Digma kira, ia telah lolos dari intaian Gery setelah berkendara kurang lebih dua kilometer dari rumah Fara. Tetapi, suara deru motor besar yang semakin mendekat dan berakhir menghadang dirinya, membuatnya sadar bahwa ia tak akan lolos dengan mudah dari genggaman cowok paling berpengaruh di sekolahnya.
"Gery kangen lo." Suara itu terdengar serak, pelan, namun penuh ancaman. Seorang cowok berjaket hitam membuka helmnya perlahan. Bukan Gery. Tapi jelas, itu adalah sebuah pesan.
Mendengar ucapan cowok berjaket hitam itu, membuat Digma menghela napas berat. Tak ada jalan lain selain menghajar mereka dan lari dari hadangan. Digma pun segera turun dari motor.
Suara standar motor yang ia turunkan menggema saking sepinya jalanan di perempatan kini. Dibawah lampu motor miliknya dan musuhnya, Digma mengamati ketiga cowok misterius itu. Walaupun wajah mereka tertutup masker wajah, tapi ia tahu tak ada satupun yang mirip dengan Gery ataupun teman se-gengnya. Itu berarti, aman jika ia memperlihatkan kemampuan beladirinya. Jika mereka mengadu pada Gery dan tak ada saksi mata yang dapat cowok itu percaya selain ketiganya, ia dapat dengan mudah mengelak.
"Sini, lo!" Tangan Digma melambai, memberi kode kepada cowok berbadan tinggi itu agar mendekat. "Gue yang kangen sama lo," tandasnya yang langsung melemparkan kepalan tangannya ke arah pelipis cowok itu.
Karena serangan tiba-tiba, cowok berbadan tinggi itu tak sempat mengelak dan mengenai wajahnya. Melihat salah satu temannya diserang, dua orang lainnya tak terima dan segera menyerbu Digma.
"Go, bungkus tuh anak ke Nirvana Zone! Biar dia tahu gimana rasanya main sama Gery!" teriak cowok berbadan paling kekar itu sebelum ikut menyerang Digma.
Main? tanya Digma dalam hati. Sebuah ide terlintas dalam pikirannya. "Berenti!" teriaknya tiba-tiba sambil mengangkat tangan tanda menyerah.
"Kenapa lo? Berubah pikiran?"
"Bawa gue ke sana," ungkapnya percaya diri yang diikuti tatapan bingung ketiga cowok itu.
***
Dengan tangan terikat di depan, Digma turun dari motor besar itu. Gedung di depannya lebih terlihat seperti bar karaoke dibanding tempat nongkrong anak SMA. Mata cowok itu sibuk menyisir setiap sudut gedung bertuliskan nirvana zone dengan lampu neon yang mencolok di malam hari.
Ia tersentak saat cowok yang membawanya tadi mendorong paksa dirinya agar segera melangkah maju masuk ke dalam. Melewati pintu kaca, indra penciumannya mendadak diserbu asap rokok hingga membuat dadanya sesak dan terbatuk.
Walaupun dengan tangan terikat, ia berusaha mengibaskan kedua tangannya agar asap itu segera hilang dari pandangannya. Hal pertama yang ia lihat, beberapa anak masih menggunakan seragam sekolah sedang duduk di ruang depan sambil merokok dengan beberapa minuman keras di meja.
Belum puas mengamati, ia didorong kembali ke lorong bergaya american classic itu. Masuk lebih dalam, udara di sekitar bukan lagi asap rokok, namun ruangan AC dengan suhu tertinggi.
Setelah mereka berbelok, sebuah ruangan dengan pintu kaca kembali hadir dan hanya Digma yang di dorong masuk ke dalam.
Setelah beberapa menit ditinggal diruangan sendirian, pintu kaca itu terbuka perlahan, menampilkan sosok yang sejak tadi dinanti. Gery melangkah masuk dengan santai namun mengintimidasi. Di tangannya tergenggam sebuah gelas kosong. Matanya langsung mengarah tajam ke Digma, penuh emosi yang belum selesai.
"Masih ingat ini?" tanyanya seraya mengangkat gelas tersebut sedikit lebih tinggi. Suaranya datar, namun mengandung bara. "Waktu lo siram gue pakai teh panas ... rasanya, sekujur tubuh gue kayak dibakar hidup-hidup."
Digma tak menjawab. Hanya menatapnya balik tanpa gentar. Tapi napasnya tampak sedikit tertahan.
Gery menghela napas singkat, lalu menoleh pada salah satu anak buahnya.
"Ambil air panas. Sekarang."
Salah satu teman VIP-nya langsung berdiri dari sofa, terlihat cemas. "Ger, serius lo? Bukannya biasanya lo kasih waktu dulu buat... 'main-main'?"
Gery menatapnya, alisnya terangkat ringan. "Main-main?"
"Ya, maksud gue ... kita belum sempat bersenang-senang sama dia. Lo biasanya nggak secepat ini, kan?" ucap temannya yang lain, mencoba terdengar santai meski jelas gugup.
Gery terdiam sejenak. Sorot matanya menusuk. Kemudian ia melirik kembali ke arah Digma, lalu kembali menatap kawan-kawannya.
"Oke. Satu jam," ucapnya tenang, namun dengan tekanan yang dingin. "Satu jam buat kalian permalukan dia sepuasnya. Tapi setelah itu, dia jadi milik gue."
Langkahnya perlahan mendekati Digma. Wajah mereka kini hanya berjarak satu jengkal.
"Lo dengar sendiri, kan?" bisiknya. "Nikmati waktu lo yang tersisa. Karena satu jam lagi, lo bakal tahu rasanya dibakar dari luar ... dan dari dalam."
Ia kemudian berbalik dan berjalan keluar ruangan. Pintu kaca tertutup kembali, menyisakan ketegangan yang masih menggantung di udara.
Digma menarik napas dalam. Waktu berjalan. Dan satu jam itu bukan untuk bertahan. Tapi untuk menyerang balik.
Dua cowok itu sontak berdiri. Mereka mengenakan seragam sekolah yang berbeda dari seragam Digma. Digma duga tiap perundung dari masing-masing sekolah di kota ini adalah teman Gery. Sampah membentuk aliansi sampah.
Musik diputar. Lagu pop mellow yang ironi banget dipasangkan dengan aura intimidasi di ruangan kecil itu.
"Joget!" bentak cowok berkulit putih. Kamera ponsel menyala.
Digma tetap diam. Tatapannya dingin. Tak satu gerakan pun.
"Joget, anjing!" Cowok itu menghampiri, menarik rambutnya, menyeretnya ke dinding penuh foto. "Liat! Mereka babak belur demi dapet tempat di dinding ini! Fame of Frame! Lo cuma disuruh joget!"
Tapi Digma tak menanggapi. Matanya terpaku pada satu foto—Abian. Babak belur. Diapit Gery dan dua anak buahnya.
Seketika, napasnya berubah. Matanya memerah. Tangannya bergerak. Tendangan ke belakang menghantam perut si cowok putih. Tubuhnya melayang, membentur meja, pingsan.
Cowok satu lagi mencoba kabur. Digma menyandungnya, menjatuhkannya, lalu satu pukulan telak ke pipi—tumbang juga.
"Payah." Digma mencibir, napasnya berat. "Bully doang jago, dipukul dikit langsung KO."
Dengan cepat ia mencari cutter, memotong ikatannya. Bebas. Lalu, ia menuju dinding Fame of Frame dan mencabut satu per satu foto.
"Ini bukan kenangan. Ini bukti."
Ia ambil ponsel korban. Pasang flashdisk dari Atha. Proses peretasan dimulai. Sambil berjaga di pintu, ia tarik napas dalam.
Saat itu, seseorang muncul di balik pintu. Aldino.
"Loh, Bang Digma?" kaget Aldino tidak menyangka cowok itu beneran datang ke sarang musuh. "Lo beneran ke sini buat nolongin gue?"
Digma fokus mengamati Aldino dari ujung kaki hingga kepala. Dirinya benar-benar baik-baik saja sekarang, padahal dia bilang di telepon dia tertangkap.
Mata Digma menyipit kesal. "Gila lo! Lo beneran khianatin gue? Lo ambil job dari dia kan?"
"Sorry, Bang! Sumpah! Gue nggak tau lo ternyata sekhawatir itu sama gue! Gue kira gapapa lah ambil uang Gery dikit. Dia ngasih job supaya gue mancing lo kesini. Ya gue tau lah lo ga bakal nolongin gue, makanya gue ambil itu job!"
Digma memukul kepala cowok itu dengan sangat keras saking kesalnya. "Ya iyalah! Ngapain gue bantuin lo! Gue tau lo juga sabuk hitam!"
Sambil mengelus-elus kepalanya yang lumayan nyeri dipukul Digma, Aldino mengelus dadanya. Untung saja Digma ke sini bukan karena akan menyelamatkan dia, kalo iya bisa masuk penjara lagi anak itu.
"Betul, Bang! Iya itu sama, sama yang gue pikirin. Jadi lo ... ga marahkan sama gue?"
Fokusnya kini teralihkan ke layar ponsel yang sudah menunjukan 98% berhasil meretas isi ponsel. "Diem lo. Abis ini lo habis sama gue!" ucapnya masih menatap hal yang kini lebih penting dibanding Aldino.
"Bang! Gawat!" Aldino menggoyangkan bahu Digma keras. "Gery mau masuk ke sini."
Pintu kaca itu terbuka. Menampilkan Gery, dan dua teman gengnya di ujung pintu. Mereka mematung melihat apa yang telah terjadi di ruangan itu.