Berjalan ke kelas bersama Juna seperti digiring ke neraka. Orang-orang yang melihatnya seperti malaikat pencabut nyawa yang bisa mencabut nyawa Griss kapan saja. Juna memang menepati ucapanya soal "mengganggu balik" jika ada yang mengganggu Griss, tapi tetap saja, Griss merasa dikuliti sepanjang jalan. Tatapan iri cewek-cewek di sepanjang koridor itu, lho. Padahal Griss bukan narapidana, Juna juga bukan aktor ternama. Mereka nggak perlu segitu hebohnya.
Karena kehebohan itu, Griss menyuruh Juna untuk membiarkannya berjalan sendirian. Meski lorong kelas Bahasa di pagi hari sedikit terasa horor, berjalan sendirian lebih baik daripada ditemani Juna, lalu digerebek massa. Namun ternyata, berjalan sendirian pun tetap ada risikonya. Di persimpangan menuju lift, seseorang menarik tangan Griss, menyeretnya hingga cewek itu berjalan terseok-seok, sebelum akhirnya berhenti di ujung lorong yang sepi.
"Eh, Gajah!" Itu suara Nindi.
Griss menghela napas pendek sebelum menatap mata cewek di depannya. "Saya Griss, Kak," ucapnya.
Nindi berdecak-decak. Tangannya terlipat di depan dada. "Nggak peduli siapa nama lo. Gue cuma mau kasih peringatan. Pokoknya, sekali lagi gue lihat lo deket-deketin Juna, lo bakal habis di tangan gue." Telunjuk Nindin menunjuk-nunjuk wajah Griss yang kini menunduk.
Jujur, Griss sangat ingin membalas kata-kata Nindi, tapi nyalinya tidak sebesar itu. Andai Nindi tahu kalau Griss sebenarnya tidak pernah ingin memiliki hubungan apa-apa dengan Juna.
"Heran gue. Di antara banyaknya cewek yang suka sama dia, kenapa Juna malah dekat sama lo?" tanya Nindi tak habis pikir. Matanya yang berhias eyeliner tebal sampai melotot, membuat Griss makin menyembunyikan wajahnya karena tatapan Nindi terlihat seperti tatapan artis film horor.
"Lo dengar gue ngomong, nggak, sih?" bentak Nindi.
Griss mengangguk-angguk. "Dengar, Kak ... tapi ...."
"Tapi apa?"
"Kedekatan saya sama Juna nggak seperti yang Kak Nin bayangkan."
Bukannya mereda, emosi Nindi malah makin memuncak. Cewek berok kurang bahan itu maju selangkah, membuat Griss makin terpojok. Sebelah tangannya menepuk-nepuk pipi Griss yang berlemak. "Dengar ya, Griss ... mau seperti apa pun kedekatan lo sama Juna, gue nggak peduli. Yang gue mau, lo jauh-jauh dari Juna dan—"
"Nin?"
Suara lain menginterupsi. Otomatis, Nindi mundur, memberi jarak untuk Griss. Griss menghela napasnya. Dalam hati dia bersyukur kepada Tuhan karena telah mengirimkan seseorang sebelum ikan buntal di hadapannya benar-benar membutanya mati berdiri.
"Mi-mira?" ucap Nindi, terbata. Matanya membulat ketika berserobok dengan mata gadis cantik yang sedang berjalan mendekat.
"Kalian ngapain?" tanya Mira, sebelah tangannya menyentuh bahu Griss. "Kamu kenapa ketakutan begitu, Griss?"
Griss menggeleng, kemudian merapat ke belakang Mira, seolah meminta perlindungan.
Sadar Griss sudah mendapatkan dewi penolongnya, tanpa babibu lagi, Nindi langsung pergi. Meninggalkan Griss dan Mira di ujung lorong itu.
"Kak ... Mira ... makasih," cicit Griss begitu Nindi hilang ditelan belokan.
Mira menepuk-nepuk bahu Griss sekali lagi. "Aku tahu kamu habis digencet sama dia. Lawan aja kalau kamu nggak salah, Griss," ucap Mira. Senyumnya menenangkan.
"Dari kelas sepuluh, Nindi memang terobsesi sama Juna."
Keduanya lantas berjalan beriringan, keluar dari lorong itu. Griss dengan langkah ragu-ragunya, Mira dengan langkah percaya dirinya.
Pagi itu sepertinya akan Griss dinobatkan sebagai pagi teraneh. Pertama, Juna tiba-tiba menjemput. Kedua, Nindi tiba-tiba mengganggu. Ketiga, Mira tiba-tiba datang menjadi dewi penolongnya.
^^^
"Apa? Lo digencet Nindi?" Juna nyaris menyemburkan minuman isotoniknya begitu Griss menyelesaikan ucapannya. Cewek itu baru saja bercerita soal kejadian tadi pagi, setelah dipaksa Juna tentu saja, saat keduanya lari-lari sore di lapangan biasa.
Juna berdiri tiba-tiba. Matanya menyapu sekitar. "Mana anaknya?" tanyanya sambil berkacak pinggang. Sekilas, Juna mirip bapak-bapak yang hendak memarahi orang yang mengganggu anak gadisnya.
Griss mendengkus kecil sambil menarik ujung kaus Juna, menyuruh cowok itu kembali duduk di atas rerumputan. "Udah lah. Makanya, lo tuh nggak usah aneh-aneh ngide ngejemput gue segala," katanya.
Juna kembali duduk. Kakinya yang jenjang diselonjorkan. "Kan, Mami yang nyuruh. Lo mau bikin gue jadi anak durhaka?"
Tidak ada yang bersuara. Bahkan, kendaraan yang biasanya melintas di sekitar lapangan pun tidak terlihat. Sore itu terasa lebih sepi dari sore-sore sebelumnya. Entah hanya perasaan Griss atau memang begitu adanya.
Cewek itu ikut menyelonjorkan kakinya yang berbalut sepatu olahraga berwarna kuning buluk. Griss sudah berlari satu putaran bersama Juna, sekarang dia kelelahan. Bukan cuma lelah secara fisik, Griss juga merasa lelah karena terus menerus memikirkan ucapan Nindi dan beberapa orang yang kerap mengatainya.
"Jun, nanya deh. Terlepas dari kesepakatan kerja sama kita, lo beneran ikhlas berteman sama gue, nggak, sih?" tanya Griss tiba-tiba. Matanya menatap Juna dari samping, membuat fitur-fitur wajah Juna terlihat lebih menawan, terutama pada bagian hidung.
"Kenapa lo ngomong gitu?" Juna bertanya balik. Cowok itu menoleh sehingga Griss langsung membuang tatapannya ke sembarang tempat. "Gue kelihatan nggak ikhlas gitu berteman sama lo?" Bibir Juna mencebik sebal.
"Nggak gitu. Tapi, kan, lo famous, banyak penggemar, dan ..." Griss menghela napas, bersiap untuk berucap, "cakep lah, gue akui." Membuat telinga Juna bersemu merah. "Sementara gue, nama gue bahkan nggak banyak yang tahu. Lo tahu sendiri gue lebih sering dipanggil Gajah, Karung Beras, Beruang Merah, atau—"
"Grizzly."
Bibir Griss terkatup begitu Juna menyahuti. Tuh, kan. Bahkan Juna juga menyamakannya dengan makhluk, yang kalau digambarkan menggemaskan, tapi aslinya bertubuh besar dan menyeramkan. Cewek itu mendengkus sebal, tapi sepertinya Juna tidak sadar dirinya yang telah membuat Griss sebal. Cowok itu tetap cengengesan sambil menowel-nowel bahu Griss.
"Grizzly ... Grizzly .... Jangan salah. Grizzly itu panggilan sayang dari gue, tahu! Bukan buat nyamain lo sama beruang."
Sayang? Satu alis Griss terangkat. Alih-alih terbawa perasaan, dia malah makin sebal.
Juna berhenti menowel bahu Griss, ganti mengucek kepala cewek itu dengan cukup brutal. "Ya udah, sih, yang begitu-begitu nggak usah didengar. Lo cukup fokus aja sama tujuan lo naikin BMI gue dan bikin nilai olahraga lo jadi nggak bobrok-bobrok amat."
Ya, seharusnya memang begitu, tapi ...
"Lo enak tinggal ngucap. Gue yang menjalani hidup sebagai Grizzly, kan, cuma bisa meratapi nasib."
"Manusia emang banyak maunya, Grizzly. Yang kurus pengin gemuk, yang berisi pengin langsing. Dan, orang lain yang cuma bisa berkomentar, itu sebenarnya mereka cuma iri aja. Nggak usah dipikirin."
Griss berdecak. "Kepikiran."
"Basi ah." Juna menjitak pelan kening Griss, membuat cewek itu mengaduh. Kemudian, dia kembali berdiri setelah menenggak habis minuman isotoniknya. "Daripada pusing mikirin omongan orang, mending lo bantu gue mikir gimana caranya bikin lo bisa lari keliling lapangan tanpa sambat. Yuk, lari lagi." Tangannya terulur di depan Griss yang langsung memasang wajah bete.
"Capek ...." keluh Griss, tapi Juna tidak peduli. Cowok itu buru-buru mengambil ponsel Griss yang diletakkan di rerumputan sebelum berlari dengan kencang.
"Hitungan ketiga lari atau gue sita hape lo seminggu dan lo harus nemenin gue nge-band setiap hari!"
^^^
Esoknya, Griss berangkat jauh lebih pagi. Bel masuk baru akan berbunyi setengah jam lagi setelah Griss duduk di kursi. Kelas masih sangat sepi. Kebanyakan anak kelasnya memang lebih suka berangkat di detik-detik terakhir sebelum bel, kecuali Awan.
Griss merogoh saku kemejanya untuk mengambil uang ketika Awan datang dengan buku batik besarnya. Awan bukan mau menagih utang, cuma mau menarik uang kas yang harus disetor setiap warga kelas XI IPS 2. Griss meletakkan uang pecahan lima ribu rupiah di mejanya. Biasanya, Awan akan mengambil, kemudian mencatatnya tanpa banyak berkomentar. Namun, hari ini tampaknya berbeda. Cowok itu duduk di kursi yang ada di depan Griss, menghadap ke belakang.
"Sehat, Griss?" tanyanya, tidak biasa.
Griss tidak terlalu akrab dengan Awan, dia bahkan tidak tahu siapa nama panjang Awan. Aneh rasanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Awan yang biasanya cuma merepet kalau anak-anak nggak bayar angsuran fotokopian. Meski begitu, Griss tetap mencoba sopan dengan menjawab pertanyaan bendahara kelasnya itu.
"Sehat. Eung, lo?" tanyanya balik.
Awan mengangguk. "Sehat juga." Kemudian mencatat nama Griss di daftar nama anak-anak yang sudah membayar kas. "BTW, Griss. Lo akrab sama Juna?"
Sebelah alis Griss terangkat. Kenapa bawa-bawa Juna? "Gue sama Juna kayak gue sama lo gini lah. Kenapa?" Griss melipat tangan defensif.
"Nggak papa. Cuma nanya. Kalau sama Mali, lo akrab?"
"Enggak. Cuma kenal nama."
"Kalau Melodi?"
Perasaan Griss makin nggak enak. Ini pertama kalinya dia mengobrol dengan Awan di luar bahasan uang kas atau tugas. Rasanya terlalu aneh jika Awan mengajaknya mengghibah. Griss memicing curiga. "Kenapa lo tanya-tanya soal mereka? Lo ... diutus Chills atau Kak Nin buat gangguin gue karena nggak terima idola mereka ada yang dekat sama gue ya?" tebaknya, membuat Awan tergelak.
"Ya ampun, Griss. Ya enggak, lah. Lagian, gue bukan Chills," katanya. Tangannya menepuk-nepuk meja—ciri khasnya ketika tertawa. "Suer, gue bukan Chills, gue cuma ... suka aja sama Melodi."
Kekhawatiran Griss berangsur hilang. "Oh .... Jadi, lo duduk di sini buat ngomongin Melodi?"
Awan terlihat menggaruk tengkuknya salah tingkah, pipinya bahkan sedikit memerah. "Nggak gitu, Griss. Gue cuma mau minta tolong sama lo, sih." Cowok itu lantas merogoh saku celananya, kemudian meletakkan selembar amplop kecokelatan ke atas meja. "Gue ... titip ini buat dia."
"Surat?" Griss mengambil benda tipis itu. "Buat Melo?"
Awan mengangguk, tangannya masih sibuk menggaruk. "Tolong dianterin, ya. Plisss ... gue nggak punya nyali buat nganterin ini sendiri soalnya."
"Lo takut?"
Awan menggeleng. "Lebih ke insecure, sih. You know, circle Melodi good looking dan berbakat semua? Gue yang cuma remah gorengan cuma bisa gigit jari, ngelihatin Melodi dari jauh, padahal gue pengin dekat sama dia," jelas Awan sambil celingukan. Dia takut pembicaraannya didengar banyak orang, lalu ditertawakan. Untung kelas masih sepi.
Griss menatapi amplop cokelat itu lagi. Sebagian dari dirinya merasa tercubit saat Awan mengucapkan kata "insecure". Awan yang tinggi, ramping, selalu berpenampilan rapi, dan rajin belajar saja bisa merasa insecure, bagaimana dengan dirinya yang serba rata-rata—termasuk nilainya?
"Terus, yang bikin lo akhirnya nitip surat ini ke gue? Maksud gue, lo akhirnya berani bilang ke Melodi kalau lo suka sama dia, padahal katanya lo insecure?"
Awan mengacak-acak rambutnya seperti orang frustrasi. "Gue demen banget sama dia, cuy, sialan! Makanya gue bertekat bakal ngatasin rasa insecure gue."
Jawaban yang bagus. "Caranya?" tanya Griss. Dia mulai tertarik dengan pembahasan ini. Punggungnya sampai dicondongkan ke depan agar bisa mendengar jawaban Awan dengn jelas.
"Gue harus berubah. Gue dengar, Melodi suka sama Detektif Conan."
"Terus lo bakal berubah jadi Conan?"
Kekehan lolos dari mulut Awan. "Ya, nggak, lah! Gue bakal berubah jadi sosok yang potensial dilirik dia aja," katanya.
Griss terus menyimak. Siapa tahu, cara Awan bisa ditiru.
"Karena circle Melodi shinning, simmering, splendid, dan multitalent semua, gue mungkin bakal memulai perubahan gue dengan mandi tujuh kali sehari dan belajar main gitar sambil kayang."
"Buset. Ngeri juga tutorial perubahan lo," ujar Griss.
Awan tertawa lagi, kali ini sambil berdiri dari kursi. "Ya udah, Griss. Intinya gue nitip surat itu buat Melodi. Thanks banget, ya." Cowok itu pergi, melanjutkan pekerjaannya sebagai bendahara.
Di tempatnya, Griss terdiam cukup lama. Dalam benaknya terbayang satu cara agar bisa terhindar dari amukan Chills, yaitu dengan cara menjadi kurir surat cinta, seperti yang akan dia lakukan untuk membantu Awan. Tapi kemudian, Griss menggeleng kuat. Itu jelas merepotkan. Lagi pula, yang perlu digarisbawahi dari percakapannya dengan Awan barusan bukan tentang menjadi kurir, tapi tentang bagaimana caranya mengatasi rasa insecure.
Seperti Awan yang memulai perubahannya dengan mandi tujuh kali sehari dan belajar main gitar sambil kayang, Griss mungkin akan memulai perubahannya dengan berhenti makan sebelum kenyang. Satu hal yang sangat sulit dilakukan mengingat tugasnya menjadi Teman Makan Juna sekarang.
Huft!