Di koridor yang sepi, suara langkah kaki bergema pelan. Keiza berdiri tak jauh dari pintu ruang bimbingan konseling, tubuhnya bersandar di dinding dingin, tangan mengepal di sisi rok sekolahnya. Saat pintu kayu itu akhirnya terbuka perlahan, sosok yang ditunggunya muncul—Radhina, dengan wajah murung dan mata yang seperti biasa, tajam seolah menyimpan kesal.
Keiza langsung menghampiri, menatap lekat wajah Radhina yang kelihatan lelah. “Dhi, kamu nggak apa-apa?” suaranya lirih, nyaris tertelan oleh desir angin dari jendela yang terbuka sedikit.
Radhina hanya mengangguk, meski sorot matanya masih tersisa amarah yang mungkin belum sempat terucapkan. Keiza tahu, Radhi terlalu keras menyimpan segalanya sendiri—terlalu sering menjauh dari kelas, terlalu banyak alasan yang tak pernah dijelaskan.
“Avissena khawatir sama kamu, Kak Andaru juga.”
“Gue nggak apa-apa, Ja.” Alis mata Radhina berkerut semakin dalam. “Cuma bolos aja,” ucap cewek itu semudah hembusan angin. Kakinya melangkah menuju kantin. Keiza menelan kekhawatiran yang menggumpal di tenggorokannya. Ia ingin merangkul, tapi tak tahu apakah Radhina akan menerimanya. Yang Keiza tahu, temannya itu sedang karam, dan tak seorang pun di sekolah ini yang benar-benar menyadarinya kecuali sedikit orang. Dan itu cukup membuat dadanya sesak.
oOo
Di hari yang lain, bel masuk sudah berbunyi tapi Keiza tak juga melihat batang hidung Radhina. Benar-benar, ini sudah yang lima kali dalam satu bulan cewek itu membolos atau datang terlambat. Keiza jadi teringat pertanyaan Avissena saat rapat persiapan pentas seni beberapa hari yang lalu. Radhina sama sekali tak cerita apa-apa pada mereka. Terutama sejak Keiza aktif menjadi ketua ekskul Jurnalistik. Intensitas kebersamaan mereka berdua semakin sedikit.
Jangan-jangan Radhi merasa diabaikan? Tepat saat pikiran buruk menggerayangi benak Keiza, Radhi muncul dari ambang pintu kelas. Tak peduli tatapan penasaran anak-anak lain, Radhi berjalan ke kursinya yang masih bersebelahan dengan Keiza. Lingkar matanya sedikit gelap seperti orang yang kurang tidur. Benar saja, begitu sampai di kursinya, Radhina langsung merebahkan kepala di meja.
“Dhi, lo abis darimana?” Rere muncul dari kursi belakang dan bertanya.
“Ruang BK,” jawab Radhi dengan suara kecil.
“Lagi?!” Rere mengerutkan alis, membayangkan berapa banyak catatan Bu Sulastri di Buku Kedisiplinan Radhina sekarang.
“Dhi, sebenernya kenapa sih lo sekarang suka telat?” Abella ikut nimbrung.
Keiza juga ikut menyimak, jelas menuntut jawaban, merasa kesal. Entah kenapa ia merasa kecolongan akan sesuatu.
“Udah deh kalian jangan berisik, gue udah banyak diceramahin tadi. Lo diem dulu, please.” Radhina menggusah Abella dan Rere. Keiza mengigit bibir. Ingin memuntahkan pertanyaan-pertanyaan kenapa kedisiplinan Radhina menurun drastis sejak masuk tahun kedua. Namun Keiza menahannya. Sebagai gantinya ia berkata dengan nada yang diusahakan tak menyayat lawan bicara.
“Bentar lagi jam pelajaran Bu Suci, kamu jangan tidur, Dhi.”
Radhina mendengkus, bangkit dari kursinya dengan kasar.
“Dhi, lo mau kemana?” Refleks Rere bertanya.
“UKS!” Tukas Radhi, bahkan tak sedikitpun memandang Keiza, Rere dan Abella. Membuat cewek berjilbab itu menjadi lebih sebal.
“Radhi kenapa, ya?” tanya Abella prihatin.
“Gila Ja, lo tahan temenan sama dia selama ini?” Ucapan Rere ini membuat dahi Keiza berkerut ke atas. “Saran gue mendingan lo ganti temen duduk deh, Ja.” Sambung Rere.
“Kenapa?” kerutan di dahi Keiza pindah ke pangkal hidung. Meskipun ia kesal pada tigkah Radhina, ia juga tak bisa langsung menerima saran dari Rere.
“Yaa, kalo nggak lo bisa keseret banyak masalah, Ja!”
Keiza diam saja. Saking kesalnya ia sampai tidak mampu berkata-kata. Jadi ia bersyukur ketika seseorang bernama Nita datang ke ambang pintu kelas. Memanggilnya untuk berkoordinasi perihal ekstrakurikuler Jurnalistik.
“Keiza! Nanti kita jadi ngumpul?” Nita, cewek dari jurusan Administrasi Perkantoran yang memakai jilbab juga. Hanya berbeda model saja. Kalau Keiza suka menyampirkan satu ujung jilbabnya ke pundak, sementara Nita mengenakan jilbab yang lebih panjang, menutup tidak hanya bagian kepala tetapi juga dada dan pinggang.
Keiza mengangguk, bangkit untuk menghampiri Nita yang berada di ambang pintu kelas.
“Ini laporan duit kas buat bulan kemarin.” Nita menyerahkan buku kas sementara Keiza menjulurkan tangan untuk menerimanya.
Ini sudah mendekati tanggal deadline cetak buletin sekolah, sekaligus persiapan rapat pertanggung jawaban antar ekstrakurikuler—yang disebut Avissena sebagai rapat pleno. Tepat setelah pentas seni terselenggara, rapat pleno semester antar ekskul dimulai.
“Inventaris mading udah menipis. Tapi aku udah ngumpulin bahan untuk buletin edisi 14, kok. Semua anggota juga udah setor artikel dan isi rubrik. Tinggal editing aja. Untuk konfirmasi ke percetakan, jadi kamu kan ya, Za?”
“Iya, udah kok, kita tinggal kasih draftnya aja. Untuk inventaris juga udah bisa dibeli hari ini, anggarannya turun. List belanjanya udah siap?”
Nita mencari-cari sesuatu dari map bening yang sedari tadi ia bawa. Sadar kertas yang ia cari tidak ada, Nita menghela nafas panjang.
“Ketinggalan di meja aku Za, kuambil dulu.”
Keiza mencegat Nita yang hendak kembali ke kelas, “Nggak apa-apa, Nita, nanti aja. Kamu masih ada pelajaran kan, habis ini?”
“Iya. Mm, tapi… maaf Za, kayaknya aku nggak bisa pergi nemenin kamu buat belanja deh…” Nita menggigit bibir. “Ada pengajian bulanan di rumah.”
“Nggak apa-apa, insyaAllah aku yang jalan.”
“Beneran?” mata Nita seketika berbinar melihat Keiza. “Makasih Za, kamu emang Ketua terbaik!” Nita menepuk-nepuk lengan Keiza. Setelahnya Nita pamit pergi, menuju ke kesibukan di kelasnya sendiri.
oOo
Keiza melihat jam di ponsel pintarnya. Ujung alis matanya mengerut ketika melihat angka lima di muka layarnya. Sekali lagi Keiza mencondongkan tubuh, melihat ke ujung jalan sembari menghembuskan nafas pelan. Ia kini berada di halte depan sekolah. Niat hati mengajak Radhina untuk menemaninya belanja inventaris ekskul. Namun akhirnya gagal karena ternyata temannya itu sudah pulang duluan. Iya sih, Keiza tak punya hak menyuruh Radhina menunggu. Hari ini ada jadwal pertemuan ekskul dan Keiza juga sedang diserahi tanggung jawab untuk belanja. Jadi apa daya, begitu kembali ke kelas Radhina sudah tidak ada, dicari ke halte ia juga raib. Keiza mencoba mengerti, bagaimanapun, mereka sudah tidak satu ekskul.
Keiza membuka akun milik Radhina di Instagram. Memperhatikan update story temannya itu beberapa jam yang lalu. Hanya berupa foto jalan raya di malam hari dengan latar gedung-gedung tinggi. Lalu Keiza masuk ke dalam feed Instagram, memperhatikan apa saja yang diposting Radhina secara permanen. Temannya itu tak banyak mengunggah foto. Hanya ada tiga foto berupa grid pemandangan kota Jakarta di malam hari. Dan masing-masing foto hanya disertai keterangan titik dan hastag #thoughtsat3am.
Keiza menghela nafas. Padahal ia ingin sekali mengobrol dengan Radhina seperti dulu. Bertanya apa yang terjadi akhir-akhir padanya akhir-akhir ini. Kenapa ia sering telat dan sering terlihat lelah. Berusaha meluangkan waktu yang, padahal kalau dipikir-pikir, Keiza jauh lebih sibuk. Ia menyandarkan bahunya pada punggung bangku halte. Tiba-tiba ada seseorang duduk di samping Keiza. Cara duduknya yang mendadak membuat cewek itu terlonjak kaget.
“Astaghfirullah!” pekik Keiza sambil memegangi jantungnya yang serasa mau melompat. Hampir setahun kenal Andaru, Keiza mulai paham kalau di satu titik cowok ini bisa sangat iseng.
“Habis lengser jabatan kayaknya Kakak makin sinting ya?” Keiza tak tahan untuk menjulid, kini ia sudah tidak takut pada Andaru. Pasca pertemuan dengan Rakesha beberapa bulan yang lalu, entah kenapa Keiza bisa melihat kalau Andaru juga manusia. Bukan monster serba tahu yang mengendalikan OSIS Teruna Angkasa sesuka hatinya.
“Habis naik jabatan kayaknya kamu makin kurang ajar sama kakak kelas, ya. Mau dijemur lagi di lapangan?”
Keiza tersenyum miris mengingat masa lalu, kemudian gadis itu menggeleng. Tak mau terjebak dengan drama senioritas lagi.
“Kamu nggak bareng Radhi?” tanya Andaru kemduian. Mendadak Keiza jadi kesal. Kenapa sih dia harus berteman dengan orang-orang yang selalu menanyakan tentang Radhi? Oke, mereka peduli, jadi, bukankah Radhina juga terlalu sombong kalau mengabaikan semua rasa peduli itu?!
“Nggak,” jawab Keiza pendek, melengos, melihat ke arah berlawanan dari tempat Andaru duduk.
“Oh, mulai dititik bosen dalam pertemanan nih, ceritanya?” Andaru mengeluarkan permen lolipop dari kantong celana kemudian membuka dan memasukkannya ke dalam mulut. Ia mengambil satu lagi untuk ditawarkan kepada Keiza, tetapi cewek itu menolak.
“Bukan saya kali, Kak yang bosen, tapi dia.” Jawab Keiza masih dengan nada ketus. Kemudian sebuah motor bebek hitam berlist hijau datang dari arah gerbang sekolah. Cowok berseragam Teruna Angkasa membuka helm fullface-nya, Keiza menyadari cowok itu adalah Avissena. Satu lagi orang yang akan bertanya tentang Radhina.
“Kalau kalian dateng buat tanya tentang Radhi mending kalian pulang aja, deh.” Pangkal alis mata Keiza mengerut semakin dalam.
Andaru masih terdiam menikmati permen lolipopnya. Kini mengambil posisi santai, melipat tangan dan menumpukan kaki kanan ke atas kaki kiri. Mungkin baginya bangku halte sama nyamannya seperti bangku di ruang OSIS ketika ia menjabat dulu. Avissena sendiri meminggirkan motornya, setelah memasang standar satu ia turun dan mendekat pada Keiza dan Andaru. Tak bicara apa-apa, hanya bersandar pada tiang listrik sembari memasukkan dua telapak tangan ke saku celana.
Detik demi detik terlewat. Lama-lama Keiza jadi risih sendiri. Terutama ketika dipergoki siswa-siswi Teruna Angkasa yang baru saja keluar dari gerbang sekolah. Formasi Avissena dan Andaru yang mengapit Keiza jelas menjadi perhatian.
“Kalian ngapain sih? Diem aja ngapit saya begini!?” Keiza melihat bergantian pada Avissena dan Andaru dengan pandangan sebal. Kenapa saudara sepupu ini bisa kompak kalau soal mengerjai orang lain?! Keluh Keiza dalam hati.
“Nasehat nomer satu, kalo cewek lagi marah, mending diem dengerin.” Avissena memberi penjelasan.
“Nasehat dari siapa?”
Avissena menunjuk Andaru dengan dagu. Keiza jadi ikut memandang ganas Andaru yang masih tenang dengan lolipopnya. Keiza gemas. Sejak awal masuk Teruna Angkasa ia sudah terjebak dalam lingkaran pertemanan konyol ini. Baiklah, toh Keiza juga benar-benar khawatir tentang Radhina.
“Aku udah coba tanya ke Radhina, dia kenapa, tapi dia nggak jawab sama sekali!” Keiza menjelaskan dengan nada putus asa.
Tanpa diduga Andaru dan Avissena mengulurkan tangan, Avissena yang posisinya lebih tinggi menepuk-nepuk puncak kepala Keiza walau tak sampai menyentuh kepala, hanya sebatas mengambang di udara saja. Sementara Andaru mengacungkan ibu jari tepat di depan wajah Keiza. Gerakan itu cukup cepat sehingga gadis tak bisa menghindar.
“Ini kemungkinan ada hubungannya sama Rakesha.” Andaru melempar asumsi yang membuat ekspresi Avissena tiba-tiba mengeras.
“Ja, kamu ketemu sama Rakesha?” Ia mengambil posisi berhadap-hadapan, agak berjongkok agar bisa sejajar dengan Keiza. Cewek itu kini bisa merasakan ada amarah dalam tatapan mata Avissena. Karena Keiza tak menjawab, Avissena menganggap itu adalah ‘iya’.
“Sejak kapan?”
“Udah agak lama… beberapa bulan yang lalu.” Keiza bergantian menatap Andaru dan Avis yang mendadak berwajah seolah mendapat masalah serius. “Ada apa? Bukannya itu abangnya Radhi?”
“Bukan.” Tukas Avissena sembari kembali berdiri. “Dia itu ibarat bug di sistem.”
Ganti Keiza yang memasang wajah kaget. “Maksudnya? Rakesha bukan abangnya?”
“Abang kandung, kok.” Andaru menyela. “Rakesha itu abang kandung Radhi yang dibawa Tante Lia waktu cerai sama Om Rangga.” Andaru berusaha menjelaskan pelan-pelan, menyebutkan nama kedua orang tua Radhina.
Mata Keiza kembali menangkap Avissena, “Terus? Kenapa kamu jahat banget bilang dia bu—"
“Karena gaya hidup Rakesha jauh sama kita, Ja.” Avissena kelihatan frustasi. “Dia bukan jenis orang yang gampang kita hadapi.”
Andaru kembali menjelaskan, “sembilan puluh persen hidup Rakesha itu mencari kesenangan, Za. Dia punya hobi yang nggak sanggup kami ikuti. Balapan?” Andaru memberi senyum sinis saat ia menjeda cerita. “We love racing, we do. Tapi Rakesha beda. Dia tipe yang nggak keberatan kehilangan nyawa untuk hobinya itu.”
oOo