Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kelana
MENU
About Us  

Cinta tak selalu indah, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Kita pernah mencintai dengan sepenuh hati, namun benci pun diam-diam mengakar. Terperangkap dalam lorong waktu yang tak bisa dihindari, kita tak tahu apakah waktu akan menyembuhkan luka, atau malah semakin memperdalam rasa benci yang telah tertanam begitu dalam.

 

 

Waktu seolah berlalu tanpa jeda. Rasanya baru kemarin keluarga kecil ini menyambut kehadiran Haikal, seorang anak laki-laki yang ditemukan terbaring lemah di gang sempit dan gelap, memeluk dingin yang merenggut harapannya. Namun, waktu telah membentuknya. Kini, Haikal yang dulu rapuh telah tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan tangguh. Dalam usianya yang ke sembilan belas, esok ia akan berdiri di panggung kelulusan, merayakan pencapaian sebagai langkah awal memulai kembali perjalanan hidup baru.

Dalam beberapa hari, Haikal akan meninggalkan rumah yang telah menjadi pelabuhan hidupnya, menempuh perjalanan jauh ke negeri seberang demi beasiswa yang ia raih dengan perjuangan keras. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada pengorbanan yang menggantung berat di hati mereka bertiga.

Bagi Haikal, meninggalkan rumah berarti berpisah dengan Pak Brata, sosok ayah yang telah memberinya kehidupan baru. Setiap kerutan di wajah pria paruh baya itu seakan menambah bebannya, membisikkan kecemasan yang tak terucap. Bagi Aira, kepergian Haikal seperti mencabut satu-satunya pelipur sepinya. Kehilangan pemuda itu adalah kekosongan yang tak ingin ia rasakan lagi. Dan bagi Pak Brata, melepaskan Haikal bukan hanya tentang jarak fisik; itu seperti menyerahkan sebagian jiwanya pada dunia yang tak pasti.

Berulang kali Pak Brata mencoba meyakinkan Haikal bahwa ia mampu membiayai pendidikan anak angkatnya tanpa harus mengirimnya jauh ke negeri asing. Tapi Haikal tak goyah. Baginya, ini adalah kesempatan yang tak datang dua kali—kesempatan untuk mengukir masa depan yang cerah, untuk menjadi seseorang yang bisa membanggakan keluarga kecil ini, untuk membalas cinta yang telah mengangkatnya dari kegelapan masa lalu.

Di balik keheningan malam, doa-doa terus melangit, membalut keluarga ini dengan harapan yang tak pernah pudar. Cinta mereka tak terucap dengan kata-kata, tapi terasa di setiap pelukan, di setiap tatapan penuh makna. Sebuah keluarga kecil yang sederhana, namun memiliki kehangatan yang mampu menyalakan kembali nyala hidup siapa saja yang datang ke dalamnya. Mereka tahu, meski jarak akan memisahkan sementara, cinta mereka akan tetap menjadi pengikat yang kokoh, seperti akar yang menancap dalam ke tanah.

Membujuk Aira bukanlah hal yang mudah. Gadis yang terpaut dua tahun lebih muda darinya itu sempat begitu sulit diajak bicara. Bahkan untuk menyapa pun ia enggan. Aira selalu menghindar setiap kali Haikal mencoba mendekatinya, seolah tak ingin membuka ruang untuk berdamai dengan situasi. Namun, pada akhirnya, hati Aira luluh setelah Haikal berjanji—saat ia kembali nanti, ia akan benar-benar menetap dan tak akan meninggalkannya lagi.

Saat Haikal pergi, segalanya terasa berbeda. Kehadirannya yang selama ini menjadi warna dalam hidup mereka kini meninggalkan ruang kosong yang sulit diisi. Aira, yang dulu selalu ceria, perlahan berubah. Keceriaannya memudar, berganti dengan kesibukan yang ia pilih untuk melarikan diri dari rasa kehilangan. Kedewasaan pun tumbuh dalam dirinya, lebih cepat dari yang seharusnya.

Aira memilih jalan berbeda. Alih-alih melanjutkan pendidikan, ia lebih tertarik mengejar mimpinya dengan caranya sendiri. Sejak masa sekolah, saat pertama kali mengambil jurusan menggambar dan mengenal dunia desain pakaian, ia sudah jatuh cinta pada hobi itu. Perlahan tapi pasti, ia menekuni impiannya dengan penuh tekad dan kerja keras.

Kini, Aira telah berhasil membangun butik pakaian yang seluruh desainnya merupakan hasil karya tangannya sendiri. Usaha itu bukan hanya pencapaian besar baginya, tetapi juga menjadi bentuk dedikasi kepada keluarganya. Dari hasil kerja kerasnya, ia memastikan bahwa tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, termasuk masa tua ayahnya.

Pak Brata yang semakin menua tetap menjalankan pekerjaan berat di rumah makan keluarga. Namun, bagi Aira, biarlah itu menjadi cara ayahnya mengisi waktu dan melampiaskan rasa sepi. Di sisi lain, ia terus menjaga agar beban yang lebih besar tidak lagi harus ditanggung oleh pria yang telah memberikan segalanya untuk mereka. Di tengah perubahan yang terjadi, Aira terus berusaha menjadi pelindung seperti yang Haikal titipkan, menjaga keluarga kecil ini tetap hangat meski tanpa kehadiran pemuda itu.

"Salah siapa, Ayah dulu nggak mau nikah lagi," ujar Aira dengan nada setengah bercanda, seperti yang biasa ia lontarkan setiap kali obrolan mereka berujung pada topik rumah yang semakin sepi setelah ia memilih tinggal sendiri, tak jauh dari butiknya.

"Yang dulu nangis-nangis minta Ayah nggak nikah lagi itu siapa?" balas Pak Brata sambil tersenyum tipis, menggoda putrinya.

Percakapan mereka selalu dipenuhi kehangatan kecil seperti itu, meskipun keheningan di rumah kian terasa. Rumah tua itu memang semakin sunyi, namun di dalamnya ada ketenangan yang menyelimuti setiap sudut. Kehidupan berjalan seperti biasa, hingga suatu hari, sebuah kejutan mengubah semuanya.

Setelah hampir tujuh tahun tak kembali, Haikal tiba-tiba muncul, membawa angin masa lalu yang telah lama hilang. Tanpa kabar, tanpa peringatan, ia langsung menuju butik Aira, tempat yang paling ingin ia datangi. Hatinya penuh kerinduan yang menumpuk selama bertahun-tahun. Namun, saat tiba di sana, ia tak menemukan gadis itu. Butik itu kosong dari sosok yang ia rindukan.

Tak ingin menunggu terlalu lama, Haikal memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Ia tahu ada satu tempat yang selalu menerima kehadirannya, tempat di mana langkah-langkahnya akan dikenali meski waktu telah berlalu. Rumah itu, dan sosok ayah yang menjadi pelabuhan pertamanya, menjadi tujuan Haikal untuk melepas rindu yang telah ia pendam selama ini.

Dengan sekali menekan bel rumah, pintu terbuka dan terlihatlah wajah Pak Brata yang penuh keheranan. Raut terkejutnya jelas terlihat, tetapi seiring dengan kejutan itu, senyum lebar merekah. Tanpa ragu, Pak Brata langsung menarik tubuh Haikal ke dalam dekapan hangatnya. Sebuah pelukan yang lama ditunggu, seolah tak peduli waktu yang telah terbuang. Dengan langkah yang mantap, Pak Brata menggiring anak laki-lakinya masuk ke dalam rumah dan segera menyajikan makanan kesukaan Haikal—makanan yang dulu selalu ada di meja makan, setiap kali Haikal pulang dari sekolah.

“Maafin Haikal ya, Pak. Maafin Haikal yang baru bisa pulang setelah sekian lama, menemui Bapak dan Aira.” Haikal mengucapkan kata-kata itu dengan mata penuh penyesalan.

Pak Brata hanya tersenyum, menyeka air mata yang hampir saja jatuh. “Terima kasih karena sudah kembali, Kal. Terima kasih karena pulang ke rumah ini lagi.”

Mereka makan bersama dengan riang, tawa mengalir bebas, seolah waktu yang telah terpisah begitu lama itu tak berarti. Hari itu, mereka melupakan segala perasaan kehilangan yang sempat menyelimuti hati, merasa bahagia dengan kebersamaan yang baru dimulai. Namun, di luar sana, ada sebuah pertanyaan yang menggantung, tak terjawab.

Bagaimana Aira akan merespon ketika ia tahu bahwa sosok yang telah ia rindukan selama ini—sosok yang ia benci karena menghilang begitu saja—akhirnya kembali ke rumah? Tujuh tahun tanpa kabar, ingkar janji, tanpa penjelasan, apakah bisa digantikan begitu saja? Mungkinkah Haikal bisa menghapus luka yang ditinggalkan oleh ketidakhadirannya selama ini? Mungkinkah ia bisa memulihkan semua waktu yang telah hilang, menghapus semua kesendirian Aira yang ia jalani bersama ayahnya selama bertahun-tahun?

Haikal tahu, itu bukan hal yang mudah. Tetapi, di hadapannya kini, ada peluang untuk memperbaiki semuanya, meskipun Aira masih terperangkap dalam rasa bingung dan kecewa yang dalam.

٭٭٭

Menjelang malam, lelaki itu duduk terdiam di beranda rumah, matanya sesekali melirik ke jalanan yang sepi, menunggu kedatangan seseorang yang telah lama ia rindukan. Namun, Aira tak kunjung tiba. Setelah seharian pulang ke rumah ini, ia tak bisa menemukan gadis itu.

“Nggak usah ditungguin lagi, Kal. Adik kamu itu udah besar, pulangnya nggak kesini lagi,” ucap Pak Brata, yang baru saja kembali dari rumah makan. Suaranya santai, namun ada sedikit keletihan di baliknya.

Mendengar perkataan Pak Brata, kedua alis Haikal mengerut, bingung. Hatinya sedikit tersentak. Seharian menahan rindu, namun gadis itu malah tak pulang ke rumah ini? Seharusnya, tadi ia tetap bertahan lebih lama di butik, menunggu Aira.

“Loh, sejak kapan, Pak?” tanya Haikal, tidak percaya.

“Semenjak dia buka butik sendiri,” jawab Pak Brata sambil melangkah menuju dapur, sibuk menyiapkan bahan masakan. “Paling sering pulang kesini ya cuma sekali dalam seminggu.”

Haikal terdiam mendengar penjelasan itu. Setelah beberapa saat, ia bangkit dari tempat duduk dan pindah ke meja makan, membantu Pak Brata yang tengah berkutat dengan bahan-bahan masakan. Ada perasaan tak nyaman yang menggelayuti hatinya. Aira yang dulu selalu ada di rumah, kini sudah berubah.

Tanpa berkata banyak, Haikal akhirnya memutuskan untuk keluar, mencari udara segar. Ia sudah mendapat informasi tentang alamat rumah Aira dari Pak Brata. Dengan langkah cepat, ia keluar dari rumah, bertekad untuk menemui gadis itu. Namun, entah apa yang akan ia temui di sana.

Anak lelaki yang dulunya tak memiliki apa-apa—hanya kasih sayang keluarga yang sederhana, serta sandang, pangan, dan papan yang tak seberapa. Kini, Haikal telah tumbuh menjadi pria dewasa yang mandiri dan mapan. Dengan kerja kerasnya, ia mampu membeli mobil pribadi yang dulunya hanya menjadi impian. Namun, meski segala pencapaian itu telah ia raih, satu hal yang tetap menjadi tujuannya adalah membahagiakan keluarga angkatnya—Pak Brata dan Aira.

Namun, ketika malam datang dengan kesunyian yang menyesakkan, terkadang Haikal terjebak dalam gelombang rindu dan rasa benci yang tak terelakkan. Rindu akan sesuatu yang tidak pernah ia miliki, dan benci yang tumbuh setiap kali memikirkan sang ibu—sosok yang dulu membuangnya begitu saja. Perasaan itu seperti luka yang tak pernah benar-benar sembuh, mengakar dalam hatinya. Apakah itu akan menjadi luka permanen, yang selamanya tak bisa terobati? Atau mungkin, hatinya memang telah lama berlubang, terlalu dalam untuk bisa dipulihkan lagi?

Haikal memberhentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah bercat biru, dengan halaman yang asri, dipenuhi pepohonan rindang dan bunga-bunga berwarna cerah. Ia tertegun sejenak, seakan ada sesuatu yang menggelitik dalam dirinya. Sebuah rasa yang sulit dijelaskan, seperti kupu-kupu yang terbang di dalam dada, mengalirkan debaran aneh yang tak bisa diabaikan.

Tiba-tiba, sebuah mobil lain menepi tepat di depan gerbang rumah Aira. Seorang lelaki turun dari pintu kemudi, berjalan memutar, dan membukakan pintu sebelahnya untuk Aira.

“Ra, ternyata kamu udah besar ya?” gumam Haikal pelan, matanya tak bisa lepas dari pemandangan yang terhampar di depan mata, meski terhalang oleh kaca mobil.

Setelah beberapa saat terdiam, Haikal memutuskan untuk keluar. Begitu laki-laki yang mengantarkan Aira berlalu, ia melangkah mendekat.

“Ra...”

Gadis dengan bando hitam di kepala itu tampak sibuk mencari kunci rumah di dalam tasnya. Namun, ketika mendengar namanya dipanggil, ia tersentak. Suara itu begitu familiar, meski telah lama tak ia dengar.

Aira menoleh, dan tubuhnya seketika membeku, terkejut dengan sosok yang muncul di depannya.

“A Haikal?” suaranya tercekat, hampir tak percaya.

Haikal tersenyum lebar, tatapannya penuh haru. “Udah lama ya, Ra?” ucapnya dengan nada lembut, seolah waktu yang terlewat begitu lama, tak mampu menghapus kenangan keduanya.

Kenyataan tak seindah yang dibayangkannya. Bukan pelukan hangat atau kata-kata manis seperti dulu yang menyambut kedatangannya, melainkan tatapan tajam yang sarat penuh kecewa. Aira menatapnya sejenak, lalu tanpa sepatah kata pun, ia membalikkan tubuh dan segera bergegas masuk ke dalam rumah. Pintu rumah tertutup dengan keras, meninggalkan Haikal di luar dengan rasa hampa.

“Ra, maaf karena pulang terlambat,” kata Haikal pelan, seakan kata-kata itu terucap lantang di udara. Namun, pintu yang sudah tertutup rapat itu tetap membisu, tak ada jawaban, tak ada Aira yang mendengar suaranya di balik sana.

Dengan perasaan yang semakin berat, Haikal melanjutkan perjalanan pulang ke rumah Pak Brata. Di tengah perjalanan, ia memutuskan untuk menepi di sebuah minimarket. Tanpa tujuan pasti, ia membeli beberapa kaleng minuman, kemudian duduk di kursi yang ada di depan minimarket, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.

Namun, matanya menangkap sosok yang begitu familiar, seseorang yang hendak menyebrang jalan. Seorang laki-laki dewasa yang tampak seperti mengalami kelainan mental. Tanpa peringatan, ia hampir tertabrak mobil yang melaju kencang, namun Haikal cepat bertindak, menarik tubuhnya ke samping untuk menyelamatkannya.

Keduanya terjerembab di tanah, debu-debu beterbangan mengitari mereka. Haikal menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit yang menyusup di tubuhnya, sementara lelaki yang baru saja ia tolong malah terlihat frantically memukul-mukul kepalanya sendiri. Suara tangan yang menghantam dahi terdengar keras, namun tak ada tanda-tanda lelaki itu sadar akan keadaan sekitarnya. Haikal, yang sedikit terhuyung, berusaha menenangkan, meski hatinya dipenuhi kebingungan dan ketidakpercayaan terhadap apa yang sedang terjadi.

"Bang Abi?" Haikal hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Nama itu keluar begitu saja, seakan menggema di tengah kekosongan.

Pandangan Haikal tertuju pada sosok di depannya, sosok yang dulu pernah ia kenal dengan baik. Haikal tak bisa menahan perasaan campur aduk yang menderanya—rindu, kecewa, dan pertanyaan yang menggantung di udara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Warisan Tak Ternilai
438      161     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Kainga
1140      672     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
GADIS MISTERIUS milik CEO DINGIN
37      36     0     
Action
Pertemuan dengan seorang pemuda yang bersifat anti terhadap para wanita. Justru membuat dia merasa bahwa, Ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis dengan kehidupan yang di alami gadis tersebut, hampir sama dengan dirinya. Nasib keduanya sama-sama tidak memiliki seorang bidadari tanpa sayap. Kehilangan sosok terbaik yang menemani mereka selama ini. Sehingga kedua manusia...
Deep End
37      36     0     
Inspirational
"Kamu bukan teka-teki yang harus dipecahkan, tapi cerita yang terus ditulis."
Konfigurasi Hati
443      310     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
GEANDRA
396      313     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
Andai Kita Bicara
557      449     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...
Da Capo al Fine
274      232     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Langkah yang Tak Diizinkan
161      137     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Broken Home
29      27     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?