Lima menit lebih sudah berlalu sejak Griss pamit ke kamar kecil. Sampai sekarang, cewek itu belum lagi menunjukkan batang hidungnya. Juna sempat berpikir bahwa cewek itu langsung OTW ke kelasnya, jadi dia membiarkan Hazel dan Dewangga kembali ke kelas mereka lebih dahulu.
"Kemana, sih, Grizzly?" tanyanya pada udara kosong, sambil membereskan kotak bekal yang Griss bawa. Kali ini, kotak bekal yang digunakan Griss desainnya normal, tidak ada gambar beruang, kuda poni, atau dinosaurus gemas seperti biasa. Tasnya pun begitu. Berwarna hijau polos, tanpa hiasan bunga-bunga atau tulisan-tulisan. Meski begitu, rasa masakan yang Griss bawa masih sama, enak dan membuat lidah Juna nggak berhenti bergoyang.
Ah, sebenarnya makanan apa pun akan terasa enak jika dimakan bersama Griss.
Tiba-tiba Juna tertawa. Aksinya menarik perhatian orang-orang yang masih berada di kantin. Beberapa orang menganggap Juna aneh, sisanya mencoba memaklumi keanehan Juna. Cowok ganteng yang satu itu, kan, emang penuh dengan kejutan. Tadi konser dadakan, sekarang ketawa sendirian. Penonton nggak akan heran kalau besok cowok itu tiba-tiba ikutan geng tawuran.
Dua menit lagi bel masuk berbunyi. Jadi, Juna menyimpulkan bahwa Griss sudah kembali ke kelasnya. Juna kesal ditinggalkan, tapi dia tetap rela membawakan lunch bag milik cewek gendut yang belakangan ini makin langsing aja.
Sebagai Teman Makan yang baik, Juna sempat mengkhawatirkan berat badan Griss yang menurun cukup drastis, pun dengan kebiasaan-kebiasaan cewek itu yang ikut berubah. Griss yang dulu suka marah-marah kalau Juna minta porsi makannya ditambah. Griss yang dulu hobi protes kalau Juna minta porsi lari keliling lapangannya diperbanyak. Griss yang dulu tidak suka diajak Juna ketemuan sama teman-teman band-nya. Griss yang dulu lebih sering menghabiskan waktunya sendirian.
Tiga bulan berlalu, kebiasaan-kebiasaan Griss yang itu seakan memudar. Griss yang sekarang tidak lagi suka marah setiap Juna minta porsi makan atau larinya ditambah. Griss yang sekarang tidak keberatan lagi kalau Juna mengajaknya bertemu dengan teman-teman band-nya. Cewek itu juga tidak lagi suka menyendiri. Griss tidak lantas menjadi social butterfly seperti Juna, sih, tapi dia sudah lebih berani dari sebelumnya.
Banyak pertanyaan timbul tenggelam di kepala Juna. Apakah Griss menjadi lebih percaya diri karena berat badannya yang berkurang? Kalau iya, apakah Griss melakukan diet ketat? Diet ketat macam apa yang tetap membolehkannya makan banyak?
Juna bukannya tidak suka dengan perubahan Griss yang sekarang, dia hanya sedikit merasa ... cemas.
Semoga Grizzly selalu baik-baik saja.
Juna kembali ke kelasnya tepat setelah bel masuk berbunyi. Saat berjalan di koridor lantai tiga, dia melihat Griss sudah bersama teman-teman sekelasnya di halaman sekolah, memakai seragam olahraga.
Ternyata benar, Griss langsung kembali ke kelas setelah pergi ke toilet. Juna bisa maklum karena guru olahraga cewek itu sangat disiplin dan tegas—kalau Juna lebih senang menyebutnya galak.
^^^
Olahraga tidak pernah masuk ke dalam daftar mata pelajaran yang Griss sukai, apalagi setelah tubuhnya menggendut sedemikian rupa. Rasa-rasanya, semua otot Griss jadi kaku ketika dia diminta untuk mencontohkan sebuah gerakan menembak bola pada keranjang. Bisa dibilang, satu-satunya olahraga yang bisa Griss lakukan hanyalah jogging. Ya, meskipun Griss sudah lebih rajin olahraga daripada sebelumnya, dia tetap tidak menyukai mata pelajaran itu.
Karena Griss tidak mau ditunjuk maju, akhirnya Bu Dewi menunjuk Wina dan Awan. Berbeda dengan Griss yang ogah-ogahan, mereka berdua tampak senang disuruh maju. Bergantian, Wina dan Awan mempraktikkan gerakan shooting menggunakan satu tangan, dua tangan, hingga lay up shoot. Anak-anak yang lain memperhatikan dengan saksama agar bisa melakukannya juga.
Tak lama setelah Wina dan Awan kembali masuk barisan, Bu Dewi izin kembali ke kantor guru untuk melakukan rapat. Anak-anak kelas sebelas IPS 2 diperbolehkan melakukan olahraga apa saja, asalkan tidak diam.
Sebagian besar anak laki-laki melanjutkan bermain basket, sisanya melakukan olahraga atletik seperti berlari mengitari lapangan. Kebanyakan anak-anak perempuan—termasuk Griss—memilih sit up, push up, atau back up yang sekiranya mereka bisa. Yang penting gerak, pasti aman.
Griss berdiri, dibantu Wina, setelah berhasil melakukan gerakan sit up dua puluh kali. Keringat mulai keluar dari pori-porinya, menembus kaos putih bergaris hijau nusa indah. Cewek itu menepuk-nepuk bagian belakang celananya untuk menghilangkan debu-debu yang menempel. Kemudian, berjalan ke pinggir halaman untuk beristirahat.
"Ini Bu Dewi nggak akan lihat, kan?" tanyanya pada Wina yang ikut duduk di sebelahnya.
Wina menyerahkan satu botol air mineral yang masih tersegel kepada teman sebangkunya. "Gue rasa enggak. Ini, kan, jauh dari kantor guru."
Griss mengangguk-angguk, lalu mengucapkan terima kasih kepada Wina atas air mineralnya.
"Lo mau main apa lagi, Griss? Jam olahraga masih lama kayaknya."
Griss mengecek jam di ponselnya. Benar, masih ada sekitar empat puluh lima menit sampai bel tanda jam pelajaran harus berganti berbunyi. Cewek itu berpikir soal olahraga apa yang bisa dipraktekkan. Tatapannya terarah ke tengah halaman, di mana ada lima orang teman laki-laki sekelasnya sedang berebut buntalan oranye untuk dimasukkan ke keranjang, dengan lima orang lawan yang baru dia sadari, ternyata bukan teman-teman sekelasnya.
"Lho, itu bukannya Kak Dewangga, ya?" tanya Wina dengan nada antusias dan mata berbinar.
Griss mengikuti arah tunjuk Wina dan melihat Dewangga. Tidak hanya Dewangga, Griss juga melihat Juna dan tiga orang lainnya yang merupakan anak-anak kelas XII IPS 4. Kelima remaja laki-laki itu tidak memakai kaos olahraga, mereka tetap memakai seragam hari Rabu—kemeja putih panjang yang didobel dengan vest berwarna biru dan celana panjang senada.
"Mereka kapan datangnya?" Kening Griss mengerut. Apalagi saat melihat tempat-tempat di sekitarnya terisi. Kini, bukan cuma Griss dan Wina, tapi hampir semua anak kelas XI IPS 2 duduk di tepi halaman untuk menonton pertandingan di tengah lapangan.
"Ya Allah, Kak Juna ganteng banget. Semangat, Kak!"
Teriakan itu dari belakang Griss asalnya, membuat semua orang tertawa. Apalagi saat Juna yang diteriaki kehilangan bola karena sibuk dadah-dadah dan tebar pesona.
Griss dan Wina geleng-geleng kepala. Seperti teman-teman yang lain, mereka menonton pertandingan dengan serius, tidak lagi memikirkan kapan datangnya Juna dan teman-temannya.
Lima menit pertama, skor Awan CS memimpin tiga poin. Meski secara teknis mereka tidak punya banyak pendukung karena orang-orang—terutama para cewek—lebih mendukung tim kakak kelas, mereka tetap bermain dengan baik layaknya atlet basket sungguhan.
"Kak Juna, Kak Juna, Kak Juna."
Orang di belakang Griss kembali meneriakkan nama Juna ketika cowok itu kembali memegang bola. Dengan lihai Juna men-dribble bulatan oranye yang jadi rebutan menuju keranjang lawan. Beberapa kali dia mengopernya kepada Dewangga. Sayangnya, tidak pernah tepat sasaran. Bola di tangan Juna, lagi-lagi direbut oleh tim lawan.
Gemuruh sorakan penonton memenuhi lapangan. Semua orang melupakan tugas yang diberikan oleh guru mereka yang sedang rapat.
"Awan, oper!"
Tim Juna mulai bangkit di menit ke lima belas. Saat Awan CS mulai kelelahan karena mereka bermain lebih dulu—tenaga mereka sudah terkuras—anak-anak kelas dua belas memanfaatkan keadaan dengan bermain lebih agresif. Beberapa kali Dewangga dan Juna berhasil memasukkan bola ke keranjang lawan.
"Yes!" pekik Juna setelah kembali memasukkan bola. Tangannya yang terkepal diangkat setinggi harapan orang tua. Cengiran tidak pernah luntur dari bibirnya yang penuh dan berwarna kemerahan.
Di saat-saat seperti itu, penonton justru diam, kehilangan suara, atau lebih tepatnya tidak tahu harus berbuat apa. Apalagi saat Juna melepas vest-nya, membuka dua kancing kemejanya, dan menyugar rambutnya yang basah oleh keringat. Penonton makin senyap ketika Juna berhenti bermain basket dan berjalan ke pinggir.
"Mau ke mana tuh cowok?" Wina menyenggol lengan Griss.
"Mana gue tahu?" balas Griss. Cewek itu mengedikkan bahunya sebelum meminum air mineral yang Wina berikan. Ikut berteriak seperti orang-orang membuat tenggorokannya dilanda musim kemarau.
Glek. Glek.
Dua teguk berhasil masuk, tapi Griss tidak berhasil menelan tegukan yang ketiga. Kini, semua mata tertuju padanya. Tepat di depannya, Juna berdiri menjulang dengan satu tangan berada di saku celana, sementara tangannya yang lain memegang botol. Juna tersenyum singkat kepada orang-orang yang memperhatikannya, sebelum meminum air mineral yang dia ambil dari seorang cewek yang sekarang sedang memelototinya.
"Juna ...." Griss bergumam dengan nada tak percaya. Kata-kata seolah menguap dari kepalanya. Juna baru saja meminum air mineralnya, menggunakan botol yang sama.
Bukankah itu sama saja dengan—
Buru-buru Griss menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran buruk yang hinggap di sana. Cewek itu bergegas pergi dari sana. Kulitnya memerah sempurna, detak jantungnya tak lagi berirama.
^^^
Sebagai anak band sekolah, ruang musik sudah seperti rumah kedua bagi Juna. Di sana, dia bisa bermain, belajar, berlatih, atau beristirahat. Kadang juga cuma duduk diam dan melamun.
Bel pulang sudah berbunyi, tapi Juna masih berada di ruang musik. Tidak ada gitar di pelukannya. Cowok itu benar-benar hanya duduk diam menyandar dinding.
"Tumben di sini, Jun?"
Seseorang membuka pintu, masuk, kemudian duduk di stool tak jauh dari posisi Juna.
Juna menoleh singkat ke arah Jayan yang—tumben sekali—berpenampilan kusut. "Lagi belum mau pulang. Lo juga tumben ke sini. Kenapa?"
Jayan menggeleng lemah, terlihat tidak bergairah. "Lagi belum ingin pulang juga. Mau tidur aja gue."
Satu alis Juna tetangkat. "Tumben. Biasanya lo gercep nganterin Mira pulang."
"Lo juga biasanya nganterin Griss. Hari ini kenapa enggak?"
Mendengar nama Griss disebut, muka Juna jadi kecut. "Grizzly lagi nggak mau main sama gue, Bray. Tumben banget."
"Kenapa emangnya?"
"Kalau gue tahu, gue nggak akan ngang-ngong begini." Juna mengedarkan tatapannya ke langit-langit. "Gue tuh tadi main basket, lawan anak-anak kelasnya Grizzly. Skor kami seri. Lagian kami cuma main-main. Eh, tahu-tahu, pas gue samperin tuh cewek di pinggir halaman, dia langsung ngacir pergi."
Jayan mengerutkan keningnya. "Ngacir gitu aja? Lo ada bikin salah kali?" tebaknya.
"I don't know, Bang. Gue cuma minta minum karena lagi haus bandel. Kebetulan Grizzly lagi minum, jadi gue minta."
Jayan menegakkan punggungnya, makin tertarik dengan cerita Juna. "Lo minum di satu botol yang sama?"
"Hm." Juna menganggukkan kepala.
"Nempel, nggak?"
"Ya nempel, lah. Namanya juga minum."
"Bego."
Juna melotot. "Ih, kok, lo ngomong kasar?" katanya, yang dibalas dengan decakan gemas.
"Itu yang bikin Griss kesel sama lo, bego. Kalian minum di satu botol yang sama. Lo tahu apa artinya?"
Kalau Jayan yang biasa kalem sudah ngomong kasar begitu, artinya masalah Juna adalah masalah yang serius. Juna ikut menegakkan punggungnya. Matanya menyipit penasaran.
"Emang artinya apa?" tanyanya.
"Indirect kiss."
Jawaban cepat Jayan membuat mata Juna nyaris lepas dari tempatnya. "A-apa? Ki-kiss?" tanyanya terbata.
Jayan terkekeh kecil di tempatnya. Cowok itu menatap sohibnya dengan tatapan prihatin. "Juna-juna, umur doang tua, pengetahuan lo cetek abis kayak anak TK."
Juna tidak mempedulikan ejekan Janu. Kepalanya terasa pengar sekarang. Penjelasan Jayan berputar-putar di kepalanya. Tanpa sadar, Juna menyentuh bibirnya. Indirect kiss gara-gara minum dari satu botol yang sama? Apa maksudnya?
"Cie Juna salting, cie ...."