Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kelana
MENU
About Us  

Di atas langit yang tak terhingga, takdir kita berkelana seperti bintang yang bersinar redup, menuntun dengan bisu, menyulam cerita dalam semesta yang tak pernah selesai.
Setiap pertemuan adalah titik cahaya, setiap perpisahan adalah ruang kosong yang siap diisi oleh takdir baru.

 

 

Lelaki yang kini berada di hadapannya adalah seseorang yang tak pernah ia sangka akan ditemui lagi—Hasybi Bacthiar Jaiz, kakak kandungnya. Saudara yang hanya terpaut setahun lebih tua darinya. Namun, nasib memperlakukan mereka dengan cara yang sangat berbeda. Hasybi, telah didiagnosis mengidap autisme sejak masih berada dalam kandungan sang ibu, sebuah fakta yang dahulu menjadi salah satu alasan mengapa Haikal mencoba memahami keputusan ibunya. Keputusan yang, meski sulit diterima, kini sedikit lebih masuk akal—sang ibu memilih mempertahankan Hasybi dan meninggalkan dirinya.

 

 

Namun, melihat lelaki itu dalam kondisi seperti ini, Haikal tidak tahu apakah ia harus merasa lega karena sang kakak masih hidup, atau merasa hancur. Pandangan Hasybi kosong, gelisah, sementara tangannya terus memukul-mukul pelipisnya sendiri, seakan berusaha menghapus sesuatu yang tak kasat mata. Haikal terdiam, menyaksikan kakaknya yang pernah menjadi alasan luka terbesarnya, namun kini mengundang simpati terdalam dalam hatinya.

 

 

Entah dengan siapa Hasybi menghabiskan waktunya di luar, berjalan tanpa arah di tengah keramaian yang tak memedulikannya. Wajahnya memancarkan kebingungan yang jelas, disertai ketakutan setiap kali berpapasan dengan orang asing. Pandangannya gelisah, seperti anak kecil yang tersesat di dunia yang terlalu besar dan keras.

Ketika Haikal mendekatinya, tangan gemetarnya seolah ingin menepis, tetapi pelukan Haikal datang lebih cepat, mengabaikan segala keraguan. Tubuh Hasybi menegang, jelas ia tidak mengenali adiknya, atau mungkin ia takut mempercayai sosok yang baru saja muncul. Namun, Haikal tidak peduli. Rasa rindu yang selama ini ia tekan meledak begitu saja, tak terelakkan. Meski masa lalu mereka penuh luka dan kesenjangan, pertemuan ini membangkitkan sesuatu yang lebih kuat dari kebencian—sebuah keinginan untuk memeluk keluarga yang telah lama hilang dari hidupnya. Rindu yang terlalu besar, akhirnya tumpah tanpa bisa dibendung lagi.

Haikal mencoba mengajukan beberapa pertanyaan pada sang kakak, berharap mendapatkan sedikit jawaban atau sekadar reaksi yang lebih baik. Namun, tanggapan kakaknya tetap sama—diam, cemas, dan bingung. Pandangan Haikal beralih ke sekeliling, menyisir setiap sudut jalan dengan harapan menemukan sosok yang selama ini menjadi bayang-bayang dalam hidupnya. Sosok yang ia benci karena telah meninggalkan, namun sekaligus ia rindukan hingga hati terasa sesak. Namun, harapannya nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu.

Malam semakin larut, dan Haikal tahu ia tak bisa meninggalkan Hasybi sendirian di tengah kota yang dingin dan asing. Dengan hati berat, ia memutuskan membawa sang kakak ke rumah Pak Brata untuk sementara waktu. Keputusan ini hanya langkah awal. Entah ia akan menemukan ibu mereka suatu hari nanti, atau mungkin ia harus menerima kenyataan untuk merawat Hasybi dan mencari rumah yang bisa mereka tinggali bersama. Keputusan untuk membeli rumah sebenarnya sudah lama ada di pikirannya, bahkan sebelum ia pulang ke rumah Pak Brata.

Selama ini fokus utamanya hanyalah Aira—adik angkat yang selalu mengisi hatinya dengan rasa hangat, namun kini gadis itu menjauh seperti angin yang tak bisa digapai.

Pikiran Haikal melayang pada pertemuan singkatnya dengan Aira. Tidak seperti yang ia bayangkan, pertemuan itu terasa dingin dan penuh jarak. Bahkan kesempatan untuk sekadar berbincang pun tidak ada. Semua ini karena dirinya sendiri—karena kesalahan besar yang ia buat dengan menghilang tanpa kabar selama tujuh tahun terakhir. Jadwal kuliah, kesibukan, dan alasan-alasan lain kini terasa begitu kecil dibanding luka yang telah ia torehkan di hati Aira. Haikal tahu, kemarahan gadis itu adalah sesuatu yang pantas ia terima. Namun, di balik semua itu, ia hanya berharap waktu masih memberi mereka ruang untuk memperbaiki segalanya.

Sesampainya di rumah Pak Brata, keadaan Hasybi mulai menunjukkan tanda-tanda membaik. Meski awalnya bingung dan gelisah, perlahan sorot matanya tampak lebih tenang. Sepertinya, jauh di lubuk hatinya, ia masih mengenali adiknya. Terkadang, sekalipun seseorang kehilangan sebagian ingatan, kenangan akan orang terkasih tetap bertahan, tersembunyi di sudut memori yang paling dalam. Terlebih, Haikal adalah saudara sedarah yang ikatannya tak bisa terputus oleh waktu ataupun keadaan.

Setelah mengantar lelaki itu ke kamar untuk beristirahat, Haikal mendapati Pak Brata sudah terjaga. Beliau kini tengah duduk di halaman belakang, membiarkan angin malam menyapu lembut wajahnya. Ia menatap langit yang dihiasi bintang-bintang, seolah sedang mencari kedamaian di tengah sunyi malam yang memeluknya. Raut wajahnya penuh renungan, seperti ada beban yang diam-diam disimpan di balik kerutan wajahnya.

Haikal mendekat perlahan, membawa secangkir teh hangat untuk Pak Brata. Ia ikut duduk di sampingnya, membiarkan keheningan menjadi pengantar percakapan yang mungkin segera tercipta. Langit malam di atas mereka terasa begitu luas, seolah mengingatkan bahwa waktu dan ruang tidak pernah benar-benar bisa menghapus kisah yang pernah tertulis.

“Sudah ketemu sama Aira, Nak?” tanya Pak Brata sembari duduk di samping Haikal. Dengan senyum lembutnya, beliau menyodorkan secangkir greentea hangat ke tangan sang anak. Minuman itu selalu menjadi andalan setiap kali Haikal kesulitan tidur, tradisi kecil yang Pak Brata tak pernah lupa, seolah menjadi cara diam-diam untuk menenangkan hati putranya.

Haikal menghela napas berat, memandang uap tipis yang naik dari cangkir di tangannya. “Haikal yang salah, Pak. Aira marah, dan sekarang dia nggak mau ketemu Haikal lagi.”

Pak Brata tersenyum samar, senyuman yang selalu mengisyaratkan bahwa segalanya akan baik-baik saja. “Aira memang begitu, Kal. Kamu sendiri kan tahu, anak itu kalau sudah marah, maunya dibujuk dulu. Besok juga, dia bakal luluh lagi, apalagi kalau tahu kamu bakal tinggal di sini untuk waktu yang lama.”

Mendengar penuturan itu, hati Haikal terasa sedikit lebih ringan. Pak Brata, seperti biasa, selalu tahu cara menenangkan mereka, tanpa pernah berpihak atau membandingkan satu dengan yang lain. Bahkan saat Haikal dan Aira berselisih paham, beliau selalu menjadi penengah yang bijak, mengingatkan keduanya bahwa keluarga adalah tempat kembali, tak peduli seberapa jauh mereka pernah melangkah.

Haikal memandang ayah angkatnya dengan rasa syukur yang mendalam. “Pak, terima kasih, ya. Kalau bukan karena Bapak, Haikal nggak tahu harus belajar jadi orang seperti apa.”

Pak Brata hanya terkekeh pelan, menepuk pundak Haikal dengan lembut. “Keluarga itu bukan soal darah, Kal. Tapi tentang hati. Dan Haikal, kamu sudah membuktikan itu.”

“Oh, iya, Pak. Haikal minta maaf ya, Pak. Karena tadi terlambat minta izin,” ujar Haikal dengan nada pelan, sedikit ragu. “Waktu Haikal pergi ke rumah Aira, di perjalanan pulang, Haikal nggak sengaja bertemu Bang Hasybi… kakak kandung Haikal. Sedari lahir, Bang Hasybi sudah terkena autisme, dan tadi pun keadaannya masih sama. Haikal sempat mencoba mencari ibu atau siapa pun yang bersamanya, tapi nggak ada satu pun. Jadi, Haikal memutuskan untuk membawanya ke rumah ini sementara waktu. Apa Bapak mengizinkan? Kalau Bapak merasa kurang nyaman, Haikal bisa bawa Bang Hasybi ke penginapan terdekat.”

Pak Brata menatap Haikal dengan sorot mata yang sulit ditebak. Sesaat, beliau tampak terkejut, tapi ekspresinya segera berubah menjadi tenang. Di balik senyum tipisnya, terselip kekaguman dan rasa iba. “Tidak apa-apa, Kal. Rumah ini rumah kamu juga, dan Hasybi adalah keluargamu. Kalau ini yang terbaik buat kalian, Bapak tidak keberatan. Sekarang abangmu sudah tidur?”

Haikal mengangguk perlahan. “Iya, Pak. Tadi Haikal bantu menenangkan, sekarang dia sudah istirahat.”

Pak Brata menghela napas panjang, menatap langit malam sejenak sebelum kembali menatap Haikal. “Terima kasih, Kal, karena tetap punya hati untuk kakakmu, meskipun kamu tahu itu bukan hal mudah buatmu. Kamu anak yang kuat.”

Haikal tersenyum kecil, perasaan lega perlahan memenuhi hatinya. “Terima kasih ya, Pak. Kalau bukan karena Bapak, Haikal nggak tahu bagaimana belajar untuk menerima semuanya seperti ini.”

Pak Brata menepuk pundak Haikal dengan hangat. “Selama kamu mau berusaha, semua pasti akan baik-baik saja.”

Keesokan paginya, sesuai dengan jadwal yang telah disepakati, Aira tiba di rumah lebih awal dari biasanya. Gadis itu sebenarnya berat hati untuk pulang, apalagi dengan keberadaan Haikal yang kini kembali ke rumah. Namun, ia tak mungkin tega mengecewakan sang ayah yang sudah menantikan kehadirannya.

Begitu ia membuka pintu depan, suasana rumah terasa begitu sunyi, hanya menyisakan aroma khas masakan pagi yang samar-samar tercium. Aira melangkah perlahan, meletakkan tasnya di atas meja ruang tamu. Namun, keheningan itu tak bertahan lama. Sebuah suara gaduh mendadak terdengar dari arah kamar, mengusik rasa penasarannya.

Dengan hati-hati, ia melangkah menuju sumber suara. Tepat di depan pintu kamar tamu yang sedikit terbuka, ia menahan napas ketika matanya menangkap sosok asing di dalamnya.

“Kamu siapa?” tanyanya, nada suaranya tegas, namun raut wajahnya menyiratkan kebingungan.

Sosok di dalam kamar itu menghentikan kegiatannya, menoleh perlahan. Sorot matanya penuh kepolosan, seperti seorang anak kecil yang baru saja tertangkap basah melakukan kesalahan.

Belum sempat Aira mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, laki-laki di hadapannya itu tiba-tiba menjerit dengan suara yang memecah keheningan. Ia memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kedua tangannya, seperti mencoba melawan sesuatu di dalam pikirannya. Aira tertegun, dadanya berdegup kencang. Pemandangan itu membuatnya semakin bingung dan cemas, terlebih ia sama sekali tak mengenali sosok asing yang kini mengisi rumahnya.

Sebelum sempat ia bergerak atau berkata lebih jauh, suara pintu depan terbuka. Haikal dan Pak Brata baru saja pulang dari pasar, tangan mereka penuh dengan kantong belanjaan. Keduanya terhenti di ambang pintu, terkejut melihat situasi yang terjadi di depan mereka. Haikal langsung meletakkan barang bawaannya, bergegas masuk ke kamar untuk menenangkan laki-laki itu. Dengan hati-hati, ia meraih tangan sang kakak yang masih memukul kepalanya, sembari berkata pelan, "Bang abi, tenang... ini Haikal, Bang. Semuanya baik-baik saja."

Sementara itu, Pak Brata mendekati Aira yang masih berdiri terpaku di depan kamar. Tanpa berkata apa-apa, beliau memegang pundak putrinya dan membimbingnya menjauh dari kamar, menuju ruang tamu. Aira menatap ayahnya dengan wajah penuh tanda tanya, seolah meminta penjelasan.

Pak Brata menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Dia bukan orang asing, Ra. Laki-laki itu adalah Hasybi... Saudara kandung Haikal. Mereka sudah lama terpisah, dan Haikal baru bertemu dengannya kemarin malam."

Aira membeku, menelan informasi itu dengan sulit. Pandangannya beralih ke arah kamar, di mana Haikal masih sibuk menenangkan Hasybi.

"Kenapa... kenapa a Haikal nggak pernah cerita tentang ini sebelumnya?" tanyanya dengan nada lirih, bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia baru sempat berbincang dengan Haikal, setelah lelaki itu berhasil menenangkan saudaranya.

“Maafin Aa ya, Ra,” ucap Haikal lirih, memecah keheningan yang melingkupi mereka di halaman belakang. Pandangannya tertuju pada langit yang masih berwarna jingga, meski dalam hatinya, suasana terasa lebih kelam dari itu. Di dalam rumah, Hasybi tengah terlelap di kamar, sementara Pak Brata sudah lebih dulu berangkat ke rumah makan untuk mencari bahan-bahan yang kurang untuk sarapan.

Aira tetap diam, tatapannya tertuju pada rerumputan yang bergoyang ringan diterpa angin. Pikirannya penuh oleh keruwetan yang datang mendadak sejak kepulangan Haikal. Bukankah sebelumnya hidupnya baik-baik saja? Sepi, tapi tenang. Kini, segalanya berubah seperti badai yang menghantam tanpa peringatan.

“Udah, Aira maafin. Tapi… semuanya nggak bisa sama seperti dulu lagi, Aa,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar pelan tapi tegas.

Kata-kata itu membuat Haikal terdiam. Ucapan Aira menohoknya, lebih dalam dari yang ia kira. Namun, alih-alih merespons dengan kalimat panjang atau pembelaan, ia hanya tersenyum tipis. Senyum itu muncul begitu saja, entah apa alasannya.

‘Bukankah ini bagus, ya?’ pikirnya dalam hati. Setidaknya, Aira sudah membuka pintu maaf, meski sedikit.

Aira memandang Haikal dengan raut penuh tanda tanya. Ada sesuatu dalam senyuman kakaknya itu yang membuatnya merasa ngeri, seperti ada sisi dari Haikal yang tak sepenuhnya ia kenali. Ia memilih tak berkata apa-apa, hanya beranjak dari duduknya dengan langkah cepat menuju dapur, tempat sang ayah biasanya berkutat dengan bahan-bahan masakan. Meninggalkan Haikal yang masih termenung di tempatnya, dengan senyum yang perlahan memudar seiring angin membawa pergi suara langkah Aira.

Setelah menikmati sarapan pagi bersama, Haikal berpamitan pada Pak Brata dan Aira. Ia berencana mencari sang ibu, tekad yang sudah ia bulatkan sejak bertemu kembali dengan Agra. Sementara itu, kakaknya masih bungkam, tak mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka kembali dipertemukan. Hingga saat melewati sebuah taman kecil yang terasa begitu akrab—tempat di mana masa kecil mereka dulu pernah dihabiskan dengan bermain bersama—tiba-tiba suara yang begitu dirindukan itu terdengar.

“Ikal… aku kangen,” suara Hasybi terdengar pelan namun penuh haru.

Langkah Haikal seketika terhenti. Ia menoleh cepat, menatap Hasybi yang kini tampak lebih sadar dari sebelumnya. “Ikal di sini, Bang. Ikal juga kangen sama Bang Abi.” Senyum tulus merekah di wajahnya, meski hatinya masih dipenuhi tanya. “Kemarin Bang Abi pergi sama siapa? Kasih tahu Ikal, Bang. Supaya Ikal bisa ketemu sama Ibu.”

Namun, sebelum Hasybi sempat menjawab, suara langkah tergesa-gesa terdengar mendekat. Seorang perempuan paruh baya berlari ke arah mereka. Wajahnya terlihat lelah dan tegang, namun sorot matanya tajam.

“Hasybi?! Bibi kemarin nyari kamu di sini, tapi nggak ada. Kemana aja kamu, hah?!” Bentakannya membuat lelaki itu terkejut, tubuhnya sedikit gemetar. Ia langsung menyembunyikan wajah di balik punggung Haikal seperti seorang anak kecil yang ketakutan.

Haikal merenggangkan tubuhnya untuk melindungi sang kakak. Pandangannya kini beralih ke perempuan asing itu. “Maaf, Anda siapa?” tanyanya dengan nada tenang tapi tegas.

“Saya kerabatnya,” jawab perempuan itu ketus, tatapannya seolah menilai Haikal dari atas ke bawah. “Sekarang silakan kamu pergi. Dia di bawah tanggung jawab saya.”

Haikal tak bergeming. Sorot matanya tak beranjak dari perempuan itu. “Kerabatnya?” ulangnya, nyaris seperti gumaman. “Kalau begitu, kenapa Bang Hasybi keluyuran sendirian? Bukankah anda yang seharusnya menjaganya?”

Perempuan itu tampak tersinggung, wajahnya memerah karena ucapan Haikal. Namun, sebelum ia sempat membalas, Haikal berbalik, memegang bahu Hasybi dengan lembut. “Bang, Ikal nggak akan ninggalin Abang sama siapa pun yang nggak peduli sama Abang. Sekarang, kita pergi dari sini.”

Haikal menggiring langkah sang kakak menjauh, meninggalkan perempuan itu yang masih berdiri mematung dengan wajah geram. Bagi Haikal, tak ada yang lebih penting saat ini selain melindungi Hasybi. Ia berjanji, mulai sekarang, kakaknya tidak akan pernah merasa sendirian lagi.

Haikal terdiam sesaat, pikirannya menerawang. Tiba-tiba ingatan itu datang, mengenai ibu yang memiliki seorang adik perempuan.

 ‘Bi Atmi,’ gumam Haikal dalam hati, merasa ada sesuatu yang belum ia ketahui sepenuhnya.

Sementara itu, di depan Haikal, perempuan yang tampaknya sangat tegas itu terus berusaha kembali menarik Hasybi dengan kasar. “Kamu itu sudah bagus saya urus. Harusnya nurut sedikit, bisa kan?!” suara perempuan itu terdengar tinggi, penuh amarah, saat menyeret langkah Hasybi yang tampak kebingungan.

Haikal tersadar dari lamunannya dan segera menyusul mereka. Langkahnya cepat, penuh tekad.

“Bi Atmi? Aku Haikal, Bi,” Haikal akhirnya memanggil perempuan itu dengan suara yang sedikit gemetar. Mendengar nama yang disebut, perempuan itu langsung menoleh, matanya membesar seketika, terkejut, lalu perlahan mengalirkan air mata yang mulai menetes di pipinya.

“Haikal? Kamu udah besar, nak?” suara perempuan itu terdengar serak, seolah tak percaya dengan kenyataan yang ada di hadapannya.

Haikal mengangguk pelan, wajahnya penuh harap. Ia menuntun Bi Atmi dan Hasybi untuk duduk di bangku taman yang sepi, udara pagi yang sejuk seakan memberikan sedikit kenyamanan bagi suasana yang mencekam ini. Haikal menatap Bi Atmi, matanya penuh pertanyaan yang tak terucapkan. “Bi, aku butuh tahu, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang terjadi pada aku, pada Ibu, dan bang Abi?”

Bi Atmi menghela napas panjang, raut wajahnya berubah menjadi berat. Ia tahu bahwa ini saat yang tak bisa lagi ditunda. Sebuah kenyataan pahit yang harus disampaikan. “Ibu kamu… dia nggak pernah menginginkan kalian, Haikal,” ujarnya pelan, seolah-olah setiap kata itu menyakitkan dirinya sendiri. “Bukan soal kesehatan kalian, bukan. Itu semua hanya alasan. Ibu kamu, dia cuma nggak mau tanggung jawab. Dia anggap kalian hanya beban dalam hidupnya.”

Haikal merasa seolah-olah dunia seketika runtuh di hadapannya. Rasa sakit itu datang begitu mendalam, lebih menusuk daripada segala kesulitan yang pernah ia alami. Sebelumnya, ia selalu berpikir bahwa ibunya terpaksa meninggalkannya karena keadaan. Namun, kenyataan ini… kenyataan bahwa ibunya memilih meninggalkan kedua anaknya, bahkan sang kakak yang memiliki keterbatasan, hanya untuk menghindari tanggung jawab, membuat hatinya hancur.

“Apakah memang benar seperti itu, Bu?” suara Haikal serak, suaranya bergetar menahan tangis. Matanya menatap Hasybi yang kini sedang duduk diam, bertingkah seperti anak kecil yang kebingungan. Tiba-tiba rasa ingin melindungi lelaki itu lebih kuat dari sebelumnya, tapi di saat yang sama, dirinya juga merasa tak berdaya.

Tetesan air mata Haikal mulai jatuh, mengalir di pipinya. “Kenapa? Kenapa Ibu nggak mau kami? Kenapa kami harus menjadi beban?”

Bi Atmi tak mampu menjawab, hanya bisa memeluk Haikal dengan pelukan yang lembut, berusaha memberikan sedikit kenyamanan meskipun tak bisa menghapus rasa sakit yang Haikal rasakan. Dunia mereka telah berubah dalam sekejap, dan meskipun rasa sakit itu tak bisa hilang, mereka masih memiliki satu sama lain.

Baik Haikal maupun Haybi, keduanya telah melalui masa-masa yang penuh penderitaan. Tak ada yang lebih menyakitkan selain merasa ditinggalkan dengan sengaja, terabaikan oleh orang yang seharusnya mereka percayai dan cintai.

Setelah mendengar penjelasan yang menyayat hati dari bi Atmi, Haikal merasa hidupnya seberat itu—tapi setidaknya ada sedikit harapan di balik kenyataan pahit ini. Bi Atmi akhirnya memutuskan untuk merawat Hasybi sementara waktu. Haikal berjanji akan membawa sang kakak tinggal bersamanya begitu ia menemukan tempat yang layak dan nyaman, sebuah rumah yang akan menjadi rumah bagi mereka bertiga, di perumahan yang tenang di tengah kota.

Keputusan itu, meski penuh tantangan, memberi Haikal sedikit ketenangan. Setidaknya, ia tahu sekarang ia bisa memberikan Hasybi tempat yang lebih baik, meski perasaan kecewa dan luka dalam dirinya belum sepenuhnya hilang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Konfigurasi Hati
443      310     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Fusion Taste
136      125     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Langkah yang Tak Diizinkan
161      137     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Andai Kita Bicara
556      449     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
FaraDigma
799      480     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Da Capo al Fine
274      232     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Let Me be a Star for You During the Day
956      500     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
GEANDRA
396      313     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Merayakan Apa Adanya
392      284     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.