Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kelana
MENU
About Us  

Seolah dunia ini mengecil, terhimpit dalam desahan napasku yang penuh harap. Setiap detik yang mengalir, terasa begitu lama, namun aku tahu, langkahku akan segera menggapaimu. Di hadapanmu, segala kegundahan terurai, menjadi pelipur dalam setiap kesedihan yang menggores. Seperti angin yang menenangkan gelisah, hadirmu menyapa dengan lembut, membawaku pulang ke tempat yang hanya bisa aku sebut sebagai damai, tempat di mana segala beban sirna, digantikan oleh cahaya yang menenangkan.

 

 

Tengah malam, koridor rumah sakit dipenuhi isakan dua anak remaja yang tak lagi bisa menahan kesedihan. Sang ayah terjatuh di kamar mandi, tubuhnya dilanda pendarahan hebat. Semua ini terjadi karena satu alasan yang begitu mendalam: beliau belum siap dan tak rela melepaskan satu-satunya anak laki-lakinya pergi dari keluarga kecil yang selama ini dia jaga dengan sepenuh hati. Kecemasan yang menggerogoti hatinya, ketakutan akan kehilangan, membuatnya tak bisa lagi berdiri tegak, seakan tubuhnya tak mampu menanggung beban perasaan yang begitu besar.

Meskipun Pak Brata mengizinkan Haikal pergi menemui bibi kandungnya, hatinya dipenuhi kekhawatiran yang sulit diungkapkan. Rasa takut itu terus menggerogoti pikirannya, takut kalau suatu saat Haikal memutuskan hubungan di antara mereka, meninggalkan keluarga kecil yang telah mereka bangun bersama. Pikiran Pak Brata mulai kabur, tak bisa fokus, terutama dengan banyaknya pelanggan yang terus berdatangan sepanjang hari. Setiap pesanan yang datang terasa begitu berat, seakan seluruh beban dunia ikut membebani pundaknya, membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

"Dok, bagaimana keadaan ayah saya?" Begitu tiba di depan ruang rawat, Haikal langsung mendekati dokter yang baru saja keluar setelah memeriksa Pak Brata. Suaranya terdesak, penuh kecemasan, seolah setiap detik yang berlalu begitu berarti. Di sebelahnya, Aira hanya bisa terdiam, air mata tak henti-hentinya mengalir, matanya terpaku pada sosok ayahnya yang terbaring lemah di balik kaca pintu. Hatinya remuk, namun ia tak bisa mengucapkan kata-kata. Rasa takut dan gelisah menyelubungi dirinya, setiap detik terasa lebih berat dari sebelumnya.

“Kondisi Pak Brata sudah mulai stabil. Saya sudah membersihkan luka-luka di bagian kepalanya. Setelah sadar, kami akan melakukan pemindaian kepala menggunakan CT Scan untuk memeriksa lebih lanjut. Kami khawatir jika ada hematoma atau pendarahan di otak, tapi mudah-mudahan itu tidak terjadi. Untuk saat ini, kalian hanya bisa berdoa dan berharap agar Ayah kalian segera pulih,” ujar dokter dengan suara tenang, namun jelas menggambarkan keseriusan situasi. Haikal dan Aira mendengarnya dengan hati yang berat, tubuh mereka terpaku, seolah tak sanggup mengungkapkan perasaan yang berkecamuk dalam dada.

Setelah mendengar penjelasan dokter, tubuh Haikal seketika terasa lemas, seperti energi dalam dirinya habis begitu saja. Ia tak pernah membayangkan kejadian ini bisa menimpa sang Ayah. Perasaan bersalah langsung menghantamnya, membuatnya merasa sangat egois.

‘Seandainya aku tidak terlalu fokus mencari bi Atmi, kalau saja aku tidak memaksakan diri pergi…’pikirnya.

Haikal tahu, seharusnya ia bisa mengganti uang yang dipinjam bibi dari Pak Brata, tapi rasa kesal dan amarahnya membuat semuanya berakhir seperti ini. Kini, ia tak bisa menahan diri melihat Aira yang terduduk di sana, menangis dengan hancur, seolah seluruh dunia ikut runtuh bersamanya. Hatinya teriris, tak tega melihat adiknya begitu terpukul.

“Maafin aa, Ra. Lagi-lagi aa bawa petaka ke keluarga ini,” ucap Haikal pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan ruang rumah sakit. Tanpa disadari, air matanya mulai mengalir, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun menahan kesedihan atas kepergian sang ibu. Semua yang terjadi terasa begitu berat baginya, seolah ia tak lagi berguna sebagai anak. Rasanya seperti tak layak menerima belas kasih dari orang asing, yang begitu baik hati merawat dan membesarkannya selama bertahun-tahun. Hatinya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam—tak mampu membalas kebaikan Pak Brata, bahkan takut tak akan pernah punya kesempatan untuk membahagiakan beliau dan Aira. Perasaan cemas itu menguasai dirinya, seolah ada beban yang tak tertahankan di dada.

Haikal terpaku sejenak, matanya terkunci pada sosok yang berjalan perlahan di ruang rawat khusus bagian saraf. Seraut wajah yang begitu mirip dengan sang ibu, meski perempuan itu kini sudah paruh baya. Ia berjalan dibantu tongkat, namun langkahnya masih menunjukkan keteguhan. Jantung Haikal berdegup kencang, seolah ada kenangan lama yang terbangun kembali. Begitu banyak perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya, antara rasa kehilangan yang mendalam dan kebingungannya melihat sosok yang seakan mengingatkannya pada masa lalu yang tak pernah benar-benar ia pahami.

Haikal awalnya mengira matanya keliru, mengingat sudah sangat larut malam dan ia pun hendak keluar untuk membeli camilan bagi Aira. Seharian ini, gadis itu bahkan belum sempat makan. Namun kini, tak jauh di hadapannya, berdiri seorang perempuan paruh baya yang tak asing sama sekali. Wajahnya… wajah yang sangat mirip dengan sang ibu. Namun, tak ada tatapan pengenalan, tak ada reaksi sama sekali. Ibunya, yang seharusnya mengenalinya, sama sekali tidak menyadari bahwa anak laki-laki yang dulu ia tinggalkan kini berdiri di dekatnya. Hati Haikal terhimpit, seolah ada lubang besar yang menganga dalam dirinya. Sebuah rasa sesak yang sulit dijelaskan, antara kerinduan dan kenyataan pahit yang harus diterima.

Tubuh perempuan yang melahirkannya itu kini tampak jauh lebih kurus dari yang terakhir kali Haikal bertemu. Jilbab yang membalut kepalanya tampak lusuh, dan wajahnya yang dulu penuh keceriaan kini terlihat lebih pudar, seolah membawa beban yang tak terkatakan. Namun, meski lelah, ada keanggunan yang tetap terpancar ketika beliau tanpa sengaja tersenyum pada seorang anak perempuan yang duduk di kursi tengah, tenggelam dalam siaran televisi. Senyum itu—meski ringkih—masih memiliki kehangatan yang mengingatkan Haikal pada kenangan yang pernah ada. Sebuah senyuman yang membawa rasa rindu begitu dalam, yang seolah mengajak Haikal kembali ke masa lalu.

Dalam hatinya, ada perasaan rindu yang begitu kuat, seakan ingin berlari dan merangkulnya, namun bayangan kekesalan yang mendalam datang begitu cepat, menyayat jantungnya dengan tajam. Perasaan itu menamparnya, mengingatkan pada setiap luka yang ditinggalkan, setiap episode pahit yang harus ia jalani setelah ditinggalkan begitu saja. Rindu itu bersaing dengan amarah, menciptakan kekosongan yang tak bisa ia atasi, memaksanya terdiam dalam kebingungan antara cinta yang masih ada dan luka yang tak kunjung sembuh.

Satu hal yang terus menggelayuti pikirannya, ‘Apakah ini bentuk pembalasan Tuhan atas semua perlakuan tak adil yang Ibu berikan padaku? Kenapa kita dipertemukan lagi, jika pada akhirnya aku masih tak bisa menemukan cara untuk melupakan dan memaafkan? Mengosongkan hati dari kebencian yang begitu dalam, yang seakan sudah mengakar?’ Pertanyaan itu berputar-putar dalam benaknya, menciptakan gelombang kebingungan dan kesedihan yang seolah tak akan pernah terjawab.

***

Setelah cukup lama terpaku menatap sosok sang Ibu di kejauhan, Haikal akhirnya menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Dengan langkah yang sedikit berat, ia memutuskan untuk beranjak pergi. Bagaimanapun juga, ia tak ingin meninggalkan Aira sendirian terlalu lama di depan ruang rawat Pak Brata. Gadis itu membutuhkan dukungannya sekarang, lebih dari apa pun.

Jarak sering kali menjadi dinding pemisah dalam sebuah keluarga. Begitu pula dengan satu-satunya kerabat yang kerap Pak Brata kunjungi. Haikal dan Aira memilih untuk tidak memberi tahu kabar ini, mengingat jarak yang jauh serta kondisi ekonomi Om Tono yang tengah terpuruk akibat gagal panen. Aira sempat mendengar percakapan sang Ayah melalui telepon beberapa waktu lalu, sebuah pembicaraan yang membuatnya paham betapa sulit keadaan mereka di desa.

Maka, meskipun Haikal terus mencoba membujuk agar mereka memberi kabar, Aira tetap bersikeras pada pendiriannya. Baginya, membawa beban tambahan ke keluarga yang sedang berjuang untuk bertahan hanya akan memperburuk keadaan. Sekalipun ini adalah masa sulit bagi mereka, Aira merasa lebih baik menyimpan semuanya untuk dihadapi bersama Haikal.

“Entah mereka sempat datang atau tidak, Ra, yang penting mereka tahu kabar ayah. Setidaknya itu akan membuat mereka merasa dihormati, dan tahu bahwa mereka masih kita anggap keluarga.”

Tak ingin terus berdebat, Haikal melangkahkan kakinya menuju balkon rumah sakit. Ia butuh udara, butuh jeda dari pikiran yang terus membelitnya sejak pertemuan tak terduga dengan sang Ibu. Angin malam menyapu wajahnya, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Tapi, tak ada yang bisa menandingi rasa dingin di hatinya. Bayangan-bayangan itu terus menghantuinya, menerkam tanpa ampun, meninggalkan luka yang entah kapan bisa sembuh. Di bawah langit gelap yang bertabur bintang, Haikal berdiri mematung, berharap angin malam bisa membawa pergi beban yang menghimpit dadanya.

“Tuhan… apa yang harus kulakukan lagi agar aku bisa bertahan dan memaafkan semuanya? Bisakah suatu hari nanti Kau berikan aku secercah kebahagiaan yang benar-benar utuh?” Suaranya lirih, hampir tertelan oleh hembusan angin malam. Tatapan Haikal menembus gelapnya langit, seolah mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan. Ada rasa perih yang menggantung di dadanya, bercampur harapan yang mulai rapuh.

Sebuah tepukan lembut di bahu membangunkan Haikal dari lamunannya. Ketika ia menoleh, Aira tiba-tiba ambruk ke dalam pelukannya. Tubuh gadis itu bergetar hebat, isak tangisnya tertahan, seolah menahan seluruh dunia yang runtuh di pundaknya.

Dengan suara serak dan mata yang hampir sepenuhnya tertutup oleh air mata, Aira berbisik lirih namun memukul telak ke hati Haikal, “Ayah… udah nggak ada, a.”

Dunia Haikal seolah berhenti. Kata-kata itu menggema, menghancurkan keheningan malam yang sebelumnya hanya diisi oleh desau angin. Dalam pelukan yang semakin erat, Haikal merasakan betapa rapuhnya gadis itu—dan betapa ia sendiri merasa sama hancurnya.

Dengan rasa sakit yang mengguncang dadanya, Haikal merangkul Aira erat, seolah ingin memindahkan semua duka yang mengoyak gadis itu ke dalam dirinya. Dalam pelukan itu, ia mencoba menawarkan ketenangan, meski hatinya sendiri berkeping-keping. Tuhan, begitu cepat merenggut sosok yang paling berharga di hidup mereka, bahkan sebelum Haikal sempat membalas setiap kebaikan Pak Brata, sang malaikat penolong.

Hari itu, untuk terakhir kalinya, Haikal berdiri di sisi jenazah Pak Brata, mengulurkan tangan penuh ketulusan saat ikut memandikan tubuh yang kini terbujur kaku. Untuk terakhir kalinya, ia menatap wajah teduh dan penuh kasih dari pria yang telah memberinya keluarga dan tempat untuk pulang. Setiap langkah, setiap doa yang dilafalkannya di sepanjang prosesi, terasa seperti cara terakhir untuk menyampaikan rasa terima kasih yang tak terucap.

Sementara itu, Aira terkulai di kamar, tubuhnya tak lagi sanggup menahan sesak duka yang membebani. Hari itu, bukan hanya menjadi hari di mana ia kehilangan sosok ayah yang mengadzaninya di hari pertama kehidupannya, tetapi juga hari yang merampas setiap kebahagiaan kecil yang biasanya ia rayakan bersama beliau. Ulang tahunnya kini menjadi hari duka yang tak akan pernah sama lagi.

Di rumah itu, kini hanya tersisa mereka berdua. Keheningan terasa begitu menusuk, menyisakan ruang-ruang kosong yang dulu dipenuhi suara tawa dan nasihat bijak Pak Brata. Haikal tahu, jika ia memutuskan untuk kembali ke tempatnya tinggal, Aira akan benar-benar sendirian, tenggelam dalam sunyi yang mencekam.

“Sekarang udah nggak ada lagi alasan buat aa bertahan di rumah ini. Aa boleh pergi.” Suara Aira serak, seperti bisikan yang terhenti-henti, hampir tenggelam oleh isakan yang tak mampu dia tahan. Gadis itu duduk membungkuk di atas ranjang, menarik lututnya hingga menyentuh dada, mencoba menahan segala rasa sakit yang terus menghujam, seolah tak memberi kesempatan untuk sembuh. Tatapan matanya kosong, menembus dinding kamar yang kini terasa sunyi dan asing, jauh lebih sepi sejak kepergian sang ayah.

Dari jendela, ia memandang orang-orang yang baru saja melayat, kini berlalu lalang dengan cepat, membawa kembali hidup mereka masing-masing. Tapi untuk Aira, waktu seakan berhenti. Kebahagiaan yang dulu terpancar dari wajahnya belum sepenuhnya kembali—mungkin belum akan kembali dalam waktu dekat. Dan dalam keheningan itu, ia menunggu jawaban Haikal, meski di lubuk hatinya, ia takut jika jawabannya adalah kepergian.

“Ra, bagaimana mungkin aa ninggalin kamu sendirian?” Haikal berbicara pelan, dengan nada yang penuh kecemasan. Ia mendekat, hendak meraih rambut Aira, ingin memberi sedikit kenyamanan. Namun Aira dengan cepat menarik tubuhnya, menghindar tepat sebelum sentuhan itu terjadi.

“Kenapa nggak? Sekarang ayah udah nggak ada, dan aa juga udah ketemu sama ibu kandung aa, kan? Aira udah gede, aa nggak perlu terlalu cemas. Karena kita bahkan bukan saudara sedarah.” Aira membalas dengan nada yang menohok, seolah kata-katanya jadi benteng untuk menahan semua perasaan yang menggerogoti hatinya.

“Kamu nggak akan ngerti, meskipun aku kasih tahu, Ra,” ucap Haikal, untuk pertama kalinya menyebut namanya tanpa embel-embel ‘aa', panggilan yang biasa Aira ucapkan untuknya. Kalimat itu seperti pedang yang tergores dalam diam, meninggalkan kekosongan di antara mereka.

Setelah itu, Aira tak lagi bersuara. Ia memilih berbaring dengan punggung menghadap Haikal, seakan menghalau segala kata yang ingin keluar.

“Maaf, Ra,” kata Haikal pelan, suaranya hampir tenggelam oleh keheningan yang semakin membeku di ruang itu.

Mungkin, Aira butuh waktu lebih untuk pulih setelah segala yang terjadi, setelah kehilangan Pak Brata yang begitu mendalam. Haikal tahu itu, dan ia harus bisa memakluminya. Tanpa banyak kata, ia beranjak ke ruang tengah, menyibukkan diri dengan membereskan barang-barang dan peralatan yang masih berantakan setelah proses pemakaman.

Namun, tatapannya tiba-tiba terhenti pada sebuah foto yang tergantung di dinding. Foto itu, dengan bingkai kayu sederhana, menampilkan dirinya, Aira, dan Pak Brata—kenangan yang begitu hangat, namun kini terasa begitu jauh.

“Gimana bisa kamu tahu kalau aku ketemu ibu, Ra?” gumam Haikal, perlahan. “Sepertinya hanya aku yang mengenal Ibu, sementara beliau…”

Suaranya tercekat, seolah kata-kata itu tak cukup menggambarkan perasaan yang membebani dadanya.

Aira tiba-tiba muncul di belakang Haikal, suaranya sarkastis, namun ada kesedihan yang tersembunyi di dalamnya. “Aira ngeliat aa malam itu. Kenapa nggak samperin ibu aa? Kenapa malah jadi pengecut, cuma karena beliau nggak ngenalin aa?” Ia menyahut dengan tajam, seolah ingin memecah keheningan yang mengekang perasaannya. “Temui beliau sekarang, a. Luapin semua kesakitan yang selama ini aa pendam. Lagi pula, sekarang ayah udah nggak ada. Aira Cuma nggak mau aa kehilangan orangtua lagi, sosok yang selama ini berharga di hidup a Haikal. Jangan terlalu khawatir sama Aira. Aira nggak mau jadi beban yang nahan aa. Kapanpun aa rindu sama ayah dan Aira, pintu rumah ini akan selalu terbuka.”

Suara Aira tak bisa disembunyikan lagi. Setiap kata seolah membawa beban yang harus diungkapkan, dan meskipun ia berkata bahwa Haikal tak perlu khawatir, ada keinginan yang lebih besar dalam dirinya untuk melihat Haikal bebas dari rasa sakit dan penyesalan yang membelenggunya.

Tubuh Haikal gemetar, perasaan yang begitu kacau kembali menguasai dirinya. Kali ini, ia merasa tak bisa lagi mengendalikan semua yang mengombang-ambing dalam hatinya. Namun, di saat yang sama, ada Aira. Gadis itu, yang selalu menjadi penenang dan sumber kebahagiaannya, ada di sana, memberi kekuatan yang tak terucapkan. Tanpa kata, mereka saling berpelukan, saling memberikan kehangatan yang selama ini hilang. Waktu terasa melambat, seolah-olah mereka berdua menyatukan segala rasa sakit, luka, dan tanya yang belum memiliki jawaban. Dalam pelukan itu, segala sesuatu terasa lebih ringan, meski beban masih terpendam di dalam hati.

“Beri sedikit ruang di hati aa untuk ikhlas. Sekecil apapun itu, beri kesempatan buat Ibu kandung aa untuk menjelaskan semuanya. Seperti yang selalu aa bilang, hidup itu Cuma sekali, dan dalam sekali itu kita harus selalu bisa hidup dengan bahagia. Meski terkadang terasa begitu berat, kita harus tetap percaya bahwa Tuhan tidak akan memberi ujian melebihi kemampuan hamba-Nya. Setiap cobaan yang datang, pasti ada hikmahnya."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Unbreakable Love
40      39     0     
Inspirational
Ribuan purnama sudah terlewati dengan banyak perasaan yang lebih berwarna gelap. Dunia berwarna sangat kontras dengan pemandangan di balik kacamataku. Aneh. Satu kalimat yang lebih sering terdengar di telinga ini. Pada akhirnya seringkali lebih sering mengecat jiwa dengan warna berbeda sesuai dengan 'besok akan bertemu siapa'. Di titik tidak lagi tahu warna asli diri, apakah warna hijau atau ...
Langkah yang Tak Diizinkan
159      135     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Metafora Dunia Djemima
85      70     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Deep End
37      36     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Kainga
1129      664     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Let Me be a Star for You During the Day
950      498     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Broken Home
29      27     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Konfigurasi Hati
441      308     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Fidelia
2065      887     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
FaraDigma
792      474     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...