"Bang! Bang Digma! Gawat!" Aldino menggoyangkan bahu kanan Digma cukup keras. "Gery mau masuk ke sini."
Digma mengangkat kepalanya dari layar ponsel. Matanya menatap Aldino serius lalu beralih melihat teman-teman Gery yang masih tak sadarkan diri.
Bersamaan dengan waktu yang semakin menipis dan langkah Gery yang semakin mendekat, Digma akhirnya menemukan sebuah ide.
"Lo tinju gue sekarang!" perintah Digma cepat.
"Hah?"
"Lo tinju gue atau gue laporin lo ke bokap?"
*Bug*
Sebuah pukulan melayang dengan tepat sasaran ke pipi Digma hingga ujung bibir cowok itu terluka. Digma sedikit mendesis nyeri, namun memang itulah ide awalnya.
"Sekarang, bilang kalo semua ini ulah lo. Lo yang udah bikin mereka pingsan dan lo mau nyelamatin gue," lanjutnya menjelaskan. Ia tersenyum tipis saat melihat peretasan telah 100% dan dengan cepat mencabut ponsel cowok itu dari falshdisk.
"Terus?"
Digma menyunggingkan senyum licik. Lalu melempar ponsel yang tadi sempat ia pinjam ke atau tubuh cowok yang masih terbaring di lantai itu. "Lo tau kan harus apa?"
"Oh, Shit!" umpatnya paham apa yang dimaksud temannya itu. "Lo selalu bikin gue punya banyak musuh tau, Bang!" omel Aldino namun tetap bersiap melakukan kuda-kuda dan mengepal kedua tangan di udara. Bersiap melawan Gery dan bawahannya.
Pintu kaca itu pun akhirnya terbuka perlahan. Sosok Gery muncul pertama, dengan langkah santai namun penuh tekanan. Di belakangnya, Alex, Deta, dan Reksa menyusul masuk. Tatapan mereka tertuju pada dua temannya yang tergeletak di lantai, dan pada Aldino yang berdiri di depan Digma, seperti sedang melindunginya.
Gery berhenti beberapa langkah dari mereka, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, lalu menatap Aldino tajam. "Menarik banget, Din. Lo pukul dua anak gue cuma demi uang?"
Aldino mengangkat bahu. "Sorry, Ger. Gue dapet orderan lagi. Lo tau sendiri, duit nggak bisa nolak."
Senyum Gery perlahan berubah menjadi dingin. "Lo pikir gue bisa nerima alasan kayak gitu?"
Tanpa aba-aba, Gery melayangkan pukulan ke arah Aldino. Cowok itu sempat menghindar, tapi serangan Gery membuatnya kehilangan keseimbangan. Alex dan Deta langsung menyerbu maju. Perkelahian pun pecah.
Digma reflek berdiri, namun tidak menyerang. Ia hanya menangkis dan menghindari pukulan yang datang bertubi-tubi. Gerakannya lincah, akurat, namun jelas ia menahan diri. Setiap serangan yang datang hanya ia tangkis dengan efisien, seolah hanya bertahan demi menyelamatkan diri, bukan untuk menang.
Aldino lain cerita. Cowok itu membabi buta menyerang siapa pun yang mendekat. Tinju dan tendangannya melayang ke arah Alex dan Deta. Meski tubuhnya kecil, namun kecepatannya cukup merepotkan mereka.
"Digma! Lo bantuin kek!" teriak Aldino sambil menghindari tendangan Deta.
Digma tetap fokus bertahan. "Gue nggak bisa. Lo tau kenapa."
"Anjir lo, Bang!"
Serangan dari Gery makin brutal. Ia menendang meja hingga terbalik dan hampir mengenai Digma. Cowok itu meloncat mundur, menarik napas dalam-dalam. Dalam benaknya, ia harus cari cara kabur secepat mungkin sebelum keadaan makin kacau.
Dari sudut matanya, Digma melihat pintu belakang ruangan yang tak terkunci. "Aldino! Arah jam sembilan! Pintu belakang!"
"Ngerti!" Aldino menendang lutut Deta, membuat cowok itu jatuh terjengkang, lalu meraih tangan Digma dan menariknya menuju pintu.
Gery menerjang mereka, tapi Digma mendorong rak buku ke arahnya, menghalangi jalan. Benda itu roboh, menimbulkan suara gaduh. Kesempatan itu dimanfaatkan keduanya untuk kabur.
"Lo bakal gue bakar hidup-hidup, Digma!" suara Gery menggema di belakang mereka, penuh amarah.
Tapi Digma tak menoleh. Bersama Aldino, ia berlari keluar gedung, menembus malam yang dingin, napas keduanya memburu.
Setelah sampai di jalan raya dan merasa cukup aman, mereka berhenti sejenak. Aldino membungkuk sambil memegangi lututnya. "Gila... Gue kira kita bakal tamat di situ."
Digma mengatur napas, wajahnya masih tegang. "Gue juga kira kita bisa keluar tanpa ribut. Tapi Gery ternyata segila itu..."
Aldino menatapnya heran. "Lo kenapa nggak lawan balik? Lo kan bisa!"
Digma menggeleng cepat. "Nggak bisa. Kalau gue buka kemampuan gue sekarang, habis misi gue. Mereka bakal curiga."
Aldino mendengus. "Lo dan rahasia lo itu emang ribet."
Digma tertawa, meski ada kekhawatiran yang masih menggelayuti. "Thanks ya, lo udah mau nanggung semuanya."
"Inget, Bang. Gue nggak dibayar dengan thanks doang. Nomor rekening gue masih yang lama."
Digma menjitak kepala dengan gaya rambut berantakan itu. Lalu segera memesan taksi online dan meninggalkan Aldino pulang jalan kaki.
***
Malam semakin larut. Setelah Digma meminta sopir taksi untuk diturunkan di perempatan saat ia diculik, cowok yang masih memakai kaos milik Rey itu mulai menyalakan motor Rey yang sejak tadi terparkir di sana.
Lima menit kemudian Digma tiba di kosan Atha. Suara deru knalpot yang mendadak mati membuat Atha langsung berdiri dari tempat duduknya di teras. Matanya menyorot tajam begitu melihat sosok Digma turun dengan santai, seolah dirinya tidak habis diculik Gery beberapa jam yang lalu. Tapi ada satu hal yang menarik perhatian Atha—luka lecet di ujung bibir Digma.
"Lo abis diapain aja sama Gery?" Tangan Atha meraih dagu Digma, mengecek luka itu. Tatapannya serius campur khawatir. "Anjir tuh Aldino! Gue minta tolong dia, malah dia jebak lo."
Digma dengan santai melepas tangan Atha dari dagunya. "Santai, Tha. Dia akhirnya bantuin gue untuk kabur dari sana kok."
Alis Atha terlipat, tidak percaya. "Yakin lo? Gue udah setengah mati kepikiran tadi. Sebenernya, Aldino tadi telpon gue. Suruh bilang ke elo kalo itu jebakan dari dia. Tapi lo malah lo ga bisa dihubungi."
Digma tertawa kecil, lalu masuk ke kosan duluan. Ia pun langsung tiduran di kasur Atha. Rasa nyaman menyebar ke seluruh tubuhnya yang sejak tadi terasa nyeri. "Kita berdua berhasil kabur dari sana setelah Gery dan anak-anaknya ngeroyok kita."
Alis Atha tertaut. Tubuhnya semakin mendekat, penasaran. "Lo berkelahi di sana? Ngehajar mereka? Dan Gery liat?"
Digma menggeleng santai. "Gue cuma pak jurus bertahan." Ia menyilang lengannya ke belakang kepala. "Aldino yang nyerang mereka semua."
Atha mengangguk paham.
Digma lalu mengeluarkan flashdisk dari kantong celananya, mengangkatnya di depan Atha. "Yang terpenting adalah gue berhasil dapet yang gue mau. Gue berhasil meretas ponsel salah satu anaknya Gery di Nirvana Zone. Harusnya ada bukti kejahatan mereka di sini."
Atha langsung menempatkan tubuh di depan laptop. Memasukkan flashdisk Digma ke colokan yang tersedia, lalu mulai membuka isinya.
tatapannya fokus ke layar. Matanya tak berkedip. Alisnya perlahan tertaut. "... Digma."
Mendengar namanya dipanggil, Digma langsung bangkit dan mendekatkan diri ke laptop. Satu tangannya bersandar di meja. "Apa? Lo nemu videonya?"