Hingga siang berganti, nama Jayan masih belum hilang dari kepala Griss. Hal itu disebabkan oleh kejadian-kejadian yang terjadi hari itu. Mulai dari Jayan yang terkena lemparan bola hingga Jayan yang menyetujui usulan Juna untuk makan siang bersama. Belum lagi, ocehan Wina soal Chill Zone—yang lebih banyak membahas Jayan dari pada member lain—di telepon yang baru diputus beberapa menit lalu. Griss jadi susah tidur, padahal Frissi—adiknya—yang malam ini mengungsi di kamarnya, sudah lama mendengkur.
Griss melempar ponselnya ke atas kasur. Karena rentetan kejadian yang telah disebutkan itu pula, grup angkatannya jadi ramai. Griss sempat membuka dan membaca beberapa pesan teman-teman satu angkatannya, tapi kemudian mengurungkan niatnya untuk ikut nimbrung. Bagaimana mau ikut nimbrung kalau yang dibahas adalah dirinya? Griss sudah menebak pergunjingan akan terjadi, dia hanya tidak menyangka hal itu akan terjadi secepat ini. Belum ada 24 jam, lho.
Kata Wina, "Jangan cemas. Kebanyakan dari mereka yang meramaikan grup cuma mengatakan betapa irinya mereka dengan lo yang bisa akrab sama circle Chill Zone. Kalau lo nggak kuat gunjingan, lebih baik nggak usah nyimak."
Saran Wina ada benarnya, jadi Griss melempar ponselnya yang berada dalam mode senyap dan membiarkan benda gepeng itu tergeletak di samping Frissi. Memikirkan bagaimana caranya menghadapi amukan Chills besok jauh lebih penting daripada ikut ribut di group chat yang disalahgunakan itu. Meski, lagi-lagi senyum Jayan yang terekam kepalanya mengganggu.
"Ah, bisa gila gue kalau begini!" Griss mengacak rambut kecokelatan sepunggungnya. Membiarkan beberapa helainya rontok, jatuh ke lantai kamarnya yang dilapisi karpet tipis. "Lagian, Kak Jayan kenapa cakep dan baik banget, sih? Kalau dia sama somplaknya dengan Juna, pasti gue biasa aja."
Griss menelungkupkan kepalanya di atas meja belajar. Mencoba menghilangkan Jayan dari kepala, meski yang terjadi justru sebaliknya. Jayan tidak hilang, Jayan makin terbayang-bayang.
Alis tebal simetris, mata sipit yang manis, hidung mancung, tulang pipi tinggi, rahang yang tegas, bibir tebal kemerahan, lesung pipi menawan, dan—cukup! Tanpa dijelaskan secara rinci pun, semua orang yang melihat Jayan akan langsung setuju kalau cowok itu masuk kategori pria tampan nan menawan. Pesonanya mampu menyihir ribuan mata agar terus fokus padanya, lalu memikirkannya, lalu jatuh cinta, lalu tersadar, tersadar kalau Janu kelewat sempurna dan rasanya mustahil dimiliki oleh cewek serba rata-rata, Griss contohnya.
Cewek serba rata-rata yang hanya memiliki kelebihan lemak di pipi, paha, lengan. dan perut itu mengangkat kembali kepalanya. Griss mengambil cermin yang ada di laci meja. Setelah meletakkannya di atas meja, Griss mematut wajahnya. Hatinya bertanya-tanya, sosok seperti apa yang potensial dijadikan gebetan oleh Jayan. Apakah yang berpipi tembam, suka makan, nggak punya banyak teman, dan tukang insecure sepertinya? Griss menggeleng, jelas bukan. Karena, yang potensial jadi gebetan Janu cuma Mira. Almira Roseline. Anggota modelling Nusaindah paling teladan, yang cantik dan menawan, bertubuh ideal, incaran cowok-cowok popular di sekolahnya.
Griss lantas melipat kembali cerminnya, mengembalikan ke tempat asalnya. Menatap pantulan wajahnya terlalu lama hanya akan membuatnya insecure. Jadi, Griss memutuskan untuk pergi tidur. Sayangnya, tiga panggilan tak terjawab dari Wina membuat Griss gagal memejamkan mata.
Wina:
Angkat coy! Urgen
Ini kenapa ada poto lo sama Jayan-Juna? Di kantin lantai 2 pula?
Pesan itu disertai dengan kiriman foto Griss, Juna, dan Jayan yang sedang berada di kantin. Entah siapa yang mengambil dan menyebarkannya tanpa izin.
Griss:
Heh? Kok?
Wina:
Kata anak-anak angkatan, kalian terlibat cinta segi tiga
Itu bener?
Anak-anak heboh nanyain
Griss:
Bener dari mananya Ya Tuhan!
Lo tau sendiri gue cuma remah rempeyek, Win!
Itu cuma bentuk minta maaf gue soal bola pagi tadi
Griss sudah akan membuka grup angkatan, yang chat-nya hampir mencapai seribu, ketika balasan Wina kembali masuk.
Wina:
Tapi kayaknya lo ga perlu khawatir, Griss
Kak Juna udah beresin semuanya
Sebuah screenshot terlampir. Membaca nama Juna membuat perasaannya jadi tidak enak. Dia mengunduh foto itu dengan jantung berdebar. Dan, benar saja, firasatnya benar. Screenshot-an itu menampilkan tumpukan pesan di grup angkatan yang belum Griss baca. Tidak ada yang aneh sebenarnya, kecuali kehadiran Juna di grup angkatan kelas sebelas. Ngapain dia? Pertanyaan Griss terjawab saat dia membaca isi pesan dalam screenshot-an itu.
Wassap rakyatku. Ini Arjuna.
Tolong, jangan terlalu heboh ya. Itu cuma foto.
Kalau kalian lihat aslinya, pasti makin heboh.
Jangan dirisak ya, Grizzly-nya. Dia kalau ngamuk-ngamuk serem lho!
Ini, sih, bukan membereskan, tapi membesarkan. Bukannya berhenti khawatir, Griss makin dibikin ketar-ketir.
Bagaimana kalau besok gue beneran dirisak? Nggak menutup kemungkinan, kan, Chills ingin membuktikan omongan Juna soal amukan Griss yang katanya ... menyeramkan.
"Juna sialan! Sejak kapan gue ngamuk-ngamukan?"
^^^
Griss terhuyung mundur, nyaris jatuh jika tidak ada dinding yang menahan punggungnya. Mata dan mulutnya terbuka lebar. Griss belum selesai sarapan, ransel dan sepatunya belum dipakai, bahkan masih tergeletak di lantai. Griss juga belum memesan taksi. Lalu, kenapa sopirnya sudah ada di sini?
"Siapa, Griss?" Suara Mama Indira terdengar dari arah dapur.
Griss memindai sosok yang menjulang tinggi di hadapannya. Lalu, dia menjawab pertanyaan mamanya dengan suara lantang. "Sopir taksi. Aduh!" Griss mengaduh, kepalanya dijitak oleh seseorang yang ia sebut sopir taksi. "Resek!"
"Elo resek!" seru orang itu sebelum masuk ke rumah Griss tanpa dipersilakan. Kaki-kakinya yang panjang membuat jarak antara pintu depan dengan dapur jadi pendek. Dengan kepercayaan diri maksimal, tangannya melambai begitu sampai. "Hai, Tante," sapanya, membuat perempuan berusia akhir empat puluh tahunan yang sedang berkutat di dapur itu menoleh.
"Eh, Arjuna?" balas Indira dengan wajah semringah.
Tak berselang lama, Griss muncul dengan wajah sengitnya. "Ngapain, sih, pagi-pagi ke sini?"
"Griss!" Indira menggeram, memperingatkan putri sulungnya agar tidak berbicara macam-macam. "Juna tamu, lho."
"Tamu tak diundang."
"Itu namanya Jelangkung!"
"Tapi Juna dibilang sopir taksi, Tante. Jahat banget dia." Juna ikut menyahut. Ekspresinya dibuat-buat agar terlihat terluka. "Padahal Juna mau jemput anak Tante, lho."
"Ngapain?" Griss memekik.
"Jemput. Ke sekolah. Lo mau ke sekolah, kan?"
Griss mengangguk, tapi tetap mendebat Juna. "Kan, gue naik taksi!"
"Kata lo, gue sopir taksi. Ya udah, sekalian aja," ucap Juna, enteng. Seenteng tangan Griss yang bisa melayang ke lengan Juna, jika saja tidak ada Mama.
"Lo ngerjain gue, ya?" tanya Griss. Keningnya bergelombang. Kedatangan Juna pagi-pagi ke rumahnya saja tidak pernah dia pikirkan, apalagi ... apa tadi? Menjemputnya?
"Grissilia! Jangan kasar-kasar sama tamu Mama. Harusnya kamu bilang makasih, dong! Juna udah jauh-jauh, lho, ke sini." Indira mematikan kompor setelah masakannya matang. Aroma tumisan, pekat di ruangan berdinding cokelat muda itu.
"Tapi aku nggak minta!"
"Mama juga nggak nyuruh. Itu artinya, Juna inisiatif sendiri. Ya, kan, Jun?" Indira menepuk bahu Juna yang dua puluh senti lebih tinggi darinya.
Juna yang merasa dapat dukungan, melebarkan senyum khas iklan pasta giginya. "Iya, dong, Tante. Sebagai tamu Tante dan teman anak Tante yang baik hati dan suka menabung, Juna memang sengaja datang ke sini buat jemput dia. Tapi kalau nggak mau juga nggak papa. Biar Juna ke sekolah sendiri aja."
Sok ngambek. Biasanya juga maksa! Sayangnya, Griss cuma berani membatin karena Indira bisa saja melempar sodet saktinya.
"Jangan begitu, dong, Jun. Kasihan kamu udah jauh-jauh ke sini," cegah Indira. Tatapannya beralih ke arah Griss yang memasang muka lecek, padahal baru mandi. "Griss, cepat pakai sepatu. Hari ini berangkat bareng Juna."
"Tapi, Ma—"
"Irit ongkos, Nak."
Griss menghela napas. Sebagai anak dari seorang ibu realistis, Griss paham betul kalau ucapan mamanya itu benar. Irit ongkos, yeah.
"Aku lanjutin makan dulu, belum habis nasinya."
"Iya sana. Juna juga sarapan sekalian ya, Jun."
"Oke, Tante."
^^^
"Gitu, kek, dari tadi." Juna membantu memasangkan seat belt Griss yang duduk di kursi sebelahnya. Sebelumnya, Griss kekeh minta duduk di jok belakang, menjadikan Juna sopir taksi sungguhan. Untung Juna punya 1001 jurus untuk membuat Griss menyerah, kemudian pindah. Sehingga, image sopir taksi tidak jadi melekat di wajah tampannya yang mirip aktor drama.
Juna lalu memasang seat belt-nya sendiri, menyalakan mesin mobil, melaju, membelah jalanan kota yang mulai disesaki kendaraan. Jam berangkat sekolah dan kantor membuat jalanan ramai. Makanya, Juna sengaja menjemput Griss lebih awal agar tidak terjebak macet. Kalau pakai motor, mungkin bisa sesekali menyalip, tapi kali ini Juna sedang bertukar kendaraan dengan kakaknya atas titah ibunda.
"Lo kesurupan apa, sih, ngide jemput gue segala?" Griss bertanya dengan raut tidak suka, masih kesal karena harus berangkat bersama Juna. Padahal, Griss akan berangkat bersama Wina untuk membicarakan strategi menghadapi serangan Chills. Sial sekali.
Juna menoleh sekilas. Sebelah alisnya naik ke atas. "Kenapa, sih? Bukannya seneng, malah ngomel mulu!"
Griss melempar tatapannya ke luar jendela, malas menatap Juna. "Apanya yang bikin seneng?"
"Duduk semobil sama gue. Lo nggak seneng?"
"B aja."
"Idih."
Keduanya diam. Juna sibuk menyetir, Griss sibuk ngedumel sambil memikirkan bagaimana caranya menghilang. Karena dia yakin, setelah turun dari mobil di parkiran Nusa Indah nanti, dirinya akan diserbu penggemar Juna. Apalagi gosip baru sudah menyebar. Itu, lho, gosip cinta segitiga antara Jayan, Griss, dan Juna.
"Jadi, kenapa lo jemput gue?" tanya Griss akhirnya, mengusir keheningan yang membuat suasana jadi awkward.
"Lo mau jawaban jujur apa ngawur?"
"Jujur, lah. Gimana, sih?"
Juna sedikit terkejut mendengar jawaban cewek di sebelahnya. "Astaga, Grizzly ... lo kalau sama gue galak banget, dah. Perasaan kalau di sekolah, sama temen-temen gue, lo anteng, kalem gitu," katanya sambil geleng-geleng.
Griss memasang muka datar. Tangannya mengibas di depan dada. "Nggak penting dibahas. Jadi, kenapa?"
"Dusuruh Mam—"
"Hah?" Griss setengah berteriak. "Bu Dewi nyuruh lo jemput gue?" Keningnya berkerut lagi. "Kok, bisa?"
"Ya bisa, dong." Juna menjawab dengan ringan, seolah apa yang ia lakukan adalah wajar, padahal membuat kepala Griss terasa pengar.
"Astaga ... kalian berdua lagi pada kenapa, sih?"
"Khawatir katanya. Mami takut lo diserang penggemar gue."
"Kok, bisa tahu gue sering diganggu?"
Bahu Juna mengedik. "Tahu, tuh! Punya indra keenam, kali?" Kemudian tertawa.
"Tapi, Jun, bukannya berangkat bareng gini malah makin bikin gue jadi inceran fan lo, ya?" Kali ini, Griss sepenuhnya fokus pada Juna. Guratan-guratan kekhawatiran memenuhi wajahnya yang bulat.
"Iya, tapi kata Mami nggak papa, asal sama gue. Kalau lo diganggu, gue bakal gangguin mereka balik." Senyum lebar terukir di bibir Juna yang tebal dan penuh.
Griss mengerjap. Bohong jika dia tidak merasakan sengatan di dadanya ketika Juna mengatakan kalimat itu. Namun, Griss tidak ingin Juna besar kepala karena berhasil membutanya sedikit tersentuh. Jadi, alih-alih tersipu, Griss memilih memasang ekspresi geli.
"Kesurupan lo, ya?"
"Enggak, tuh. Gue, kan, emang pada dasarnya orang yang amat sangat baik dan menyenangkan." Juna mengedipkan matanya, sok lucu.
"Menyebalkan, kali!" timpal Griss.
"Menyenangkan, dong. Buktinya gue punya banyak teman."
"Terserah lo, lah." Griss menghela napas pasrah. Berdebat adalah olahraga kesukaan Juna. Jadi, jangan berharap banyak soal kemenangan.
Mobil mulai memasuki kawasan Nusaindah. Kekhawatiran mulai melingkupi Griss yang mengepalkan tangan di atas paha. Juna yang menyadarinya, menyentuh puncak kepala Griss dengan sebelah tangan.
"Nggak perlu cemas diganggu mereka. Kan, ada gue."
Harusnya, Griss menepis tangan Juna, turun dari mobilnya, lalu menghilang secepatnya. Akan tetapi, seluruh tubuhnya terasa beku sejak tangan besar itu hinggap di puncak kepala. Tak bisa dimungkiri, kata-kata yang keluar dari mulut Juna sedikit menenangkannya. Meski sedetik kemudian, Juna sudah kembali berulah.
"Udah ngelihatin guenya. Gue emang keren—enggak—gue emang selalu terlihat amat sangat keren."
Juna being Juna. Kenarsisan berada di atas segala-galanya.