Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maju Terus Pantang Kurus
MENU
About Us  

Terakhir kali menimbang, berat badan Griss berada di angka 72kg. Itu pun berbulan-bulan yang lalu, sebelum Griss jadi teman makan Juna. Sekarang, Griss bahkan takut untuk menimbang. Menjadi Teman Makan Juna sama dengan menjalankan program menggendutkan badan, sudah jelas bobotnya bertambah. Apalagi, semalam Juna membuatnya makan terlalu banyak. Ah, rasanya Griss mau menangis mengingat rencana berhenti makan sebelum kenyangnya gagal, lagi dan lagi.

Semua gara-gara Juna!

Griss menutupi pipinya yang agak bengkak dengan rambut sepunggungnya. Karena kepalanya yang terus ditundukkan, rambut yang menjuntai malah jadi menutupi hampir seluruh wajahnya. Wina sampai tidak mengenali Griss. Wina yang sudah berada di kelas lebih dulu, menyipit untuk memperjelas penglihatannya.

"Lo Griss? Gue kira penghuni pohon tabebuya di belakang," ucap Wina, yang langsung diganjar dengan toyoran.

"Sembarangan!" Griss melotot sembari berjalan memutar untuk sampai di kursinya.

"Lagian aneh banget jalan sambil nunduk, terus itu rambut dibikin gaya kunti lagi." Wina tertawa. "BTW, lo udah ngerjain tugas MTK?"

Griss mengangguk sambil mengacungkan jempol menggunakan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya sibuk menyimpan lunch bag bergambar kuda poni ke dalam laci. Cewek itu menghela napasnya kemudian. Kapan kesepakatan ini akan berakhir? tanyanya dalam hati.

Bel masuk masih menunggu sekitar sepuluh menit lagi untuk berbunyi. Kelas XI IPS 2 sudah ramai dan berisik. Seperti biasa, keramaian dan keberisikan terjadi karena kegiatan rutin bendahara kelas.

"Win, kas. Jangan nunggak lagi lo, ya!"

Bibir Wina langsung ditekuk. Ya, siapa, sih, yang nggak sebal dipalak pagi-pagi? Meski begitu, cewek yang rambutnya nggak pernah melewati bahu itu tetap mengeluarkan selembar gocengan dari saku kemeja. Wina mengulurkan tangannya dengan tidak ikhlas.

"Kira-kira, bendahara galak kayak lo ini azabnya apaan, ya, Wan?"

Awan langsung melotot, tapi tetap menarik uang Wina, lalu mencatat namanya. Cowok yang tidak pernah absen memakai vest itu kemudian berjalan memutar ke tempat duduk Griss. Padahal, bisa saja Awan menarik uang Griss dari tempatnya berdiri sebelumnya. Aneh.

"Kenapa kudu muter dah? Aneh banget lo?"

"Diem, Win. Suka-suka gue, dong. Yang punya kaki, kan, gue."

Griss yang sudah tidak asing lagi dengan keanehan Awan—setelah perkara surat beberapa hari yang lalu—cuma cekikikkan di kursinya. Saat Awan sudah berada di sebelah mejanya, Griss menyerahkan selembar ceban sambil berkata, "Buat besok sekalian."

Awan mengangguk-angguk sambil mencatat nama Griss di buku batiknya. "BTW, Griss ...."

Griss mendongak, menunggu kalimat Awan selesai. Awan malah menggaruk tengkuknya salah tingkah. Sedangkan Wina yang tidak tahu apa-apa, menaikkan satu alisnya sambil sibuk berprasangka.

"Gue mau say thanks sama—"

"What? Say ... apa?" Ucapan Awan diserobot Wina yang kadar kekepoannya luar biasa. "Lo mau bilang apa ke Griss? Thanks? Kenapa?"

Berondongan pertanyaan Wina membuat Awan keki, sementara Griss terkikik geli. Griss sampai melupakan untaian rambutnya yang tidak lagi menutupi pipi.

"Awan mau say thanks karena gue udah membantu dia," kata Griss mencoba menjawab pertanyaan Wina. Tapi yang namanya Wina emang ngeselin. Bukannya berhenti bertanya, dia malah semakin mencecar dua teman sekelasnya.

"Bantu apa emang? Kok, gue nggak tahu? Kalian nggak—"

"Enggak!" potong Griss. Soalnya kalau tidak segera diinterupsi, pertanyaan Wina bakal sepanjang lintasan kereta api. "Gue cuma bantu nganter—"

"Griss!"

Baik Griss maupun Wina kompak mendongak menatap Awan. Telinga cowok itu memerah. Begitu juga dengan kulit mukanya.

"Kenapa, Wan?"

Awan kelihatan gelisah. Sebenarnya dia cuma mau menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Griss yang mau dijaiin kurir gratisan, tapi karena tidak ingin Wina tahu, Awan jadi harus berpikir keras. Dan, satu-satunya kalimat yang muncul di otaknya saat itu adalah, "Muka lo bengkak, ya?"

Griss membulatkan mata. Kenapa, sih, Awan harus menyadari perubahan mukanya?

^^^

"Ini bengkak parah, Griss. Ngaku, lo makan apa aja semalem?" Suara Wina terdengar seperti petasan di telinga Griss. Matanya yang melotot membuat nyali Griss agak menciut. Mereka berdua memang berteman, tapi di saat-saat seperti ini, Wina lebih terlihat seperti seorang ibu yang geram mengetahui anak balitanya makan permen sembarangan.

Griss masih menatap pantulannya di cermin saat ia berkata, "Ampun, Win. Kalau tahu bakal bengkak begini, gue nggak akan makan banyak kayak semalam." Wajah Griss kuyu. Cewek berpipi bulat yang sedang duduk di matras UKS itu tertunduk lesu. "Ini bisa sembuh, nggak, sih?" tanyanya.

Wina menatap teman sebangkunya dengan sorot khawatir, tapi tidak berlangsung lama. Saat mata Griss mulai berkaca, Wina segera mendekat untuk menepuk-nepuk punggungnya.

"Kenapa nangis? Emang sakit?" tanya Wina.

Griss menggeleng.

"Terus kenapa?"

"Gue jelek banget jadinya. Kayak tahu bulat oversize." Griss meringis, tidak lagi memandang cermin dengan diameter sepuluh senti yang berada di tangannya. Sejurus kemudian, ekspresi sedihnya berubah jadi ekspresi murka, yang diperkuat dengan kepalan dua tangannya. "Semua gara-gara Juna!"

"Emang kenapa sama Kak Juna?"

Sebenarnya, Griss tidak ingin menceritakan kejadian semalam kepada siapa pun, termasuk Wina. Bukan apa-apa, Griss malas jadi omongan saja. Bayangkan, makan bersama Juna di kantin saja jadi bulan-bulanan, bagaimana kalau penggemar Juna tahu idolanya mengajak Griss ke konser untuk menonton penyanyi kesukaannya? Bersama rombongan band-nya pula.

Akan tetapi, Griss bukan orang yang pintar berbohong, apalagi kepada Wina, teman dekat satu-satunya. Mau bilang tidak ada apa-apa dengan Juna, Griss sudah terlanjur buka suara. Argh! Cewek itu mengacak rambutnya.

"Kak Juna ngajakin lo makan malam di restoran mana sampai lo makan banyak dan muka lo bengkak?"

Griss menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia memulai ceritanya. "Bukan ke restoran, tapi ke konser. Dia nggak ngebolehin gue balik sebelum gue makan."

"What? Konser yang di lapangan sekolah tetangga itu? Terus, terus?" sambar Wina antusias. Sementara, Griss melanjutkan ceritanya dengan malas.

"Akhirnya, gue makan bareng dia. Dan, kelepasan. Gue makan bakso ada tiga porsi kali? Atau lebih?"

"Berdua doang?"

Griss menggeleng. "Lo jangan bilang siapa-siapa kalau nggak mau gue jadi Grizzly Geprek, tapi!"

Wina mengacungkan jempolnya.

"Gue bareng anak-anak Chill Zone. Dan Kak Mira."

Wina tidak terkejut. Dia mengangguk lagi. "Lo makan sebanyak itu beneran, Griss? Itu, sih, namanya gila, ya!"

Bahu Griss merosot. Siapa pun yang melihatnya makan semalam pasti akan mengatainya gila juga. Jadi, Griss tidak akan mengomeli Wina.

"Semua salah Juna. Lo tahu, dia sama sekali nggak ada niatan nyuruh gue berhenti makan. Dan, bodohnya, gue terlena sama makanan-makanan itu, juga sama omongan anak-anak Chill Zone yang bilang kalau gue itu beruntung punya kemampuan aneh ini," ucap Griss menggebu. Matanya kembali berlinangan. "Duh, mau nangis aja gue." Cewek itu terisak.

Wina kembali menepuk-nepuk punggung Griss. "Nangis aja. Siapa tahu nangis bisa bikin lo kurus lagi."

"Maksud lo gue gendut banget ya?" tanya Griss tidak santai.

Wina memberi jarak sambil mengangkat kedua tangan. "Santai, Griss. Lo nggak makin gendut, kok, cuma kelihatan lebih berisi sejak lo jadi Teman Makan Kak Juna," kata Wina. "BTW, lo udah pernah nimbang belum, sih?"

"Janganlan nimbang, lihat timbangan aja gue udah mau nangis."

"Ya udah nangis aja."

Griss benar-benar menangis. Seseorang mungkin akan mengatainya lebay, tapi sungguh, berat badan berlebih alias gendut, masih—bahkan akan terus—menjadi momok menakutkan buat Griss dan badan seberat tujuh puluh kilonya.

^^^

Griss merapatkan tubuhnya ke tembok bagian samping deretan ruang ekskul. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Kelas-kelas sudah sepi. Lapangan juga tidak berpenghuni. Meski begitu, Griss masih belum mau keluar dari persembunyiannya. Matanya mengawasi lingkungan sekitar dengan jeli. Griss seperti seorang buronan yang sedang bersembunyi dari kejaran polisi.

Sebenarnya, Griss bisa saja langsung pulang begitu bel dibunyikan. Akan tetapi, Juna memintanya datang ke ruang musik untuk mengambil bayaran atas Katering Mama Indira yang disantap saat makan siang tadi. Ruang musik bukan ruangan yang menyeramkan seperti rumah hantu, tapi bagi Griss, datang ke sana sama dengan mengumpankan diri ke kandang singa. Mungkin itu terdengar berlebihan, tapi memang begitu faktanya. Griss bisa jadi bulan-bulanan Chills kalau salah satu dari mereka ada yang melihatnya menemui Juna di kandangnya.

Sepuluh menit berlalu sejak Griss cosplay jadi cicak, cewek itu akhirnya berani keluar setelah dirasa tidak ada orang lagi di sana. Griss berjalan—mengendap-endap—untuk sampai di ruang musik. Pintu ruangan itu ditutup rapat, tapi Griss yakin di dalam sana ada orangnya. Terlihat dari sepatu-sepatu bermerek yang tertata rapi memenuhi rak. Ada tujuh pasang sepatu. Itu artinya, semua member sedang berkumpul, ditambah satu orang. Mungkin Mira, tapi bisa jadi juga orang lain.

Griss tidak berani mengetuk pintu, apalagi langsung memutar kenopnya tanpa izin. Dia mencoba menghubungi Juna, tapi cuma berdering. Jadi, Griss mencoba mengintip dari jendela yang sedikit lebih tinggi dari matanya.

"Oy, ngapain?"

Cewek tembam itu nyaris kehilangan keseimbangannya karena terkejut saat seseorang mengagetkannya. Jantung Griss langsung berdebar kencang. Ekspresinya berubah jadi sebal ketika melihat siapa yang baru saja membuatnya nyaris terkena serangan jantung.

"Ngeselin lo!"

Juna terkikik geli. "Daripada lo nanti bintitan," ujarnya.

Griss tidak menanggapi, langsung mengulurkan tangannya di depan Juna. "Mana duitnya?"

"Buset. Kayak debt collector. Basa-basi dulu kenapa?"

Grisa melotot dan Juna baru sadar kalau ada yang berbeda dari Griss saat ini.

"Kayaknya lo beneran bintitan, deh. Lihat, mata lo bengkak tuh." Juna menunjuk kantong mata Griss, membuat cewek itu sedikit panik. "Makanya jangan ngintip-ngintip, Grizzly ... atau jangan-jangan, lo habis nangis?"

Tepat sasaran, tapi Griss tidak akan mungkin mengaku. Selain malas ditanya-tanya penyebabnya, Griss juga malas mendengar tawa mengejek Juna. Ya, cowok itu pasti akan mengejeknya habis-habisan kalau tahu Griss menangis karena takut timbangan.

Cewek itu berdecak. "Nggak usah berisik, deh. Siniin duitnya!"

Juna tersenyum miring. Melihat Griss berdecak-decak seperti itu membuatnya ingin menggoda Griss lebih lama.

"Habis diputusin siapa lo? Ututu, sampai bengkak begini matanya." Juna meraih pipi Griss dan menepuk-nepuknya. "Nggak cuma mata lagi, pipi lo juga bengkak, ya?"

"Berisik. Sini duitnya!" Griss mengenyahkan tangan Juna dari wajahnya. Bukan cuma karena risih, tapi juga karena takut tangan Juna tidak bersih, bisa-bisa muncul jerawat yang makin membuat Griss tidak percaya diri. "Juna!"

Juna tidak mengindahkan perintah Griss, malah tertawa-tawa. "Lo balik sama siapa, deh?" tanyanya.

Griss menghela napas cukup panjang. "Kamu nanya?" ucapnya, mengikuti sosok Dilan KW yang sempat viral di sosial media.

"Kamu bertanya-tanya?" Juna malah mengikuti Griss. "Lucu juga lo, lumayan."

"Apa, sih?" sewot Griss saat Juna menjulurkan tangan, hendak meraih puncak kepalanya. "Duit, Jun. Duit. Gue mau balik."

"Jawab dulu, lo balik sama siapa?"

"Bang ojek."

"Oh." Juna mengangguk-angguk, tangannya terlipat di depan dada. "Nanti bareng gue aja. Yuk, masuk. Gue ngulik lagu sebentar."

Mata Griss membulat, tapi sepertinya dia tidak punya pilihan. Anak-anak cheerleaders mulai berdatangan ke lapangan basket untuk latihan. Griss bisa dirujak masal. Apalagi, kebanyakan anak cheers adalah Chills garis keras. Cewek itu merapat ke Juna segera.

"Wih, bawa cewek. Urang kira Akang jomlo," sapa Hazel dengan logat Sundanya yang dibuat-buat. Dia jelas bukan berasal dari Sunda, dan Hazel tahu kalau Juna dan Griss hanya Teman Makan.

Juna menaik-turunkan alisnya. "Kaget ya lo? Kenalin, nih, kenalin," ujarnya, membuat Griss makin merapat karena malu. Tangan Griss bahkan sampai gemetar, apalagi saat ini dia jadi pusat perhatian.

"Hai, Griss. Gue Dewa." Cowok berponi itu ikut masuk ke dalam permainan Juna, diikuti Mali dan Melodi. Sementara, Jayan dan Mira menjadi manusia paling waras di lingkaran itu.

Griss tersenyum serba salah. Dia pasrah waktu Juna menyuruhnya duduk di atas stool.

"Kata Mami, hari ini evaluasi. Nanti lo ke rumah gue dulu sebelum gue antar pulang."

Griss menghela napas tak kentara. Ada udang di balik batu. Ternyata Juna sengaja menyuruhnya datang ke ruang musik, tidak mendatangi kelas Griss seperti biasanya, supaya Griss tidak kabur karena ini jadwalnya evaluasi. Dalam hati Griss berdoa, semoga berat badan Juna bertambah setidaknya lima kilogram.

"Yuk, latihan lagi biar cepet kelar."

Juna mengambil gitar, diikuti Mali. Keduanya langsung menempati posisi di bagian tengah. Di bagian depan, Melodi dan Dewangga bersiap memegang mikrofon. Jayan duduk anteng di belakang keyboard, bersebelahan—agak jauh—dengan Hazel yang mulai beraksi dengan cajonnya. Dalam hitungan ketiga, musik mulai diperdengarkan. Iramanya lembut dan terdengar santai. Harmonisasi vokal Melodi dan Dewangga sangat sopan masuk ke telinga.

Sebagai tamu tak diundang, sepertinya Griss harus bersyukur karena Chill Zone menyuguhkan penampilan yang memukau—padahal masih latihan. Akan tetapi, Griss malah lebih banyak menggerutu daripada menikmati penampilan Juna dkk. Itu karena rasa insecure yang tiba-tiba muncul saat Griss melihat Mira.

Sama seperti Griss, Mira duduk di atas stool di sisi ruangan yang berbeda. Caranya duduk persis model kelas dunia. Pungungnya tegak, kakinya disilangkan dengan anggun, tangannya saling menumpu di atas lutut, dan wajahnya yang cantik, makin terlihat cantik dengan kuluman senyum di bibirnya. Mira nyaris tanpa cela. Rambutnya yang pirang alami, tidak membuatnya terlihat aneh. Keunikannya tidak membuat Mira dideskriminasi, justru dia selalu dipuji dan membuat orang-orang seperti Griss merasa iri.

Tanpa sadar, Griss menatap pantulan wajahnya di layar ponsel. Di sana, tidak dia temukan sosok yang layak dipuji. Di sana, hanya ada gadis berpipi bengkak yang terlihat menyedihkan. Tidak ada senyuman menawan atau mata bulat yang cemerlang. Wajah Griss justru terlihat suram.

Jika Princess Bella dan sang pangeran disebut Beauty and The Beast, maka Griss dan Mira bisa diibaratkan seperti Cassava and Cheese alias Singkong dan Keju.

^^^

"Kalau singkong itu asli, keju, kan, fermentasi."

"Jadi, lo lebih milih singkong daripada keju?"

"Tergantung. Kalau singkongnya diolah dengan cara yang benar, besar kemungkinan gue lebih milih singkong. Gue nggak terlalu suka keju, kecuali makannya bareng lo."

Griss sontak memelototkan matanya. Tangannya yang sedang berpegangan pada ujung jaket Juna, refleks memukul-mukul punggung cowok itu. Untung Juna bukan orang yang mudah geli, jadi motor yang dikemudikannya tetap berjalan dengan stabil.

"Lo itu nafsu makan berjalan, Grizzly, jangan heran dong kalau gue ngomong begitu," ucap Juna. Suaranya beradu dengan angin dan suara mesin. Saat ini mereka sedang berada di atas motor vespa milik Kayra—kakak Juna—yang Juna pinjam paksa. Cowok itu sedang malas naik mobil karena Dewi baru saja mengganti pewanginya dari aroma kopi ke aroma jeruk. Jujur, Juna malas naik mobil itu karena dia bisa pingsan, tapi Juna menukar alasannya dengan kata bosan.

"Lagian, kenapa banget nanya begitu? Nyokap lo mau bikin olahan dari singkong dan keju?"

Griss menggeleng. Juna bisa melihatnya melalui kaca spion. "Cuma nanya. Emang nggak boleh?"

"Buset, sensi amat. Kenapa, sih, lo?"

Bibir Griss ditekuk. Bisa-bisanya Juna nanya dia kenapa, padahal yang membuat Griss kesal adalah dirinya. Kalau Juna tidak meminta Griss datang ke ruang musik, Griss tidak akan melihat Mira yang membuatnya membanding-bandingkan dirinya dengan cewek blasteran itu.

"Jangan nanya mulu, Jun. Lo harus mikirin gimana caranya biar lo cepet menggendut dan gue terbebas dari tugas gue."

Entah mengapa, Juna tidak menyukai kalimat Griss yang satu itu. Mungkin Juna harus banyak makan singkong agar cepat membesar sebesar kingkong, atau rajin makan keju supaya bisa berubah jadi Kaiju. Nggak ada hubungannya!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Best Gift
39      37     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Penerang Dalam Duka
604      400     2     
Mystery
[Cerita ini mengisahkan seorang gadis bernama Mina yang berusaha untuk tetap berbuat baik meskipun dunia bersikap kejam padanya.] Semenjak kehilangan keluarganya karena sebuah insiden yang disamarkan sebagai kecelakaan, sifat Mina berubah menjadi lebih tak berperasaan dan juga pendiam. Karena tidak bisa merelakan, Mina bertekad tuk membalaskan dendam bagaimana pun caranya. Namun di kala ...
Tanda Tangan Takdir
158      134     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Kembali ke diri kakak yang dulu
833      634     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
Imajinasi si Anak Tengah
1957      1137     16     
Inspirational
Sebagai anak tengah, Tara terbiasa berada di posisi "di antara" Di antara sorotan dan pujian untuk kakaknya. Dan, di antara perhatian untuk adiknya yang selalu dimanjakan. Ia disayang. Dipedulikan. Tapi ada ruang sunyi dalam dirinya yang tak terjamah. Ruang yang sering bertanya, "Kenapa aku merasa sedikit berbeda?" Di usia dua puluh, Tara berhadapan dengan kecemasan yang tak bisa ia jel...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
1853      758     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
271      237     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Reandra
1536      1027     66     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...