntahkan kembali makanan yang sudah ia telan karena merasa bersalah dengan berat badannya–satu hal yang tak diketahui siapa pun selain dirinya.
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kacamata Monita
834      399     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
That's Why He My Man
819      562     9     
Romance
Jika ada penghargaan untuk perempuan paling sukar didekati, mungkin Arabella bisa saja masuk jajan orang yang patut dinominasikan. Perempuan berumur 27 tahun itu tidak pernah terlihat sedang menjalin asmara dengan laki-laki manapun. Rutinitasnya hanya bangun-bekerja-pulang-tidur. Tidak ada hal istimewa yang bisa ia lakukan di akhir pekan, kecuali rebahan seharian dan terbebas dari beban kerja. ...
Dimension of desire
210      178     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
Cinderella And The Bad Prince
1238      838     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
40 Hari Terakhir
565      446     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Glitch Mind
45      42     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
VampArtis United
970      638     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Perjalanan Tanpa Peta
52      47     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
629      284     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Jalan Menuju Braga
389      303     4     
Romance
Berly rasa, kehidupannya baik-baik saja saat itu. Tentunya itu sebelum ia harus merasakan pahitnya kehilangan dan membuat hidupnya berubah. Hal-hal yang selalu ia dapatkan, tak bisa lagi ia genggam. Hal-hal yang sejalan dengannya, bahkan menyakitinya tanpa ragu. Segala hal yang terjadi dalam hidupnya, membuat Berly menutup mata akan perasaannya, termasuk pada Jhagad Braga Utama--Kakak kelasnya...