Hari itu, pertemuan Radhina, Rakesha, Andaru diakhiri dengan hening. Keiza pulang diantar mobil Andaru—tentu dia punya mobil, terparkir di area khusus valet. Namun Keiza tak punya waktu untuk merasa kagum. Dirinya hanya bisa berdiam diri duduk di kursi penumpang. Radhina juga sama, duduk di area belakang, di samping Keiza. Membiarkan Andaru menyetir sendirian. Dalam situasi itu, tak ada yang namanya kurang ajar. Andaru bukan lagi Ketua OSIS, melainkan seorang teman yang berusaha menjaga temannya.
Keiza sampai di rumah sebelum jarum jam menunjuk angka delapan. Keiza tak membiarkan Andaru ataupun Radhina turun dari mobil. Cewek itu ingin menjelaskan hal ini pada orang tuanya sendiri. Ia tak ingin membuat masalah kian besar. Ayah sudah menunggu, Ibunda juga sudah pulang.
Saat memasuki rumah, langkahnya ringan, tapi degup jantungnya berat. Ia tahu ibunya tak suka kalau ia pulang malam, apalagi kalau tahu siapa yang mengajaknya keluar. Ibu Keiza, bernama Rika, sedang duduk di ruang tamu dengan wajah kaku. Remote televisi di tangannya diam tak bergerak, dan mata tajamnya langsung mengarah pada Keiza yang baru masuk. Ayahnya sendiri tak ada, mungkin berdiam di kamar, seperti Kiara di dalam kamarnya. Keduanya lebih suka menjauh saat menyadari suasana hati Rika sedang buruk.
Hening beberapa detik terasa seperti ribuan detik menekan udara di ruangan itu.
“Kak, kamu baru pulang? Kamu lihat jam berapa sekarang?”
Keiza menunduk sedikit, “Jam delapan, Bun… Maaf, tadi kejebak macet di jalan pulang dari mall…”
“Mall? Sama siapa lagi? Jangan bilang sama Radhina itu!”
“Iya, Bun.” Jawab Keiza pelan, pelan dan meski takut tetap berusaha jujur.
Rika mengecilkan suara TV dengan kasar, “Radhina lagi? Itu anak yang bikin kamu masuk ruang BK, kan?!”
Keiza sedikit mengangguk, walau sudah berusaha dirahasiakan, Rika tetap tahu apa yang Keiza lakukan.
“Iya, Bun. Tapi dia baik, kok. Kita cuma makan dan lihat-lihat toko.”
“Kamu tuh nggak ngerti, Kak! Bunda nggak suka kamu dekat-dekat sama anak seperti dia. Bunda bukan mau jahat, tapi Bunda tahu anak suka main begitu, tukang bikin onar, pasti keluarganya juga nggak baik-baik aja!”
Keiza tertohok, mata mulai berkaca-kaca. Ibundanya benar. Hari ini Keiza tahu hal lain tentang Radhina. Betapa kacau keluarganya. Hanya saja… Keiza tahu kalau Radhina sebenarnya anak yang baik. Keiza ingin menghargai Radhi sebagai anak perempuan pertama yang menyapanya ketika pertama kali masuk Teruna Angkasa. Dan kata-kata ibundanya barusan berhasil mengiris keinginan itu, menyisakan rasa perih. Keiza mengerjap, berusaha menahan tangisnya.
“Radhina itu baik, Bun. Dia cuma ngajak aku main.”
Rika menatap tajam, “justru itu yang bikin Ibu makin khawatir. Kamu kebanyakan main, inget Kak, kamu punya tanggung jawab nilai! Kalau bukan karena beasiswamu, mana mampu Bunda dan Ayahmu itu, bayar sekolahmu!”
Keiza menahan air matanya. Ia masih berdiri tegak, meski air mata nyaris jatuh. Ia tahu, memperjuangkan temannya bukan hal mudah, apalagi di hadapan ibunya sendiri. Namun jika ibunya sudah menyentuh tentang tanggung jawab, Keiza merasa seperti sesuatu yang berat menekannya di pundak. Bukan hanya pundak, tapi juga hatinya. Keiza tahu, jika tentang ekonomi, keluarganya tak seberuntung Radhina. Namun yang ibundanya tidak tahu, Radhina juga punya masalahnya sendiri.
“Inget, Kak. Temanmu itu, mau bikin onar seperti apa tetap mampu bayar uang sekolah. Dia beda dengan kita, Kak.” Bu Rika terdiam sejenak. Sorot matanya masih keras, tapi ada getar ragu yang mulai muncul melihat putrinya hanya terdiam sembari menggigit bibir.
“Sudah. Kamu bersih-bersih sana, belajar. Kerjakan PR-mu, besok masih hari sekolah.” Kalimat itu menutup suasana tegang malam itu. Keiza beranjak dari ruang tamu menuju kamarnya dan Kiara. Begitu sampai, ia tak mampu menahan tangis. Keiza tentu menumpahkanya, membiarkan adiknya menjadi saksi betapa hari itu sangat membuat Keiza lelah.
oOo
Kemudian semua berdatangan layaknya angin topan. Baik tugas sekolah maupun tugas ekstrakurikuler datang menerjang. Menjadi aba-aba bagi para murid untuk bersiap naik kelas. Keiza dan Radhina tak sempat bicara tentang apa yang terjadi. Sedikit yang Keiza tahu, Radhina menyempatkan diri untuk bertemu dengan kakaknya sekali dalam sepekan. Andaru menepati janjinya untuk tak ikut campur soal Radhina-Rakesha.
Bila Radhina ditanya oleh Keiza tentang Rakesha, gadis itu hanya menjawab, “dia baik, namanya juga sodara, butuh buat cerita. Kayak lo sama Kiara aja.” Selebihnya, Radhina bungkam.
Keiza sendiri kembali berusaha memenuhi harapan Ibundanya, fokus untuk belajar. Saking fokusnya, ia tak punya waktu untuk bertanya lebih jauh tentang Radhina yang mulai jarang berkunjung ke rumah. Malah dalam hati Keiza cukup merasa aman. Dengan begini, ibundanya tak akan bicara yang aneh-aneh lagi tentang Radhi.
Hari-hari berjalan seperti lembaran kalender tercabut dari kawat spiralnya. Sangat cepat dan halus. Sehalus hembusan angin yang tiba-tiba mengganti musim. Menjelang paruh akhir semester dua, akhirnya Radhina resmi keluar dari ekskul jurnalistik. Ia memutuskan untuk ikut ekstrakurikuler pencinta alam yang kegiatannya tak terlalu sering dilakukan.
Keputusan itu sangat random, Keiza keberatan tetapi ia tahu bagaimana kerasnya Radhina. Niat hati ingin membujuk temannya kembali, tapi Keiza justru dilantik menjadi Ketua Ekskul jurnalistik. Tugasnya semakin banyak dan menumpuk.
“Kak, aku ini murid beasiswa.” Keiza kini protes pada Yulia, mantan Ketua Ekskul yang saat ini sudah jadi siswi tahun ketiga Teruna Angkasa.
“Come on, Ja. Aku tahu kamu lebih dari itu. Kamu cukup ngelakuin hal yang sama kayak tahun lalu,” Yulia menyemangati. Sebetulnya Keiza sudah tahu kalau dirinya masuk kaderisasi, hanya saja penunjukkan tanpa voting ini membuat jiwa demokrasinya memberontak.
“Tapi, Kak—”
“Ja, percaya sama aku, kamu ini extraordinary! Terus, kamu sendiri tahu, kan! Ketua Ekskul di Teruna Angkasa itu, potensi dapat rekomendasi beasiswa ke banyak Universitas juga?” Iming-iming itu tentu berhasil membuat Keiza setuju. Tanpa basa-basi cewek itu langsung dilibatkan ke banyak program. Salah satunya adalah Pentas Seni yang akan diadakan di bulan November nanti.
oOo
Sekarang, Keiza sedang diajak rapat untuk kegiatan itu di aula besar sekolah. Acara besar yang ditunggu-tunggu para siswa-siswi Teruna Angkasa. Dua hari unjuk karya dan unjuk gigi, saat yang tepat untuk mengekspresikan diri. Sayangnya, Keiza tak bisa terlalu fokus pada rapat itu karena ada seorang cowok yang terus mengajaknya bicara tentang topik lain.
“Ini udah yang keempat kalinya Radhi bolos sejak kita jadi anak kelas dua,” Avissena berkata pelan sembari bersandar pada punggung kursi. “Coba kamu pikirin kira-kira apa yang bikin Radhi bisa kayak gitu.” Berteman sekian lama, kini Avissena memakai gaya bicara Keiza yang lebih suka pakai kata panggil aku-kamu.
“Hm, ada banyak kemungkinan, tapi gimana kalo sekarang kita fokus rapat aja.” Keiza berbisik, ikut bersandar pada punggung kursi. Sebagai sesama ketua ekskul, keduanya jelas harus terlibat dalam kepanitiaan kegiatan Pentas Seni Teruna Angkasa ke dua puluh lima. Mereka duduk bersebelahan dan mendengar saran Keiza, Avissena justru semakin merapat ke sisi Keiza, membuat gadis itu risih setengah mati. Jarak mereka cukup dekat sampai-sampai kalau Avissena bergerak sedikit, bahu mereka pasti bersentuhan.
“Jauhan dikit, kamu nggak lihat Tiara udah melototin kita kayak gitu.” Bisik Keiza, nadanya bingung antara kesal dan ngeri. Mata Keiza tetap melihat ke papan tulis tempat Gibran si Ketua Pelaksana, memaparkan rencana sekolah untuk pensi. Namun, lewat sudut mata, Keiza bisa merasakan tatapan tajam seseorang yang bernama Tiara. Gadis itu duduk beberapa meter di samping mereka. Keiza bisa merasakan kalau sedari awal masuk ruang rapat, sepasang mata Tiara selalu tertuju pada Avissena.
“Tiara?” Avissena mengedarkan pandangan, mencari sosok yang Keiza maksud.
“Jangan lihat, jangan lihat!” Desis Keiza panik. “Avis!—rrrrgh.” Bisik Keiza dengan suara tertahan, berusaha melarang cowok itu celingukan. Keiza gagal, Avissena, melihat sosok yang dimaksud Keiza lalu memberi senyum.
“Malah tebar pesona” Keluh Keiza, berbisik ketika sudut matanya yang seperti elang itu menangkap garis senyuman di pipi Avissena.
“Tahu darimana aku tebar pesona, mata kamu ngeliat papan tulis mulu,” Avissena protes.
“Argh! Aku bilang jauhan dikit,” desis Keiza dengan nada tak terima protes jenis apapun, ia menegakkan punggung. Avissena juga membetulkan posisi duduknya sambil berdehem.
“Jadi, Radhina nggak cerita apa—“ omongan Avis terpotong karena Gibran mengajak Keiza bicara.
“Lo bisa handle papan find your face, kan Ja?”
Keiza tersenyum tipis sembari memberikan kode acungan ibu jari. Sekedar informasi, find your face adalah papan yang berisi foto-foto dokumentasi Pentas Seni yang digagas oleh Ekstrakurikuler Fotografi featuring Ekstrakurikuler Jurnalistik. Para siswa bisa membeli foto hasil jepretan kedua ekskul dengan nominal sukarela. Hasil penjualan foto dokumentasi tersebut akan disumbangkan ke lembaga sosial yang bekerja sama dengan Teruna Angkasa.
“Udah ada rencana konsepnya gimana?” Gibran lanjut bertanya, membuat setiap kepala yang ada dalam ruangan menoleh pada Keiza, termasuk Avissena. Aduh! Karena baru saja dilantik, Keiza masih belum bicara lebih lanjut dengan Ketua Ekstrakurikuler yang lain. Gibran pasti tahu itu. Kalau boleh negative thinking, Keiza rasa cowok itu masih menyimpan dendam soal surat penolakan Abella dulu.
“As Swift as a Whisper,” Keiza menjawab sepelan hembusan angin.
“Ya?” Gibran seperti orang budek, mendekatkan telinganya ke arah Keiza.
“As Swift as a Whisper.” Keiza mengulang dengan suara lebih kencang. “Aku harap Ekskul Jurnalistik dan Ekskul Fotografi nggak hanya menangkap gambar random selama pentas seni aja, tapi juga momen-momen sejak kita berproses,” Keiza bisa melihat Digo, Ketua Ekskul Fotografi yang duduk di kursi depan, memutar badan supaya bisa menyimak Keiza lebih jelas.
“Seperti sekarang ini. Bagi aku, kita tahu-tahu udah rapat persiapan aja, waktu berjalan cepat banget. Kak Gibran juga udah kelas tiga, kan? Ini tahun terakhir Kak Gibran ada di Teruna Angkasa. Aku pengen mengabadikan semua momen kegiatan kita di Papan Find Your Face. Teknik yang dipakai bisa fokus ke macro, high speed, atau motion blur? Kalau kita bisa buat preset khusus kegiatan ini pasti lebih bagus.”
Semua orang terdiam mendengar penjelasan Keiza.
“W-wow.” Gibran akhirnya sadar kalau Keiza sebenarnya sudah berhenti bicara. “Good-good, gue setuju.” Cowok itu menyentuh ujung hidungnya kilat, rupanya agak terharu dengan konsep yang Keiza tawarkan.
“Terus gimana soal percetakan?” Gibran kemudian mengarahkan muka ke arah Digo.
“Gue nggak dapat harga yang cocok buat cetak nih, Gib.” Digo mengeluhkan anggaran. Tahun ini Eksktrakurikuler Desain Grafis juga berinisiatif mencetak karya mereka, agak memaksa Ketua OSIS yang baru mengalihkan anggaran cetak Ekskul Fotografi.
“Senin harga naik, bro. Subsidi dong, subsidi.” Digo membujuk dengan kelakar.
“Ck, gimana, bendahara?” Gibran menengok ke Bendahara kegiatan yang langsung memberikan tatapan mengenaskan, itu artinya tidak akan ada ACC.
“Hm, sebetulnya kami punya kenalan percetakan yang lumayan murah. Terakhir kami dapat 25% diskon waktu buat merchandise dan beli satu album foto.”
“Serius Ja?” Digo tampak kaget, malah sampai berdiri dari duduknya.
Keiza hanya bisa mesam-mesem, enggan menceritakan dibalik diskon itu ada perjuangannya menulis sebuah ulasan toko dan membantu membuat narasi video promosi untuk toko yang bersangkutan.
“Dengan ilmu lo bisa memenangkan banyak hal, men, termasuk diskon.” Avissena menimpuk ketua ekskul Fotografi dengan gumpalan kertas, menyuruh untuk duduk kembali.
“Pokoknya lo harus kasih tahu gue yang mana vendornya, Ja.” Kata Digo sebelum duduk.
“Oke-oke, gue percayain penuh soal dokumentasi sama kalian berdua ya!” Dan Gibran pun akhirnya memberi senyum puas, menyudahi sesi tanya-tanya itu. Ia kemudian beralih pada panitia yang lain. Sementara Avissena diam-diam melirik Keiza yang masih serius menatap whiteboard tempat Gibran menulis draft acara.
“Jadi gini cara kamu tebar pesona sama cowok,” katanya pelan.
Keiza melirik Avissena sekilas, “apa?” ia sama sekali tak menangkap apa yang Avissena katakan. Kadang Keiza merasa, Avissena bicara dengan bahasa lumba-lumba, yang bisa menangkap hanya yang satu frekuensi saja.
“Minta permen,” tandas Avissena dengan frekuensi suara manusia.
“Nih,” Keiza memberikan cowok itu permen kopi.
“Thanks.” Avissena menerimanya sembari berpikir. “Hmm… menurut kamu supaya pentas seni ini lebih bagus harus ditambahin apa lagi?” tanya cowok itu sambil membuka permen dan memasukkannya ke dalam mulut. Keiza mengerling sekilas pada Avissena, sepertinya cowok itu nggak berniat berhenti mengajak Keiza ngobrol. Tumben, tak biasanya Avissena cerewet begini.
“Mungkin kembang api kali ya, yang kayak di festival-festival Jepang gitu. Aku suka lihat kembang api saat penutupan acara.”
“Nggak coba ajuin ke Gibran?”
Keiza mengehela nafas sembari memutar matanya ke atas, “perihal percetakan aja anggaran kita kurang, Vis.” Ia menyayangkan.
“Betul,” Avissena menyetujui sambil terkekeh.
Kemudian perhatian keduanya teralih karena ponsel pintar Avissena bergetar di saku celana. Cowok itu lantas mengambilnya dan membuka kunci layar. Pangkal hidungnya berkerut seketika membaca pesan yang muncul di muka ponselnya.
“Kenapa?” Keiza yang menyadari perubahan raut wajah itu tentu tergoda untuk bertanya.
“Radhi masuk ruang BK lagi.”
oOo