“Lo gila, ya!” Kalimat pertama yang dikatakan Radhina setelah mereka menjauh dari café terdengar kasar. Mau bagaimana? Amarahnya sangat memuncak. Sudah untung dia tak mengambil gelas minuman dan mengguyur Faradina Senjani. Meski begitu ia tetap butuh pelampiasan dan Rakesha adalah samsak berjalan.
“Kita udah lama nggak ketemu tapi lo malah narik perempuan itu!”
“Gue juga nggak tahu kenapa dia bisa ada di sini.” Rakesha mengacak rambutnya sembari berkacak pinggang. Ia juga merasa risih. Sedetik kemudian, ia mengalihkan pandangan pada teman Radhina yang mengenakan jilbab. Terpikir untuk mengalihkan topik supaya amarah adiknya ini agak mereda.
“Lo juga nggak bilang bakal bawa temen buat ketemu gue.”
Radhina ikut melihat Keiza, amarahnya menyusut ketika melihat wajah kebingungan temannya itu.
“Sorry… Ja,” rasa bersalah mulai terasa di hati Radhina.
“Eh, nggak apa-apa Dhi.” Keiza mengengok ke kanan dan ke kiri dengan cepat, mencari tempat untuk menunggu. “Em, aku duduk di sana aja kali, ya. Nggak apa-apa kalian ngobrol dulu aja,” katanya sembari menunjuk meja yang ada di foodcourt. Ia lalu berjalan memasuki area foodcourt. Radhina dan Rakesha mengikutinya, tetapi dua kakak beradik itu duduk di meja yang berbeda dengan Keiza. Rakesha memesan tiga minuman dingin. Kakak beradik itu memilih kopi gula aren dan Keiza hazelnut latte.
“Terima kasih,” Keiza menerima ninuman itu dengan gugup. Ia takut pada tatapan Rakesha yang kelihatan tak ramah, meski begitu Keiza mengapresiasi sikapnya yang mau mengantar minum. Rakesha kemudian duduk berhadapan dengan Radhina. Mereka berbicara, beberapa kali terlihat seperti berargumen. Sementara Keiza hanya bisa memperhatikan dari jauh sembari menyeruput minumannya sendiri.
oOo
Pertemuan itu selesai ketika waktu sore hampir habis. Keiza harus solat lima waktu, jadi begitu azan berkumandang ia pamit pada Radhina, hendak ke mushola. Ternyata, Radhina menyusul. Ia menghampiri Keiza yang baru saja keluar dari mushola mall dan memakai sepatu. Rakesha masih ada, ia memperhatikan dari jauh.
“Kamu udah selesai ngobrolnya sama… Kak Rakesha?”
“Santai aja, dia seumuran Andaru.”
“Aku manggil Kak Andaru juga pakai, Kak.” Keiza bangkit setelah sepatunya terpasang dengan benar. Radhina mendengkus. Sepertinya suasana hatinya saat ini masih buruk. Keiza juga merasakan ketidaknyamanan itu. Sedikit kesal karena harus terlibat dengan semua kerumitan ini. Tetapi ia juga tak bisa meninggalkan Radhina sendiri. Ada rasa peduli atau… kasihan?
“Gue pulang bareng Rakes ya, Ja.” Tandas Radhina. Keiza mengerutkan alis, sesuatu mulai menggumpal dalam dadanya, perasaan berat dan tak nyaman.
“Soalnya gue belom selesai ngobrol sama Rakes,” Radhina memberi alasan. “Gue udah pesenin lo ojek online, sebentar lagi sampe. Ayo kita ke lobi.”
Keiza ingin menjawab tapi entah kenapa dirinya lelah. Akhirnya ia cuma menghela nafas dan hendak mengikuti Radhina dan Rakesha menuju lobi depan mall. Namun langkah mereka terhenti karena Andaru muncul, rupanya laki-laki dari dalam mushola juga. Bedanya ia keluar dari sisi pintu yang lain.
“Lama nggak ketemu, Kes.” Ia menyapa Rakesha dengan dagu terangkat.
Langit sore yang berubah perlahan menjadi biru, angin pendingin ruangan dari arah pintu mall berembus lembut, menjadi latar pertemuan dua sosok cowok berdiri berhadapan—seperti dua kutub magnet yang dipaksa mendekat tapi justru siap saling tolak.
Rakesha memberi Andaru senyum sinis, “ada orang yang nggak membiarkan gue ketemu sama adik gue sendiri.”
Andaru, dengan kemeja biru dongker lengan digulung dan jam tangan digital di pergelangan kirinya, berdiri tegak. Raut wajahnya dingin, tapi terkendali. Napasnya stabil, tapi matanya menyimpan ketegangan. Ketua OSIS Teruna Angkasa betul-betul kelihatan seram saat matanya menangkap sosok yang sudah lama tidak ingin ia temui.
Rakesha dengan jaket kulit dan sepatu bootsnya. Rokok yang belum sempat dinyalakan terjepit di sela dua jari, dan tatapannya langsung mengunci ke Andaru seperti sedang mengukur kekuatan lawan. Rambutnya yang agak gondrong kini diikat setengah, memperlihatkan tindikan kecil di telinga kiri dan sorot mata yang terlalu lelah untuk usia remaja.
“Tapi yah, gue baik," ujar Rakesha, dengan senyum miring. Suaranya rendah, tenang, tapi mengandung sengatan. “Nggak nyangka ketemu Yang Mulia Ketua OSIS Teruna Angkasa di depan mushola kayak gini.”
Andaru tak membalas senyuman itu.
“Nggak nyangka lo juga bisa nunggu di tempat suci, bukan di parkiran belakang sambil ngebut.”
Keheningan menggantung sebentar. Lalu suara terdengar di antara ketegangan itu.
Radhina.
“Keiza mau pulang, oke!” Matanya langsung menangkap dua sosok cowok yang tak pernah ingin ia pertemukan—kakaknya yang keras kepala, dan kakak kelasnya yang terlalu peduli.
“Kalo kalian mau berantem, nanti-nanti aja.”
“Radhina pulang sama gue,” kata Rakesha, langsung.
“Siapa yang bakal jamin kalian akan langsung sampai rumah,” balas Andaru, tak mau kalah.
“Bukan urusan lo,” Rakesha mendesis.
Tatapan mereka beradu lagi. Kali ini lebih dalam. Bukan hanya soal adik perempuan. Tapi soal siapa yang lebih bisa dipercaya, lebih layak untuk berdiri di samping Radhina saat dunia terlalu bising. Dan Radhina? Hanya bisa berdiri di antara dua dunia—satu penuh aturan, satu penuh luka. Tapi dua-duanya sama-sama keras kepala. Sama-sama... ingin menjaga.
Keheningan itu terpecah dengan suara dering telepon, rupanya ponsel Keiza. Cewek berjilbab itu mengangkatnya dengan panik.
“Assalamu’alaikum, iya Ayah. Aku sebentar lagi pulang,” Keiza menjelaskan hati-hati. Mau tidak mau mata Radhina, Rakesha dan Andaru tertuju padanya. Keiza mengalihkan fokus matanya pada pot bunga di samping eskalator. Setelah berhasil meyakinkan Ayahnya lewat telepon, ia memutus telepon dan berkata mantap, “aku pulang dulu ya.”
Keiza sekarang tak peduli drama apa yang akan terjadi, satu hal yang pasti, ia harus pulang segera. Ayahnya punya aturan jam malam dan Keiza tak ingin melanggarnya. Setelah pamit, ia melangkahkan kaki dengan cepat.
“E-eh, Ja, ini ojek onlinenya!” Radhina mengejar temannya yang menuruni eskalator. Mereka berjalan bersisian, akhirnya melupakan keberadaan dua cowok yang bersitegang barusan. Dua cowok itu malah sekarang kompak mengekor di belakang mereka.
“Aah! Ojek onlinenya dicancel lagi, Ja!” Radhina yang baru mengecek kembali ponselnya baru menyadari kalau ada Bapak Driver yang ia abaikan.
“Nggak apa-apa, aku pesan sendiri.” Keiza mengeluarkan ponselnya ketika mereka sudah sampai lobi mall.
“Jangan, gue aja!”
“Keiza, pulang sama saya aja,” Andaru menawarkan, menatap Keiza dengan sorot khawatir. Entah kenapa Keiza tahu kalau rasa khawatir itu bukan untuknya. Keyakinannya benar ketika Andaru mengatakan kalimat selanjutnya, “lo juga, Dhi. Ayo pulang, ini udah malem. Ketemu Rakesha bisa di lain waktu.”
Mendengar itu Rakesha hendak maju, dorongan untuk memukul Andaru seperti tak tertahankan. Namun tentu saja Radhina menahannya.
“Jangan gila, Kes.” Radhina melotot pada kakaknya.
Keiza mulai merasa takut, seumur hidup ia tak pernah melihat laki-laki berantem. Adu mulut mungkin pernah beberapa kali, tapi kalau benar-benar saling pukul? Keiza mulai gemetar. Seketika pikiran-pikiran buruk muncul di kepalanya. Andaru pasti punya alasan melarang Radhina bertemu dengan Rakesha. Melihat bagaimana sikap cowok itu, perlahan Keiza bisa mengerti.
“Ayo kita pulang, Dhi,” ya, Keiza ingin mengeluarkan Radhi dari situasi ini juga.
Andaru akhirnya menghembuskan nafas, mengalah. “Kes, lo bisa ngobrol sama Radhina lagi. Gue nggak akan menghalangi, tapi kali ini, gue minta tolong, biarin mereka pulang dulu,” suaranya sarat dengan nada permohonan.
Ego Rakesha menang, sudut bibirnya menampilkan senyum. “Oke.” Cowok itu menyetujui, matanya yang tajam beralih pada Keiza, membuat cewek itu semakin menciut. “Lo anter temen lo dulu, Dhi. Kita bisa ngobrol nanti-nanti.”
oOo