Setelah sampai di sekolah pagi ini, Digma langsung memberikan buku PR ke anak buah Gery, karena Gery belum tiba. Namun sehabis itu, ia tak langsung balik ke kelas. Cowok itu memilih melangkah sendiri, pelan, menyusuri koridor sekolah yang masih sepi karena masih terlalu pagi. Matanya menyisir setiap sudut, setiap tempat yang sejak kemarin menarik perhatiannya karena ramai oleh anak-anak nakal. Salah satunya warung paling belakang, yang biasa di sebuah warung Bu Eya.
Usai puas mengamati, Digma memutuskan balik ke kelas. Tetapi belum lama ia duduk di kelas, sebuah tangan menyergapnya. Kasar. Tanpa suara.
BRUK!
Tubuhnya ditarik paksa masuk toilet. Pukulan pun datang bertubi-tubi. Pipi, perut, hingga tubuhnya dibanting dengan keras ke tembok. Bau pesing dan dinginnya lantai kini tak ia hiraukan lagi sebab tawa rendah di sekelilingnya lebih terdengar menjengkelkan di telinga.
"Lo mulai main-main sama gue? Lo sengaja bikin nilai gue jelek?" ancam Gery penuh emosi. "Lo pikir gue bakal terima gitu aja?"
Digma mendongak. Meski berdarah, senyumannya tetap terlihat. "Gue nggak berani main-main sama lo. Lo yang bego naruh harapan sama gue."
BUK! Tendangan baru menghantam perut Digma. Kepalanya terantuk pinggiran closet berdiri.
Gery tertawa pelan, namun mengerikan. Dia memberikan kode ke Alex. "Susu basinya. Sekarang."
Alex buru-buru menuruti perintah sang ketua. Sekotak susu itu berpindah tangan dan seketika isinya disiram ke kepala Digma. Lengket, dingin dan bau busuk cowok itu rasakan saat itu juga.
"Kita lihat sampe kapan lo bertahan," bisik Gery sebelum pergi.
Saat pintu tertutup dan suara langkah mereka menjauh, Digma tetap di tempat. Terdiam hingga perlahan bangkit. Tangannya mencengkeram pinggir wastafel. Nafasnya berat. Namun matanya menyorot bayangannya di cermin dingin. Kepalanya yang kaku, ia putar ke kanan kiri perlahan. Pegal rasanya harus selalu menatap laki-laki bajingan itu. Tak lupa ia mengelap kasar sedikit darah dari luka di ujung bibir.
"Sialan! Pukulan tuh anak tiap hari tambah kuat aja." Digma memutar lengan kanannya, mulai merasakan nyeri di tulang belikat.
Lalu suara pelan masuk dari arah pintu.
"D-Digma?!"
Fara.
Gadis itu langsung lari ke arah Digma dengan wajah pucat. Matanya melebar penuh panik dan napasnya tersengal, seolah ia habis lari dari tempat yang jauh.
"Lo—lo kenapa kayak gini?!" suara Fara bergetar. Tangannya pun ikut gemetar saat menyentuh bahu Digma. "Pasti ini ulah Gery... dia yang—"
"Gue nggak papa," potong Digma cepat. "Jangan deket-deket, baju lo bisa bau susu basi."
"Dig!" bentak Fara, suaranya mulai pecah. Air matanya hampir tumpah. "Lo berdarah, Dig ..., Lo luka ..."
Digma menatap lurus Fara dengan dalam. "Lo nggak usah ikut campur."
"Gue harus ikut campur!" balas Fara. "Gue ketua PKS. Tugas gue—"
"Ketua PKS tapi takut sama Gery?" tanya Digma pelan, namun nadanya tajam.
Fara terdiam. Wajahnya mengeras dan matanya mulai goyah. Tangan yang tadinya mencengkeram seragam Digma kini perlahan lepas.
"Gue ..." Fara menggigit bibir bawahnya. "Gue emang takut, Dig. Lo nggak tahu siapa dia. Lo baru di sini. Tapi gue—gue udah ngelihat cukup banyak buat tahu seberapa gilanya dia."
Digma mundur perlahan. Darah masih mengalir tipis dari bibirnya.
"Terus kenapa lo peduli sama gue?"
Fara tak langsung jawab. Ia menarik napas. Dalam.
"Karena gue nggak tahan lihat orang lain ngalamin hal yang sama kayak yang pernah gue liat," suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.
Seketika, suara langkah terdengar dari luar. Suara perempuan.
"Kak Fara! Lo di mana?!"
Fara langsung kaku. Wajahnya panik. Matanya membelalak ke arah pintu, lalu kembali menatap Digma. "Dig, gue mau sembunyi di bilik. Kalo ada yang nyari gue–"
"Tapi ini kamar mandi cowok, Ra," potong Digma karena sejak tadi ia bertanya-tanya mengapa gadis itu masuk ke tempat yang bukan seharusnya. "Ada yang nyari lo?" tanya Digma heran.
Fara tak menjawab. Gadis itu mulai panik. Ia pun mundur dan ambil langkah cepat ke arah pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh kembali.
"Jangan lawan Gery. Tolong, dengerin gue. Sembunyi kalau lo bisa. Gue—gue bakal bantu lo sebisanya."
Dan Fara pun menghilang begitu aja, meninggalkan Digma sendiri di dalam toilet dengan tubuh dan perasaan yang masih berantakan. Baru kali ini ia dipukuli dan direndahkan namun tak bisa melawan. Jika bukan demi Abian, Gery pasti sudah habis olehnya sejak dulu.