Mendengar tempat sampah di luar gedung yang tiba-tiba terguling, membuat atensi Digma teralihkan dari lawan latihan taekwondonya sore ini.
Dengan langkah perlahan ia mendekati sumber suara, mencari jawaban atas suara berisik itu.
"Digma! Ke ruangan saya sekarang!" suara lantang Sabeum Sin menggema di dalam ruangan. Membuat langkah Digma terhenti dan berbalik mengikuti perintah pelatihnya.
Sementara Fara, ia sudah mengendap menjauh dari gedung, berusaha lari agar Digma tak melihatnya berkeliaran di tempat itu.
***
"Kamu kok nggak bilang ke Bapak kalau kamu punya prestasi olahraga?"
Pertanyaan dari Pak Deri menghantam Digma seperti bola liar. Ia sontak mendongak. Matanya menyapu seisi ruang guru, waspada, mencari kemungkinan ada Gery atau salah satu kroninya yang mendengar.
"Maaf, Pak. Saya udah nggak tertarik sama taekwondo lagi," ucapnya pelan, dengan nada mencoba acuh, meski sorot matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan.
Rapot yang terbuka di atas meja, lengkap dengan catatan dari sekolah lamanya, menjadi saksi bisu kebohongannya.
Pak Deri menghela napas, lalu berdecak. "Nggak tertarik, tapi masih latihan di Dojang-nya Mas Sinar?"
Digma memucat. Dalam hati ia mengumpat. Mampus!
"Nggak, Pak. Tanya aja ke Sabeum Sin. Saya udah jarang banget latihan di tempat beliau," kilahnya cepat, meski nada suaranya terdengar ragu.
"Jarang, tapi bukan berarti berhenti total, kan?" Pak Deri menyisir uban di rambutnya, matanya tajam menusuk ke arah Digma. "Kata Mas Sinar, kamu tuh pernah ikut kejuaraan nasional. Menang, nggak?"
Digma mengangguk pelan. Ia tahu, semakin ia mengelak, semakin dalam lubang yang ia gali untuk dirinya sendiri.
"Tuh kan. Tandanya kamu memang punya bakat. Lanjutkan ya, Nak."
"Iya, Pak. Tapi... nanti aja. Setelah saya lulus."
Pak Deri terdiam sejenak. Baru beberapa detik kemudian ia menyadari makna di balik ucapan itu.
"Hah? Setelah lulus? Kelamaan itu, Dig—"
Tapi Digma sudah berdiri dan buru-buru keluar dari ruangan itu, meninggalkan gurunya dalam kebingungan.
Begitu pintu tertutup, ia menghela napas panjang—lega. Tapi belum sempat ketenangannya bertahan lama, sebuah suara membuat jantungnya mencelos.
"Digma!" sapa Fara dengan senyum lembutnya.
Digma menatap Fara curiga. Sejak kapan gadis itu di dekatnya? Jangan-jangan dia mendengar semuanya sejak tadi.
"Eh, Fara. Lo ... dari ruang guru juga?" tanya Digma mencoba tenang dengan memasukkan tangan ke saku celana.
Fara mengangguk cepat. Lalu mengangkat tumpukan buku tulis yang sedang dibawanya. "Gue disuruh ngambil buku anak-anak sama Bu Ega."
"Lo tadi ... denger nggak apa yang dibicarain antara gue sama Pak Deri?" tanya cowok itu pelan. Matanya menyipit takut cewek itu mengangguk.
"Enggak lah! Emang gue tukang nguping."
Digma tersenyum lega. Ia langsung merebut tumpukan buku dari tangan Fara, agar gadis itu tak kesusahan.
Digma terkekeh, mencairkan situasi. "Ini mau dibawa ke mana?" tanyanya mengalihkan topik.
"Ke kelas gue," tukas Fara dengan pandangan lurus ke depan. Sebenarnya, ia memang mendengar percakapan Digma dengan wali kelasnya. Tapi ia masih belum bisa memberitahu Digma jika cowok itu saja menyembunyikan hal itu darinya. Maka dari itu ia memutuskan untuk berbohong.
"Istirahat nanti, lo ke kantin nggak?"
Fara menoleh. Lalu mengangguk mantap. "Hari ini Kantin Mba Sasa buka. Gue nggak sabar mau makan seblak dia hari ini."
"Emang dari kemarin nggak buka?" Digma sedikit membenarkan posisi tumpukan buku yang hampir jatuh.
"Enggak." Fara menggeleng sedih. "Dia libur seminggu karena mau nikah."
"Seenak apa sih seblaknya?"
"Nggak ada yang bisa nandingin, Dig!" jawabnya dengan semangat. "Gue jamin, seblak Mba Sasa adalah seblak terenak di kota ini!"
Melihat antusias Fara akan seblak membuat Digma terkekeh kecil. "Gue diajak nggak?"
"Emang cowok suka seblak?"
"Emang seblak mandang gender?" Digma terkekeh geli. "Terakhir gue makan sih rasanya benyek-benyek gitu."
"Tuh kan, lidah cowok mah aneh. Ngga bisa merasakan kenikmatan semangkuk seblak." Fara melipat tangan sedikit kesal dengan jawaban cowok disampingnya.
"Hahaha, makanya ajak gue. Siapa tau kalo makannya bareng lo, rasanya berubah?" Digma menaik turunkan alisnya, membuat kesepakatan.
"Seblak mah tetep seb–"
DUAK!
Sebuah bola meluncur cepat dari arah lapangan, nyaris menghantam wajah Fara.
"Fara! Awas!!"
Refleks, Digma bergerak. Tendangan luar khas taekwondo meluncur sempurna. Bola terlempar jauh dan terdengar sorakan kecil dari anak-anak di lapangan. Tapi perhatian Digma hanya tertuju pada satu hal—Fara.
"Lo nggak kenapa-napa?"
Fara mengangguk kaku. Tapi matanya menatap Digma. Dalam. Diam. Lama. Dunia seperti berhenti berputar sejenak. Hanya ada mereka berdua.
Detik berikutnya, Fara cepat-cepat membenarkan rambutnya dan menunduk, berusaha menutupi rona merah di pipinya.
"Gue balik ke kelas dulu ya, Dig." Suaranya nyaris berbisik, seperti takut kalau perasaannya bisa terdengar.
Digma hanya mengangguk, tak sanggup berkata apa-apa saat gadis itu menjauh. Ada rasa aneh menggelitik di dadanya, rasa yang ia pikir sudah lama hilang.
Ia menatap punggung Fara yang semakin menjauh sebelum memutuskan berbalik arah ke lapangan.
Langkahnya mantap. Sorot matanya kembali tajam.
"Pengumuman buat semuanya!" serunya lantang. "Kalau olahraga, apalagi main bola, tolong lebih hati-hati! Jangan asal tendang!"
Anak-anak kelas sepuluh yang tadi tertawa-tawa langsung membisu, wajah mereka pucat.
Namun saat ia hendak kembali ke kelas, telinganya menangkap bisikan beberapa siswi di pojok lapangan.
"Kak Gery mau ngapain lagi tuh? Nggak ada berentinya gangguin cewek deh..."
Darah Digma langsung mendidih. Napasnya tertahan. Tangannya mengepal. Tanpa pikir panjang, ia berlari. Menabrak beberapa orang. Mata lurus ke depan.