Luka itu seperti bayang-bayang batu besar, menggantung berat di setiap sudut waktu, tak pernah lepas meski langkah berganti arah. Ia bukan hanya jejak yang tersisa, tapi suatu bayangan gelap yang tak pernah ragu, membuntuti di bawah cahaya atau dalam malam yang pekat. Seperti batu yang diam tak bergerak, luka itu mengakar, membentuk kontur yang sulit dipahami, meninggalkan goresan di jiwa yang tetap menggelegak meski dunia berputar tanpa henti.
Seminggu sudah berlalu, namun setiap kali Haikal menyempatkan diri berkunjung ke rumah Bi Atmi, ia selalu membahas rumah itu kosong. Baik pagi, siang, maupun malam, hasilnya tetap nihil. Hanya keheningan yang menyambutnya di setiap sudut rumah sederhana itu. Hingga pada kunjungannya yang terakhir, ia bertemu dengan seorang bapak pedagang sayur keliling yang tengah lewat.
"Kemarin pagi saya sempat melihat Bu Atmi, Dek. Tapi sepertinya dia sama anaknya mau pindah dari sini. Soalnya ada beberapa tas dan kardus di depan rumahnya," ujar si bapak dengan suara pelan, namun cukup membuat hati Haikal berdegup lebih kencang.
Haikal teringat, pikiran kalut memikirkan sosok perempuan paruh baya itu. Bagaimana mungkin Bi Atmi, yang selama ini ia anggap seperti penyelamat, pergi begitu saja tanpa sepatah kata? Terlebih lagi setelah dia tahu Bi Atmi meminjam uang dari Pak Brata, lalu meninggalkan semua tanggung jawab di belakangnya.
Ia menghela napas panjang. Semua kepercayaannya seketika runtuh. Selama ini, ia menganggap Bi Atmi berbeda dengan ibunya—lebih bertanggung jawab, lebih tulus. Ia kira, keputusannya merawat Hasybi adalah wujud kasih sayangnya, meski dalam keadaan sulit. Namun, semua yang ia yakini seakan berubah menjadi kabut yang mengacaukan pikiran.
“Apa mungkin Bi Atmi pulang ke kampung?” gumam Haikal, lebih kepada dirinya sendiri.
Kampung yang dimaksud adalah tempat kelahiran Bi Atmi dan sang ibu. Meskipun ingatannya samar-samar tentang lokasi itu, Haikal masih bisa mengingat sebagian alamatnya. Terlebih lagi, saat pertama kali bertemu, Bi Atmi sempat bercerita tentang rencana untuk kembali ke kampung halaman. Namun saat itu, beliau tidak pernah menyebutkan kapan rencana itu akan diwujudkan.
Dengan segudang pertanyaan yang terus melekat di pikirannya, Haikal memutuskan untuk mempertimbangkan perjalanan panjang menuju kampung tersebut, berharap bisa menemukan jawaban atas teka-teki yang mulai menyesakkan dadanya.
Sebelum berangkat, Haikal memutuskan untuk memberi tahu Pak Brata dan Aira. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, membuat beliau gelisah menunggu kabar, atau kembali memicu kemarahan Aira seperti saat ia menghilang tanpa jejak selama berada di Luar Negeri. Pengalaman itu masih segar dalam ingatannya—betapa sulit membujuk gadis itu untuk memaafkannya. Ia harus menghabiskan semalaman penuh meyakinkan Aira, hanya untuk akhirnya didiamkan selama beberapa hari setelahnya.
Kali ini, Haikal bertekad untuk melakukannya dengan cara yang benar. Ia sadar, setiap langkah yang ia ambil bukan lagi hanya tentang dirinya sendiri. Ada orang-orang yang peduli padanya, yang perlu ia hargai perasaannya. Dengan napas panjang, ia menguatkan hati untuk berbicara dengan keduanya, meskipun ia tahu mungkin akan ada pertanyaan dan kekhawatiran yang sulit ia jawab.
Malam itu, sebelum berangkat ke rumah Pak Brata, Haikal memastikan semuanya sudah teratur. Ia meminta perawat yang biasa menjaga Hasybi, menemani kakaknya sepanjang malam. Ia tahu, lelaki itu sering gelisah jika harus menunggu sendirian terlalu lama. Meski caranya hanya berbentuk langkah kecil, hal itu sedikit membuat Haikal merasa tenang.
“Tolong jagain Bang Abi ya, kalau ada apa-apa langsung hubungi saya,” pesan Haikal sambil menatap perawat itu dengan serius. Setelah memastikan semuanya aman, ia pun melangkah keluar rumah, berharap malam ini menjadi awal jawaban atas kegelisahan yang mengganjal hati selama ini.
Di meja makan sederhana itu, Haikal, Aira, dan Pak Brata duduk bersama, menikmati hidangan hangat yang tersaji. Malam ini terasa lebih istimewa, karena akhirnya mereka bisa merayakan kepulangan Haikal—meski terlambat, setelah Aira berhenti menunjukkan amarahnya. Namun suasana yang awalnya hangat perlahan berubah ketika Haikal mengutarakan rencana untuk pergi ke kampung halaman ibunya.
“Aira ikut,” ucap gadis itu tiba-tiba, memotong kalimat Haikal sebelum dia sempat meminta izin sepenuhnya.
Haikal menatap Aira, mencoba memberikan penjelasan dengan nada tenang. "Nggak bisa, Ra. Nanti kerjaan kamu gimana? Ayah juga nanti sendirian, nggak ada yang jagain di sini."
Aira menghela nafas panjang, lalu balas menatap kakaknya dengan tekad. "Waktu a Haikal pergi, aku juga nggak tinggal di sini, kan? Lagian di butik, semuanya udah ada yang urus. Nggak apa-apa, kan, Yah? Cuma tiga hari ini, kan, a? Aku juga kalau pulang ke rumah ini, bisa seminggu sekali. Ya, ya? Boleh ya?" ujarnya, mulai merengek seperti anak kecil. Tak ada yang mengira gadis 24 tahun itu masih bisa berpikir begitu manja.
Pak Brata tertawa kecil melihat tingkah Aira, lalu menoleh ke Haikal. “Ajak saja adikmu, Kal. Selama dia nggak repotin kamu, nggak apa-apa, kan?” sambil menepuk pundak Haikal.
“Belakangan ini pengunjung rumah makan lagi ramai-ramainya. Ayah juga bakalan sibuk terus, jadi kalau kalian pergi, Ayah nggak bakal terlalu sering memasak makanan, hehehe. Sekalian Aira liburan juga, siapa tahu udara kampung bikin kamu lebih segar. Tapi jangan lupa ya, oleh-oleh buat Ayah!” candanya sambil tersenyum.
Aira langsung bersorak kecil, senang karena mendapatkan dukungan. Sementara Haikal hanya bisa menghela nafas panjang, tahu bahwa ia tak akan bisa mengubah keputusan adiknya lagi.
Setelah mendapat izin dari Pak Brata, kini Haikal dan Aira berdiri di peron stasiun kereta, menunggu jadwal keberangkatan mereka. Tidak banyak barang yang mereka bawa, hanya beberapa tas kecil dan bingkisan sebagai buah tangan untuk Bi Atmi dan anaknya. Perjalanan ini hanya tiga hari, tetapi bagi Haikal, ada banyak hal yang harus diselesaikan dalam waktu singkat itu.
“Sebenarnya Haikal pulang ke sana mau apa sih?” tanya Aira, memecah keheningan di antara mereka. Pandangan gadis itu tak lepas dari kakaknya, penuh rasa ingin tahu.
Haikal sudah menduga pertanyaan ini akan muncul. Aira memang tidak tahu soal uang yang dipinjamkan Bi Atmi dari Pak Brata. Ia tidak bisa membayangkan apa reaksi gadis itu jika mengetahui kebenarannya.
"Mau liburan juga, Ra. Sama kayak kamu. Sekalian ngucapin terima kasih ke Bi Atmi karena udah rawat Bang Abi," jawab Haikal, berusaha terdengar santai.
Aira memutar bola matanya, tidak puas dengan jawaban itu. "Yee, kalau cuma buat liburan, kenapa sempat-sempatnya gak bolehin Aira ikut? Kalau ada hal yang menyenangkan, ajak dong. Aira kan bisa luangin waktu buat nemenin aa."
Haikal tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangan ke rel kereta yang terlihat seolah tak berujung. “Terus kalau yang sedih-sedih gimana?” tanyanya balik, menatap Aira dengan sorot mata lembut namun serius.
Aira menjawab, tak langsung menjawab. Sejenak, ia merasakan pertanyaan itu seperti menyentuh sesuatu yang ada di dalam hatinya. “Kalau yang sedih-sedih… Ya sama aja. Aira juga bakal luangin waktu buat aa. Nnggak harus aa tanggung sendiri,” balasnya, kali ini terdengar lebih pelan, seperti memastikan ucapannya didengar dan dipahami oleh Haikal.
Haikal tersenyum kecil, lalu menampar pelan kepala Aira. “Terima kasih, Ra,” gumamnya pelan, seolah ucapan itu punya makna lebih dari yang terlihat.
Meski sedikit canggung, Aira berusaha keras mempertahankan raut wajah biasa di hadapan Haikal. Dia tahu kakaknya menyembunyikan sesuatu, tapi dia memilih untuk tidak mendesak. "Pokoknya jangan sampai aa sedih ya? Sebisa mungkin aa harus seneng terus," ujarnya dengan nada ringan, meski ada nada kekhawatiran yang terselip di akhir kalimatnya.
Haikal hanya tersenyum tipis mendengar ucapan itu. Di dalam hatinya, ia meresapi kata-kata Aira, namun tak bisa sepenuhnya menjamin keyakinan gadis itu.
'Iya, kalau aku bisa, Ra. Kalau hidup ini menimbulkan keinginan. Kalau semua yang terjadi bisa aku kendalikan sesuai keinginanku,' batin Haikal, hatinya berbisik pilu. Tapi ia memilih diam, menyembunyikan kerumitan yang terus menumpuk di pikirannya.
"Tenang aja, Ra. Aa bakal coba senyum terus, kok. Apalagi kalau ada kamu yang terus nyemangatin," balas Haikal akhirnya, dengan senyum yang terlihat tulus, meski terselip sedikit beban yang ia sembunyikan rapat-rapat.
٭٭٭
Perjalanan kali ini terasa berbeda bagi Haikal. Tak ada lagi rasa lelah yang biasanya menyusup setiap ia menempuh jarak. Mungkin selama ini, sepi adalah penyebab setiap langkahnya terasa berat, membuat setiap episode hidupnya berjalan lambat dan hampa. Namun kini, di tengah deru roda kereta yang melaju, ia merasa ada yang mengisi kekosongan itu.
Haikal menarik nafas panjang, menatap pemandangan di luar jendela dengan perasaan yang bercampur aduk. Meski sering kali ia mengeluh pada Tuhan, memahami takdir yang terasa begitu tak adil, ia harus mengakui—Tuhan tak pernah benar-benar meninggalkannya. Justru, di saat ia terpuruk, Tuhan selalu menyelipkan harapan-harapan kecil yang menguatkannya.
Salah satu harapan itu adalah Aira. Kehadiran gadis itu, dengan senyuman hangat dan semangatnya yang tak pernah redup, menjadi pengingat bahwa hidup ini tidak sepenuhnya pahit. Bahwa di tengah luka dan kehilangan, masih ada alasan untuk bertahan. Haikal tersenyum tipis, menyadari bahwa perjalanan ini, meskipun tidak mudah, terasa lebih ringan karena ada Aira di dekatnya.
Di kursi sebelahnya, gadis itu kini terlelap dengan tenang. Beberapa saat yang lalu, ia masih sibuk berceloteh riang tentang pemandangan di luar jendela kereta—mengomentari pepohonan, sawah yang terbentang, hingga langit senja yang mulai berwarna jingga. Suaranya yang ceria kini berganti dengan nafas lembut yang teratur, dan tanpa disadari, kepala gadis itu perlahan bersandar di bahu Haikal.
Haikal menoleh sedikit, menatap wajah Aira yang tertidur dengan damai. Ada sesuatu yang menenangkan dari ekspresi polosnya, seolah semua beban dunia terhapus saat gadis itu memejamkan mata. Ia ingin bergerak, tapi khawatir membangunkannya. Jadi, Haikal membiarkan gadis itu tetap bersandar di bahunya, sementara pikirannya melayang pada betapa berartinya sosok Aira dalam hidupnya.
Senyuman kecil tersungging di bibir Haikal. Dalam keheningan perjalanan ini, ia menyadari bahwa momen seperti ini pun mampu menghangatkan hatinya yang lama membeku.
“Ra, semakin aku mencoba menghapusnya, perasaan itu justru semakin mengakar, tumbuh tanpa kendali,” gumam Haikal nyaris tanpa suara, seolah takut membangunkan gadis yang tertidur di bahunya. tatapannya melembut, menelusuri wajah Aira yang damai dalam lelapnya. “Mungkin suatu hari nanti, ketika semua sudah membaik, ketika aku sudah cukup pantas memperjuangkanmu, kamu harus tahu.”
Perlahan, jari-jarinya terulur, sentuhan lembut anak rambut yang jatuh menutupi kening gadis itu. Dengan hati-hati, ia membenahinya, seolah takut sentuhan kecil itu akan mengusik ketenangan Aira. Dalam keheningan malam yang membuat perjalanan mereka, Haikal hanya bisa menyimpan semua rasa itu dalam diam, mengakui bahwa gadis di sebelahnya telah lama menjadi penjaga hatinya—satu-satunya tempat yang tak pernah ia izinkan orang lain untuk mengisi.
Setelah kereta berhenti di Stasiun Tangerang, Haikal dan Aira melanjutkan perjalanan dengan transportasi umum menuju alamat yang diyakini sebagai tempat tinggal Bi Atmi. Perjalanan itu diisi dengan perbincangan ringan yang diselingin candaan, hingga akhirnya mereka tiba di lokasi. Namun, bukannya menemukan sosok yang mereka cari, suasana berubah saat telepon seluler Aira berdering.
Wajah gadis itu yang semula tampak ceria tiba-tiba muncul setelah mendengar suara di seberang. "Apa? Kapan? Kok bisa…?" suara Aira terdengar bergetar, menandakan sesuatu yang tidak beres. Ia teringat sejenak, mencoba memahami setiap kata yang baru saja ia dengar, sementara Haikal yang berdiri di sebelahnya memasang raut khawatir.
“Aira, ada apa?” tanya Haikal, mencoba membaca ekspresi gadis itu. Namun, Aira hanya menggeleng, seolah belum siap menjelaskan kabar mengejutkan yang baru saja ia terima.
Haikal terkejut melihat reaksi Aira yang begitu mendalam. "Ra, kamu kenapa? Ada apa?" tanyanya lagi, cemas.
Aira hanya bisa menatap layar ponselnya, air mata mulai membasahi pipinya. Tanpa kata, ia membayangkan, seolah kata-kata yang tepat hilang begitu saja dari mulut. Haikal mendekat, ingin memberikan kenyamanan, tetapi ia juga bingung, tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Dengan tubuh gemetar dan suara yang hampir tak terdengar, Aira akhirnya tak bisa lagi menahan tangis. “Ayah jatuh, a.Sekarang dia dibawa ke rumah sakit,” ucapnya dengan suara bergetar dan mata yang sudah basah.
Haikal tidak perlu berpikir panjang. Tanpa ragu, ia segera mengulurkan tangan Aira dan membantu bangkit, melupakan tujuan awal mereka datang ke tempat ini.
Perjalanan pulang terasa begitu menegangkan, setiap detik seperti berjalan sangat lambat. Di sebelahnya, tak lagi ada senyum ceria seperti yang ia lihat saat berangkat. Aira benar-benar terpukul dengan kabar buruk itu, dan Haikal bisa merasakan betapa hancurnya perasaan itu. Saking terburu-burunya, Aira hampir saja melupakan tas yang ia bawa saat hendak turun dari kereta.
Keduanya berlari terburu-buru, berusaha mencari taksi yang bisa segera membawa mereka ke rumah sakit tempat Pak Brata dirawat. Wajah Aira yang pucat dan cemas semakin membuat Haikal tergerak untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Tak lama kemudian, mereka berdua merasakan ketegangan dalam perjalanan yang seakan tiada habisnya.
“Tenang, Ra,” ujar Haikal dengan suara lembut namun penuh keyakinan, mencoba menenangkan Aira yang cemas. “Kita percayakan semuanya pada Tuhan.Ayah nggak akan kenapa-kenapa.”
Kata-katanya terasa seperti pelukan yang hangat di tengah kepanikan, memberi sedikit rasa tenang meskipun dirinya pun merasakan kegelisahan yang sama.