"Mau apa lagi kalian?" bentak Fara lebih dahulu saat Gery dan gengnya mulai mendekatinya. Gadis itu kini mulai berani menghadapi segerombolan anak tukang bully itu.
Keempatnya langsung tertawa sinis mendengar pertanyaan Fara.
"Pake nanya lo?" Alex memajukan wajahnya. Lalu mundur saat Gery menyuruhnya.
"Bawa apa sih, Sayang? Berat banget kayanya," goda Gery dengan tatapan mautnya.
Fara sudah berusaha untuk tetap menatap Gery, namun tetap saja tubuhnya kini mulai bergetar dan akhirnya memalingkan muka.
Sadar nyali Fara mulai menciut, anak buah Gery tertawa puas. Sedangkan Gery tetap mengikis jarak dengan Fara.
"Mau gue bantuin bawa, Yang?" Muka Gery lalu dibuat-buat cemberut. "Tapi gue nggak suka bawa buku, maunya bawa kamu."
"Ahaiiiiii!"
"Cicicuit!"
Alex, Deta dan Reksa pun ribut di belakang Gery.
"Gimana kalo bukunya tinggalin aja, terus lo gue gendong?" goda Gery lagi namun kali ini membuat anak buahnya terdiam. Beberapa anak yang lewat dan mendengar pun langsung bergidik ngeri. Namun Fara kini kembali menatap Digma dengan tajam.
Dagunya terangkat tinggi. "Berat gue 50 kilo. Badan kecil lo nggak akan sanggup gendong gue!" teriaknya mulai muak dengan godaan Gery. "Lo pikir gue takut sama lo?" hardik gadis itu terus memojokan Gery.
Digma yang berdiri di kejauhan menahan tawa. Keberanian Fara saat ini justru terlihat lucu di matanya.
Gery mendekat, tangannya terangkat hendak menjambak rambut Fara. Namun, sebelum itu terjadi, Digma sudah mencengkeram lengannya dengan kuat.
"Jangan sentuh dia," ujar Digma dengan suara rendah dan dingin.
Gery semakin marah. "Lo mau sok jago?"
Tanpa aba-aba, Gery dan gengnya mulai menghajar Digma. Pukulan bertubi-tubi mendarat di wajah dan tubuhnya. Digma bukannya melawan, malah tersenyum tipis sambil melirik CCTV di atas mereka.
Fara mulai panik. "Guys, tolongin Digma! Siapapun tolong lerai mereka!" Tapi tak ada satu pun siswa yang berani mendekat. Fara menangis frustrasi. "Digma! Lo harus balas pukulan mereka! Mau sampai kapan lo diem terus?!"
Tiba-tiba, sebuah pukulan Gery meleset dan malah mengenai seseorang yang baru datang. Heri, ketua yayasan sekaligus ayah Gery.
"Gery!" suara berat Heri membuat semua anak terdiam.
Gery membelalak kaget, lalu tanpa pikir panjang, dia dan gengnya langsung berlari dan kabur dari Heri dan beberapa guru yang ada di dekat lapangan.
Melihat kondisi Digma yang banyak luka, membuat para guru dengan segera membawa cowok itu ke UKS. Perawat sekolah langsung memeriksa Digma. Katanya, cowok itu baik-baik saja, hanya butuh obat luar agar lukanya tak infeksi.
Fara berinisiatif untuk membantu perawat tersebut memberikan salep dan plester untuk Digma. Perawat itu setuju dan ia mulai beralih ke siswa lain yang butuh pemeriksaannya di tirai sebelah.
Fara menatap Digma dengan mata berkaca-kaca. Namun, Digma justru tertawa. "Tenang, gue masih hidup. Jangan nangis."
Dengan emosi yang tertahan, Fara membuka salep pereda nyeri dan mulai mengoleskan luka di siku tangan Digma.
"Aw!" Digma meringis menahan rasa perih yang mulai menjalar.
"Dikasih obat kesakitan, dipikulin Gery ngga sakit?" sindir Fara ketus.
Digma mengusap tengkuk, merasa bersalah. Fara terus saja melempar tatapan kesal pada cowok itu.
Digma pun berusaha menenangkan gadis itu. "Udah, udah. Lanjut oles yang ini." Tangannya memegang tangan Fara dan mengarahkannya ke ujung bibir.
Membuat Fara akhirnya tertarik maju dan semakin dekat dengan wajah Digma.
Dalam jarak sedekat itu, Fara dapat melihat rahang tegas cowok itu. Lalu beralih melihat hidung Digma yang memiliki bentuk mancung yang indah dan berhenti tepat di kedua bola mata coklat. Napas Fara sontak tertahan. Ia menelan ludah perlahan.
Tapi sedetik kemudian, Fara memundurkan tubuhnya. Ia melihat lagi beberapa lebam di wajah dan lecet di ujung bibir Digma.
Fara kembali murung, lalu memukul kecil bahu lebar Digma. "Bodoh! Kenapa Gery nggak lo lawan? Lo ngebiarin diri lo babak belur gini padahal lo bisa bikin Gery babak belur juga kan?!"
Digma mulai curiga. Namun ia tetap tersenyum menenangkan gadis itu. "Tenang, ra. Gue nggak kenapa-nap–"
"Gue tau lo atlit taekwondo," ungkap Fara dengan tatapan serius.
Mendengar hal itu Digma langsung menutup mulut Fara dan satu tangannya lagi membuka tirai, memeriksa keadaan sekitar.
Untung saja perawat tadi sudah pergi dan siswa sakit di sebelahnya sudah tertidur.
"Lo tau dari mana?" bisiknya setelah melepas tangannya dari wajah gadis itu.
"Seragam taekwondo. Gue liat itu ada di tas lo." Fara beralih menatap jendela luar. "Dan... gue juga ngintip lo latihan," lanjutnya agak malu mengatakan bahwa ia pernah mengikuti cowok itu diam-diam.
Digma terdiam beberapa detik, lalu akhirnya menghela napas berat sambil menyandarkan punggung. "Oke, gue jelasin semuanya." Digma menyerah untuk mencari alibi lain.
Ia pun menceritakan semuanya—tentang misinya untuk menjebak Gery karena perundungan yang membuat sahabatnya, Abian, koma.
Fara tercengang. "Lo kenal Abian?!"
Digma mengangguk. "Dia sahabat gue. Dan gue nggak bakal diem aja ngeliat Gery bebas setelah apa yang dia lakuin."
Fara menggigit bibir. "Sebenarnya, alasan gue selalu berusaha nolong lo itu juga karena ... Abian."
Alis Digma terangkat satu. "Maksudnya?"
Fara membenarkan posisi duduknya. "Dulu gue sering liat Abian dibully sama Gery."
"Hah? Sering?"
Fara mengangguk lesu. "Hampir tiap hari, Gery gangguin Abian. Dan gue nggak pernah bisa ngebela dia. Gue terlalu takut, Dig. Padahal harusnya gue sebagai ketua PKS, gue menertibkan keamanan di sekolah ini. Tapi gue terlalu lemah Dig." Fara terdiam sejenak. "Gue nggak pantes jadi ketua PKS. Harusnya Gery nggak nunjuk gue!" Setetes air mata meluncur dari matanya. Gadis itu tertunduk, menahan segala beban yang selama ini bertumpuk di pundaknya.
Ruangan UKS mulai hening, hanya ada suara kipas yang terus berputar ke kanan dan kiri.
Perlahan tangan cowok itu terulur mengelus pundak Fara. "Nggak apa-apa, Ra. Itu bukan salah lo."
"Dan waktu gue liat lo dibully Gery, gue bertekad untuk nggak ngelakuin kesalahan yang sama," sambungnya setelah menyeka air mata.
"Makanya itu lo selalu bantu gue?"
Fara mengangguk.
Digma mengusap wajahnya kasar. "Terus lo tau siapa pelaku yang udah buat Abian koma?"
Fara terdiam. Diamnya Fara cukup membuat Digma sadar kalau gadis itu tak tahu.
Digma mengangguk singkat. "Menurut informan gue. Gery tersangka utamanya."
Fara tak terlihat terkejut. "Jadi lo sengaja babak belur gini supaya bisa ngehukum Gery?"
"Ya. Lo inget waktu Gery mukul gue di deket lapangan utama? Itu adalah tempat yang paling terekam jelas di CCTV sekolah. Biasanya Gery sangat mempertimbangkan tempat untuk dia ngebully orang. Dia selalu mukulin anak-anak di titik buta CCTV. Tapi tadi dia kepancing emosi dan lupa sebenarnya ada di mana dia."
Fara mengangguk kecil, memahami. "CCTV itu bisa jadi bukti?"
"Ya. Dengan bukti rekaman itu, pernyataan lo sebagai saksi, dan pernyataan gue sebagai korban, itu udah cukup untuk sekolah ngadain komite kekerasan bahkan mungkin Gery bisa kita tuntut ke pengadilan."
Fara mulai tersenyum senang. Begitupun Digma. Kini mereka mulai menemukan jalan untuk menghukum Gery dengan semua kejahatannya.
"Sekarang kabarnya Abian gimana?"