Di antara deru langkah yang tak terhitung, ada rumah yang menanti di ujung perjalanan. Sebuah pelabuhan yang tak hanya ditandai oleh dinding dan atap, namun oleh kerinduan yang menetap di setiap sudut, tempat jiwa-jiwa yang membiarkan menemukan ruang untuk bernapas dan kembali mengukir cerita.
Tatapan Haikal terhenti sejenak saat melihat sosok Aira yang tengah berjalan menuju toserba di persimpangan jalan. Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari mengejar langkah gadis itu, berusaha menyamainya setelah beberapa detik akhirnya berhasil mendekati. Aira yang berjalan dengan langkah cepat, tampak terkejut saat menyadari bahwa laki-laki yang sudah ia hindari sejak kemarin, kini muncul lagi di sekitarnya, seolah mengikuti tanpa henti.
"Ra..." Haikal mengeluarkan suara penuh harap, meski Aira tetap tak menanggapi panggilan itu, melangkah dengan membungkuk, mencoba menghindar.
Namun, tak lama kemudian, langkah Aira terhenti. Dan tanpa diduga, tubuh mereka saling bertubrukan. Haikal sedikit meringis, rasa sakit yang datang seketika. Tetapi Aira, yang seharusnya marah, justru tersenyum tipis melihat sikap konyol sang kakak yang tak mampu menghindar. Kejadian itu, meskipun canggung, memberikan sedikit kelegaan di antara keduanya, sebuah momen yang tak terduga di tengah ketegangan yang masih menggantung.
“Nah, senyum gitu kan manis,” ujar Haikal, tanpa sadar membuat pipi Aira merona merah. Suasana seketika terasa lebih ringan meski keduanya masih dibalut perasaan yang belum tuntas.
Aira terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, “Kenapa nggak ngamasih kabar?” Suaranya langsung datar, mencoba menetralkan perasaan yang sebenarnya lebih kompleks dari yang bisa ia tunjukkan. Gadis itu selalu bisa menyembunyikan segala hal, termasuk perasaan terdalamnya. Entah itu rasa sedih atau bahagia, Aira punya cara untuk menyimpan rapat-rapat. Ia tidak pernah ingin kesedihannya menjadi beban bagi orang lain, apalagi orang-orang yang begitu ia sayangi. Begitu pun dalam kebahagiaannya—Aira tak ingin ada yang terluka hanya karena tawa atau senyum yang dia tunjukkan.
Haikal teringat sejenak, merasa berat dengan pertanyaan itu. “Maaf,” katanya lirih, seolah kata itu cukup untuk menyampaikan penyesalan yang tak terungkapkan sepenuhnya.
"Aira nggak butuh kata maaf aja, a. Aira butuh penjelasan juga. Aa nggak pernah tahu kan? Semenjak aa pergi dari rumah, selama aa nggak ngasih kabar, ada Ayah dan aku yang khawatir di sini." Aira akhirnya meledak, kata-kata itu keluar begitu saja. Ia tak bisa lagi menahan perasaan kesalnya. Selama Haikal pergi, semuanya terasa berubah—keadaan sang ayah yang semakin rapuh karena kekhawatirannya yang berlarut-larut, cemas tentang anak laki-lakinya yang tak memberi kabar dari jauh.
Haikal terdiam sejenak, kata-kata Aira begitu dalam menusuk. “Aa nyesel sudah buat kamu dan ayah cemas,” ujarnya dengan nada berat. “Tapi, ada hal-hal yang… nggak bisa aa ceritain sama kamu, sama keluarga kita. Ada kondisi dan keadaan yang nggak bisa dijelaskan begitu aja.” Haikal menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Sama sama dengan kamu, Ra. Kamu juga nggak pernah nyeritain semuanya sama aa dan Ayah. Jadi, aa minta maaf, dan semoga kamu bisa ngerti juga."
Lelaki itu tersenyum lembut, mengusap air mata Aira yang mulai mengalir tanpa ia sadari. "Kalau Aira mau aa terbuka, Aira juga harus melakukan hal yang sama. Jangan sungkan untuk cerita apapun yang Aira rasa. Jangan terus memendam semuanya sendirian. Kalau kamu tidak bisa cerita sama Ayah, jangan lupain, laki-laki yang berdiri di depan kamu ini." Haikal menatap Aira dalam-dalam, penuh keyakinan. "Mulai sekarang dan selamanya, aa akan selalu di samping Aira. Menemani dan menjaga Aira, selamanya."
Gadis itu menatap lekat sepasang mata indah yang sejak dulu selalu bisa menenangkannya, mengingatkan seolah pada masa-masa yang lebih sederhana. “Apa artinya, kalau Haikal tidak akan pergi dari rumah lagi?”
Haikal tersenyum, matanya penuh keyakinan. "Emmm, a Haikal gak akan ninggalin Ayah sama Aira lagi. Tapi soal rumah, mengingat aa juga udah ketemu sama Bang Abi, kemungkinan besar aa mau cari rumah di sekitar sini. Nggak apa-apa kan?"
Melihat senyum yang perlahan merekah di wajah Aira, Haikal tahu jawabannya. Gadis itu mengangguk pelan, seolah memberi restu, dan senyuman itu menyebar di hati Haikal. Keduanya berjalan kembali menuju rumah, langkah mereka serasi, dipenuhi kebahagiaan yang perlahan tumbuh kembali—sebuah awal yang baru, dengan senyuman yang bermekaran di setiap sudut hari itu.
٭٭٭
Semenjak pertemuan dengan Bi Atmi dua pekan lalu dan berhasil menemukan rumah yang pas untuk ditinggali bersama saudaranya, Haikal akhirnya memutuskan untuk mendatangi keluarga sang Bibi. Rumah itu terasa sunyi, hanya ada Hasybi seorang diri. Bi Atmi, seperti biasa, sudah berangkat bekerja sejak pagi, sementara anak yang berusia sepuluh tahun juga sudah berangkat ke sekolah, meninggalkan lelaki itu sendirian, yang duduk diam di sudut ruangan, dikelilingi beberapa tas berisi barang-barangnya.
Setelah diberi tahu bahwa Hasybi akan menjemput Haikal, Bi Atmi langsung membereskan barang-barang milik laki-laki itu, meski dengan ekspresi lelah yang tak bisa disembunyikan. Sudah dua minggu ini, Bi Atmi merasa lelah mengurus Hasybi. Sejak dulu, saat sang kakak meninggalkan putra sulungnya di sini, ia tak pernah bisa menolak begitu saja, meski hatinya penuh dengan kelelahan dan kebingungannya sendiri. Rasa iba melihat Hasybi yang semakin sulit mandiri, bahkan untuk hal-hal kecil yang biasanya bisa dilakukan anak-anak seusianya. Jika tidak dibantu, Hasybi bisa berteriak keras, menciptakan kekacauan di rumah kecil itu.
Dulu, Bi Atmi tinggal di sebuah rumah dekat taman kota, dengan banyak tetangga yang mengenalnya. Namun, kehadiran Hasybi membuat segalanya berubah. Ketika mereka pindah, karena keadaan lelaki itu yang sulit dimengerti oleh orang-orang di sekitar, dan rasa khawatir yang tak terungkapkan, Bi Atmi pun harus pindah-pindah tempat tinggal. Para tetangga sering membicarakan Hasybi, menganggap keberadaannya sebagai gangguan. Kini, ia terjebak dalam rutinitas yang melelahkan, mencoba menjaga agar semua tetap berjalan meski penuh beban.
Tentang Haikal, Bi Atmi tidak berani bertanya pada kakaknya. Ia takut jika ia menanyakan kabar Haikal, sang kakak akan merasa berhak untuk menyerahkan tanggung jawab penuhnya, lagi dan lagi. Memang, sudah cukup berat bagi Bi Atmi untuk mengurus seorang anak, apalagi jika harus menanggung beban anak-anak kakaknya yang lain. Namun, ia tahu, ini adalah bagian dari tanggung jawab yang telah diterimanya tanpa pilihan, meski hati sering kali merasa terkoyak antara tanggung jawab dan lelah yang semakin dalam.
Meski berat, Bi Atmi tahu bahwa ia harus ikhlas melepaskan Hasybi, anak yang telah ia besarkan dan rawat sejak kecil. Namun, seiring berjalannya waktu, beban itu semakin terasa. Meskipun ia menyayangi Hasybi seperti anak sendiri, ada batasan yang sulit ia tepis. Ia bukan ibu kandungnya, dan setiap hari ada rasa kejanggalan yang menguar dalam kehadirannya, apalagi kini Hasybi sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa meski pikiran dan mentalnya tetap seperti anak kecil.
Bi Atmi merasa seolah ada jarak yang tak bisa dihapus begitu saja. Ia bisa merasakan betapa sulitnya mengurus seorang anak yang memerlukan perhatian dan kesabaran tanpa henti, terlebih Hasybi yang tak bisa mandiri sepenuhnya. Menyerahkan tanggung jawab itu, meski penuh dengan keraguan, sepertinya adalah satu-satunya jalan. Namun, hati Bi Atmi tetap merasakan sakit yang dalam, seolah kehilangan bagian dari dirinya sendiri—meskipun ia tahu bahwa ini adalah keputusan terbaik bagi keduanya.
Di rumah baru, dengan suasana yang benar-benar asing bagi Hasybi, lelaki itu tampak canggung dan kesulitan menyesuaikan diri. Mungkin karena perubahan yang datang begitu mendalam dan mendesak. Haikal yang tengah membereskan barang-barang ke kamar yang sudah dipersiapkan untuk sang kakak, tak bisa mengingat ingatannya melayang kembali ke masa kecil—kenangan yang ingin sekali ia lupakan, tapi tetap membekas dalam ingatan. Ia tak pernah membenci saudaranya, karena mereka berdua sebenarnya sama-sama terluka, sama-sama kehilangan. Hanya saja, keterbatasan Hasybi dalam mengungkapkan perasaan membuat Haikal merasa terhalang, seolah ada jarak yang tak bisa mereka lewati.
Hari berlalu begitu cepat. Setelah bekerja seharian, Haikal merasa perlu untuk mengunjungi rumah makan ayah angkatnya. Sekarang, dia tidak lagi terlalu khawatir tentang sang kakak. Beberapa hari setelah mereka pindah, Haikal sudah mengatur agar ada seseorang yang bisa menjaga lelaki itu. Jika dia tidak melakukannya, bagaimana mungkin dia bisa bekerja dengan hati yang tenang, sementara pikiran terus dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak kunjung reda?
Langkah Haikal terhenti sejenak di depan pintu rumah makan Pak Brata, ketika ia mendengar suara bentrok yang terdengar agak keras dari dalam.
“Jadi kamu kasih uangnya ke Atmi, Ta?” suara seorang wanita yang sangat dikenalnya, yang selama ini selalu membantu ayahnya mengurus rumah makan itu. Wanita yang sudah seperti neneknya, penuh perhatian, dan selalu ada ketika dibutuhkan.
"Dia itu orang asing, Ta. Kamu tahu kan? Sekarang bukan hanya kakaknya, adiknya juga ikut ganggu hidup kamu. Masa masih mau ngurusin keponakannya? Harusnya dia lebih bersyukur, bukan malah minjem uang gede-gedean!" terdengar suara dengan nada kesal, hampir menyentuh kemarahan.
Haikal tertegun, mendengar setiap kata yang dilemparkan. Semua itu terdengar jauh lebih tajam dari yang ia bayangkan.
Tidak ada suara pembelaan dari Pak Brata. Haikal hanya terdiam, tercengang mendengar percakapan yang berputar di dalam rumah makan itu. Setiap kata yang terlontar seakan mengguncang hidupnya dengan keras, membuat hatinya terasa tercabik-cabik. Laki-laki itu menggenggam erat kedua tangannya, seolah berusaha menahan amarah dan kebingungannya yang semakin memuncak. Ia merasa bodoh dan hina, seperti tak pernah bisa memberikan apapun yang pantas untuk membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh ayah angkatnya. Tiba-tiba, sebuah batu besar menghantam kehidupannya dengan keras, membuat segalanya terasa begitu jauh dari yang ia harapkan.
Haikal membatalkan niatnya untuk mengunjungi Pak Brata setelah mendengar percakapan dua orang di dalam rumah makan itu. Ada rasa yang tidak bisa ia tahan untuk segera mencari Bi Atmi dan menuntut penjelasan tentang apa yang telah ia buat. Dengan kecepatan penuh, Haikal mengendarai mobil rumah perempuan yang memiliki ikatan darah menuju ke sana. Namun, sesampainya di depan rumah, ia hanya mendapati kenyamanan. Tidak ada seorang pun di sana, dan rumah itu tampak kosong. Jaraknya dengan rumah lain cukup jauh, dan Haikal siapa yang merasa terlindungi, tak tahu harus mencari untuk bertanya. Yang lebih menarik, ia juga lupa menanyakan alamat tempat kerja Bi Atmi sebelumnya. Sekarang, pikiran terasa buntu. Semua jadwal yang sudah direncanakan, kini hancur begitu saja.
"Hah, kemana lagi harus cari Bi Atmi? Apa harus ke sekolah Digta?" Tanpa berpikir panjang, Haikal memutar kemudi dan melajukan mobilnya menuju sekolah tempat putra sulung Bi Atmi menimba ilmu.
Meski pertama kali bertemu dengan Digta, bocah laki-laki berusia sepuluh tahun yang merupakan sepupunya, Haikal tidak punya banyak pilihan baru selain mencoba mencari keberadaan Bi Atmi. Ia harus berusaha keras untuk mendiskusikan perempuan itu.
“Digta, keluar dulu sebentar ya. Ada kakak kamu datang,” terdengar suara wali kelas yang sebelumnya sempat bertemu Haikal, memanggil nama yang ia cari.
Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki muncul dari balik pintu kelas, wajahnya terlihat terkejut begitu melihat Haikal berdiri di sana. Namun, meskipun rautnya sempat ragu, ia akhirnya melangkah juga mendekati Haikal dan duduk di salah satu bangku depan kelas yang disediakan.
“Maaf, Bang Haikal mengganggu waktu belajarnya, Digta,” ujar Haikal dengan suara pelan, terlihat sedikit canggung. “Abang Cuma mau nanya alamat tempat Ibu kamu kerja. Tadi udah coba ke rumah, tapi nggak ada siapa-siapa, makanya Bang Haikal ke sini.”
Mulut bocah itu seolah terkunci rapat, matanya sengaja menghindari Haikal. Namun, setelah beberapa lama dibujuk dengan sabar, akhirnya Digta menyerah dan menuliskan alamat sang ibu pada secarik kertas.
"Hari ini, Atmi tidak datang ke sini. Dia izin ke luar kota. Ada urusan mendadak," ujar pemilik toko pakaian di dekat pasar, suaranya datar, tanpa ekspresi.
Haikal menarik napas panjang, tubuhnya terasa lelah, dan pikiran kacau. Rasanya pencariannya hari ini sia-sia, dan hati ini kembali terluka oleh kenyataan yang semakin mengikis. Beberapa saat ia memikirkannya, lalu memutuskan untuk kembali pulang. Waktu sudah hampir senja, dan ia tahu tidak ada yang melanjutkan pencarian di malam yang gelap ini.
'Loh, itu Aira kan? Ngapain dia malam-malam begini, sendirian?'
Haikal menepikan mobil yang ia kemudikan begitu melihat gadis itu berjalan seorang diri di pinggir jalan.
"Aira, kenapa malam-malam gini sendirian? Gimana kalau sesuatu terjadi sama kamu?" Haikal segera keluar dari mobil, mendekati Aira dengan wajah khawatir.
“Aira Cuma nyari angin, a. Lagian Aira udah biasa kok keluar sendiri. Aa nggak perlu khawatir. Udah sana, pulang duluan!” Aira menjawab, mencoba terlihat santai.
Namun, bukannya pergi, Haikal hanya duduk di situ, ikut menikmati sejuknya udara malam sambil menatap langit yang gelap.
"Oh jadi Aira nggak takut ya? Udah gede, udah berani kemana-mana sendiri?" Haikal menggoda, berusaha mencairkan suasana.
"Iya lah, kemana aja aa selama ini? Jangankan keluar sendiri di sini, Aira udah berani pergi ke luar negeri juga," jawab Aira dengan nada santai.
“Kalau berani, kenapa nggak nyamperin aa, hem?” Haikal balas dengan senyuman nakal.
“Ya itu mah beda lagi,” tukas Aira cepat, matanya menatap Haikal dengan ekspresi kesal yang lucu. Haikal hanya tersenyum melihat reaksi Aira yang ceria meski sedikit kesal.
"Setelah ini, kalau mau nyari angin, bilang sama aa. Jangan sendirian lagi ya. Walaupun sudah berani, tetap harus ada yang jagain kamu." Haikal menatap Aira dengan serius, tapi suaranya lembut.
Aira terdiam sejenak, wajahnya terasa hangat mendengar ucapan Haikal. Perasaan aneh menggelitik hatinya, dan keinginan hangat menyelimuti seluruh tubuhnya, membuatnya sulit untuk menahan senyum.