Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
MENU
About Us  

Amplop tebal dari Harvard, yang dulu kuimpikan, kini tergeletak di meja, sebuah simbol kekalahan yang membisu. Kata "penolakan" masih bergaung di benakku, terasa seperti palu yang menghantam, menghancurkan impian yang telah kubangun bersama Adit. Air mata telah mengering, menyisakan jejak asin di pipiku. Namun, di balik rasa perih itu, ada bisikan samar dari Adit di jurnal –Pintu itu adalah pintu baru yang memang kamu butuhkan– yang mulai menghangatkan hatiku.

Aku mengambil email dari Central Washington University. Tawaran beasiswa penuh untuk Penulisan Kreatif. Dulu, ini hanya "rencana B", sebuah jaring pengaman. Kini, ia terasa seperti sebuah pelukan. Sebuah kesempatan kedua, bukan dari Adit, melainkan dari takdir.

Pagi itu, di sekolah, aku berusaha menampilkan wajah yang tegar. Aku tahu Maya dan Mayadi telah mengetahui kabar penolakanku dari Harvard, dan beasiswa penuh dari universitas lokal. Kabar itu sudah kusebarkan, mungkin melalui telepon, mungkin melalui pesan singkat yang penuh emosi. Sekarang, aku hanya perlu menghadapi reaksi mereka, dan menunjukkan bahwa aku sudah mulai melangkah.

Saat jam istirahat, Maya menghampiriku di loker, wajahnya penuh kekhawatiran yang masih tersisa, namun juga lega. Matanya sembab, seolah ia yang menangis semalaman untukku.

"Lily... Bagaimana perasaanmu hari ini?" bisiknya, suaranya pelan, memegang tanganku erat. "Aku tahu ini pasti berat."

Aku menghela napas. "Aneh, May. Kosong. Tapi... sedikit lega juga." Aku menatapnya. "Adit pernah bilang, kalau satu pintu tertutup, ada pintu lain yang terbuka. Mungkin ini jalanku yang berbeda."

Maya mengangguk, sorot matanya menunjukkan pemahaman. "Pintu lain. Aku ingat dia pernah bilang begitu. Dia selalu punya cara untuk melihat hal baik di balik segalanya." Ia memelukku erat, pelukannya dipenuhi kelegaan yang tulus. "Aku sangat bangga padamu, Lil. Kamu sangat kuat. Adit pasti bangga padamu karena kamu tidak menyerah."

Mendengar Maya kembali menyinggung nama Adit dengan penerimaan, dadaku menghangat. Ia tidak melihat ini sebagai akhir, melainkan sebagai awal. Ini adalah jenis dukungan yang kubutuhkan.

Tak lama kemudian, Mayadi datang menghampiri kami, dengan wajah serius namun matanya menyiratkan simpati. Ia menatapku, lalu senyum tipis terukir di bibirnya.

"Lil," panggilnya, suaranya rendah. "Aku sudah dengar. Selamat ya. Adit pasti bangga banget sama kamu. Dia selalu bilang, kamu itu penulis sejati. Dia akan sangat senang kalau kamu bisa terus menulis."

Aku tersenyum tipis. "Terima kasih, Mayadi." Untuk pertama kalinya, rasa sakit penolakan itu terasa sedikit memudar, digantikan oleh percikan harapan yang samar. Mungkin Mayadi benar. Mungkin ini adalah 'pintu lain' yang Adit maksud. Sebuah 'jejak' baruku.

"Aku... aku akan mencoba," kataku. "Aku akan mencoba membuat ini jadi 'galaksi' baruku. Di universitas lokal."

Mayadi mengangguk, matanya berbinar. "Itu semangat! Kapan kita bisa mulai merayakan? Lagu 'Jejak' juga sudah hampir selesai aransemennya."

"Nanti, kalau aku sudah siap," jawabku, sedikit tersenyum.

Malam itu, aku duduk di meja belajar, menatap bookend sayap tunggal Adit. Jurnal biru tua tergeletak di sampingnya, tulisan Adit kini nyaris tak terlihat. Koneksi itu telah berakhir. Namun, pesannya, jejaknya, masih ada di sana, di dalam setiap halaman, di dalam setiap kenangan.

Aku mengambil laptop, membuka dokumen personal statement yang sudah kukirimkan. Aku membaca ulang kata-kata yang kutulis tentang 'Galaksiku'. Tentang pecahan-pecahan yang membentuk konstelasi baru. Dulu, aku menulisnya dengan harapan akan diterima di Harvard. Kini, aku membacanya dengan pemahaman baru. Ini bukan lagi tentang Harvard. Ini tentang diriku. Tentang proses Finding Yourself yang telah membawaku sejauh ini.

Aku mulai mengetik. Bukan lagi esai, melainkan entri baru di jurnal pribadiku. Aku menulis tentang penolakan Harvard, tentang rasa sakitnya, namun juga tentang kelegaan dan harapan dari tawaran Central Washington University. Aku menulis tentang bagaimana Adit, bahkan setelah pergi, masih membimbingku menuju 'pintu lain'.

Adit, aku tahu ini bukan rencana kita. Tapi aku... aku akan baik-baik saja. Aku akan terus menulis. Aku akan menemukan diriku. Aku akan membangun galaksiku sendiri. Terima kasih untuk jejakmu, untuk bintangmu, untuk 'kunci' yang kau berikan. Ini adalah jalan yang berbeda, tapi aku percaya ini akan membawaku pada jejak yang lebih indah.

Aku meletakkan pena, merasa sedikit lebih damai. Aku tahu, ini bukanlah akhir dari dukaku. Namun, ini adalah awal dari babak baru.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mengambil langkah nyata untuk 'galaksi' baruku. Aku pergi ke perpustakaan sekolah, mencari buku-buku tentang menulis kreatif, tentang berbagai genre, tentang cara mengembangkan 'suara' penulis. Aku juga mencari tahu lebih banyak tentang program Penulisan Kreatif di Central Washington University.

Aku bertemu Bu Arini di koridor. Ia tersenyum padaku. "Lily, saya senang kamu sudah mulai melihat opsi lain. Itu menunjukkan kekuatanmu. Harvard hanyalah satu jalan. Banyak penulis hebat menemukan jalan mereka sendiri."

"Saya hanya mencoba mengambil langkah berani, Bu," jawabku.

"Itu bagus, Nak. Hidup memang penuh dengan pintu yang tak terduga," katanya. "Yang penting, kamu berani melangkah masuk. Dan saya yakin, kamu akan bersinar di mana pun kamu berada."

Beberapa minggu berikutnya, hidupku mulai menemukan ritmenya kembali. Aku menghabiskan lebih banyak waktu dengan Maya dan Mayadi. Maya, dengan kehadirannya yang suportif, membantuku merasa tidak terlalu sendirian. Ia sering mengajakku keluar, sekadar berjalan-jalan, atau menonton film, mencoba mengembalikan sedikit keceriaan dalam hidupku.

"Kamu harus coba, Lil," kata Maya suatu sore, saat kami di pusat perbelanjaan. "Nggak ada salahnya mencoba hal baru. Adit pasti ingin kamu bahagia. Dia kan selalu bilang, 'hidup itu harus dinikmati, bukan cuma direncanakan'."

Aku mengangguk. "Aku tahu."

Mayadi, dengan caranya yang unik, juga membantuku. Ia sering mampir ke rumahku, membawa gitar, dan kami menghabiskan sore di kamarku, ia memainkan melodi lagu "Jejak", sementara aku mencoba menyempurnakan liriknya. Lirik itu kini terasa seperti cerminan dari perjalananku sendiri, bukan lagi hanya kenangan tentang Adit.

"Ini udah lumayan, Lil," Mayadi berkata suatu kali, setelah kami selesai berlatih. "Adit pasti bangga banget sama lirik ini. Ada jiwanya. Ada... 'jejak' kalian di sana."

"Ada jiwa dari kita semua di sana," jawabku. "Jiwa Adit, jiwaku, dan juga jiwamu, Mayadi. Kamu kan yang bikin melodinya hidup."

Mayadi tersenyum tipis, sorot matanya yang gelap menunjukkan pemahaman. "Kita ini kayak konstelasi baru, Lil. Nggak sempurna, tapi bersinar dengan caranya sendiri. Kita berdua itu kayak dua bintang yang berdekatan, saling menguatkan. Adit itu seperti inti galaksi, dan kita adalah cahaya yang mengitarinya, sekarang kita juga bisa bersinar sendiri."

Kata "konstelasi baru" itu menghangatkan hatiku. Aku tahu, ini adalah bagian dari 'Galaksi' yang Adit ingin aku bangun. Aku tidak lagi sendiri. Aku punya Maya. Aku punya Mayadi. Mereka adalah bintang-bintang baru di 'Galaksiku'.

Namun, di tengah semua ini, aku juga menghadapi tantangan baru yang tidak bisa lagi kuabaikan. Beberapa teman lama Adit, yang juga dikenal Mayadi, mulai menunjukkan sikap yang semakin tidak menyenangkan. Terutama, Yessi dan Michael, sepasang kekasih yang dulu sangat dekat dengan Adit, dan bagian dari lingkaran pertemanan yang kini terasa asing bagiku. Mereka sering melirikku dengan tatapan sinis, atau berbisik-bisik yang terlalu keras saat aku lewat, seolah sengaja ingin kudengar. Aku tahu mereka menyalahkanku karena tidak datang ke pemakaman Adit. Mereka mungkin menganggapku dingin dan tak berperasaan, seolah aku sudah melupakan Adit.

Suatu siang, saat aku sedang berjalan di koridor yang sepi menuju perpustakaan, Yessi dan Michael tiba-tiba muncul dari balik sudut, memblokir jalanku. Wajah Yessi terlihat kaku, matanya tajam, memancarkan kemarahan yang tertahan.

"Hai, Lily," sapanya, suaranya dingin, menusuk. "Tumben, sudah berani menampakkan diri lagi? Kami pikir kamu sudah pindah planet dan lupa daratan."

Michael, yang berdiri di sampingnya, menyeringai sinis. "Ya, kami dengar kamu terlalu sibuk 'berduka' di rumah. Sampai lupa pemakaman temanmu sendiri. Atau... tunanganmu?" Ada penekanan sarkas pada kata 'tunangan'.

Dadaku sesak. Rasa marah membanjiriku. Mereka tidak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu tentang komunikasi rahasia kami. Mereka tidak tahu tentang perjuanganku, tentang bagaimana setiap hari adalah pertempuran untuk menjaga kewarasanku.

"Kalian tidak tahu apa-apa," kataku, suaraku sedikit bergetar, namun penuh ketegasan. "Kalian tidak tahu apa yang kurasakan."

Yessi mendengus, mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Oh ya? Apa yang terjadi? Kamu pikir kamu satu-satunya yang kehilangan Adit? Kami semua juga kehilangan dia. Dan kami hadir di sana. Kami mengucapkan selamat tinggal. Kamu tidak. Kamu lari. Kamu bersembunyi seperti pengecut."

"Aku tidak bisa!" teriakku, tidak bisa menahan emosiku yang memuncak. Air mata mulai menggenang, mengaburkan pandanganku. "Kalian tidak tahu apa yang terjadi!"

Michael tertawa sinis, suaranya tajam seperti belati. "Apa yang terjadi? Kamu terlalu egois untuk datang? Kamu terlalu sibuk memikirkan diri sendiri dan Harvard-mu yang tidak akan pernah menerima gadis sepertimu? Sekarang kamu ditolak, kan? Merasa jadi pecundang?"

Kata-kata itu menghantamku seperti pukulan. Penolakan Harvard. Rasa sakit itu kembali. Rasa bersalah karena tidak hadir di pemakaman Adit kembali mencengkeramku. Aku teringat malam kecelakaan Adit, bagaimana aku tidak mengangkat teleponnya, bagaimana aku tidak ada di sana. Semua kesalahan itu kembali menghantuiku.

Aku terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Yessi dan Michael berputar-putar di benakku, dipenuhi amarah dan penghakiman. Aku merasa rapuh, sendirian, kembali ke titik nol, seolah semua kemajuan yang kurasakan sia-sia.

Tiba-tiba, sebuah suara tegas memecah ketegangan, menembus dinding penghakiman mereka.

"Cukup!"

Aku menoleh. Mayadi berdiri di sampingku, wajahnya menunjukkan amarah yang jarang kulihat, matanya berkilat tajam. Maya juga ada di belakangnya, napasnya terengah-engah, menatap Yessi dan Michael dengan sorot mata tak percaya.

"Kalian tidak tahu apa yang kalian bicarakan," kata Mayadi, suaranya rendah dan penuh ancaman, sebuah peringatan yang tidak bisa diabaikan. "Kalian tidak berhak menghakimi Lily. Kalian tidak tahu apa yang dia lalui."

"Oh ya? Apa yang dia lalui? Drama ratu? Drama cengeng karena ditolak Harvard?" Yessi mendengus, berusaha mengejek.

"Dia berduka! Dengan caranya sendiri!" teriak Mayadi, suaranya meninggi. "Dan kalian tidak tahu apa yang Adit inginkan! Dia tidak akan suka melihat kalian begini!"

Michael tertawa sinis, menyeringai. "Adit? Dia bahkan tidak ada di sini untuk membela dirinya sendiri. Kalian semua cuma bersembunyi di balik namanya. Dia sudah mati, kalian juga harus mati."

Mata Mayadi berkilat marah. Ia maju selangkah. "Adit akan sangat kecewa melihat kalian bertindak seperti ini! Dia tidak pernah suka drama! Dia ingin kita semua... melangkah maju! Bukan terjebak di masa lalu dengan kebencian!"

Aku menatap Mayadi, lalu Maya. Mereka di sini. Membelaku. Melindungiku. Mereka adalah 'konstelasi'ku. Sebuah 'galaksi' yang perlahan berkumpul, melindungiku dari kegelapan. Aku merasa sedikit lebih kuat.

Aku menghela napas. Aku tahu, 'jejak' ini tidak akan mudah. Tapi aku tidak lagi sendiri. Aku punya mereka. Dan aku akan terus melangkah, bahkan jika ada yang mencoba menarikku kembali ke masa lalu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • itsbooo

    😭😭😭😭

    Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"
  • lizuyy

    Brooo ide nya fresh bangettt, sumpil sumpill bedaaa..
    pliss ngeship lily dan siapa yak?

Similar Tags
Resonantia
426      351     0     
Horror
Empat anak yang ‘terbuang’ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
ONE SIDED LOVE
1536      681     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
Samantha
488      353     0     
Short Story
Sesosok perempuan bernama Samantha yang terlalu percaya atas apa yang telah dia lihat di parkiran sekolah, membuatnya mengambil keputusaan untuk menjauhi sosok laki-laki yang dia cintai.
Throwback Thursday - The Novel
16632      2516     11     
Romance
Kenangan masa muda adalah sesuatu yang seharusnya menggembirakan, membuat darah menjadi merah karena cinta. Namun, tidak halnya untuk Katarina, seorang gadis yang darahnya menghitam sebelum sempat memerah. Masa lalu yang telah lama dikuburnya bangkit kembali, seakan merobek kain kafan dan menggelar mayatnya diatas tanah. Menghantuinya dan memporakporandakan hidupnya yang telah tertata rapih.
Until The Last Second Before Your Death
480      342     4     
Short Story
“Nia, meskipun kau tidak mengatakannya, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Karena bagiku, meninggalkanmu hanya akan membuatku menyesal nantinya, dan aku tidak ingin membawa penyesalan itu hingga sepuluh tahun mendatang, bahkan hingga detik terakhir sebelum kematianku tiba.”
Anderpati Tresna
2664      1041     3     
Fantasy
Aku dan kamu apakah benar sudah ditakdirkan sedari dulu?
The Second Lady?
453      327     6     
Short Story
Tentang seorang gadis bernama Melani yang sangat bingung memilih mempertahankan persahabatannya dengan Jillian, ataukah mempertahankan hubungan terlarangnya dengan Lucas, tunangan Jillian?
HAMPA
421      293     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
NADI
6223      1713     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
Cinta Sebatas Doa
614      431     0     
Short Story
Fero sakit. Dia meminta Jeannita untuk tidak menemuinya lagi sejak itu. Sementara Jeannita justru menjadi pengecut untuk menemui laki-laki itu dan membiarkan seluruh sekolah mengisukan hubungan mereka tidak lagi sedekat dulu. Padahal tidak. Cukup tunggu saja apa yang mungkin dilakukan Jeannita untuk membuktikannya.