Suara yang paling sering terdengar belakangan ini bukan lagi tawa, melainkan bentakan. Dan setelahnya, sunyi yang menggantung lama—seperti kabut yang enggan pergi.
**
Matahari sore masih menyisakan hangat samar saat aku tiba di rumah. Pintu belum sepenuhnya kubuka saat suara itu menghantamku: keras, pecah, seperti sesuatu yang baru saja hancur di lantai.
“Sudah cukup, Pa! Sampai kapan kamu mau begini terus?!” Suara Mama lirih, tapi pecah. Seperti sudah menahan terlalu lama.
“Aku juga capek dan sama hancurnya! Jangan seolah ini semua salahku!” Suara Papa membentak balik. Dentuman keras menyusul, mungkin meja didorong, atau kursi yang terjungkal.
Aku membeku di ambang pintu. Terdengar suara gelas pecah. Kemudian piring. Mama menjerit kecil. Tangisnya pecah seketika.
“Jangan dilempar-lempar! Udah cukup keluarga kita aja yang hancur, sekarang Papa mau ngancurin rumah ini juga!” Jawab Mama yang diiringi tagis yang makin pecah.
Langkahku pelan masuk ke dalam. Sepatuku masih belum kulepas. Lantai dipenuhi serpihan kaca. Ruang tengah berantakan. Karpet tergulung separuh, meja kecil terbalik, tirai jendela berkibar tak teratur. Aroma makanan gosong dari dapur tercampur bau debu dan ketegangan yang menggantung di udara.
Mama terduduk di sudut ruangan, tubuhnya bergetar. Air mata membasahi pipinya. Papa berdiri memunggungi, tangannya mengepal, napasnya memburu. Mereka tak menyadari aku di sana. Mungkin tak peduli.
Aku ingin bersuara. Tapi tenggorokanku tercekat. Suara tangisan Mama mengisi seluruh ruang. Kali ini bukan hanya isakan kecil yang coba disembunyikan. Tangisan itu nyaring. Terbuka. Lelah. Tangisan seorang perempuan yang kehabisan cara untuk mempertahankan segalanya. Dan Papa.., ia hanya menggeram pelan, lalu melangkah ke kamar dan membanting pintu. Dinding rumah bergetar.
Aku berdiri sendiri di ruang tengah yang hancur, dikelilingi serpihan gelas, tangis, dan sunyi yang tak pernah benar-benar hilang. Aku berjongkok pelan, memungut satu per satu pecahan kaca yang berserakan di lantai. Tanganku gemetar, bukan karena tajamnya serpihan itu, tapi karena dingin yang merayap dari dalam dada.
Mama masih menangis. Kadang isaknya terputus oleh tarikan napas panjang, seolah sedang berusaha mengumpulkan kembali keping-keping dirinya. Aku ingin mendekat. Tapi tak tahu harus bilang apa. Harus memeluk atau diam saja.
“Ma…” Suaraku kecil, nyaris tenggelam.
Ia menoleh, matanya sembab, wajahnya merah. Tapi begitu melihatku, ia buru-buru menyeka air mata dengan ujung lengan bajunya. “Nggak apa-apa, Nak,” katanya pelan, dengan suara yang bahkan lebih rapuh dari kaca-kaca yang pecah di sekeliling kami. “Mama cuma... capek.”
Aku tahu itu bohong. Tapi aku juga terlalu lelah untuk mempertanyakannya. Aku mengambil sapu dari dapur. Membersihkan semua pecahan itu sendirian. Tak ada satu pun yang membantuku malam itu. Tak Papa, tak Mama. Kami semua sibuk mengurus luka masing-masing.
Setelah lantai bersih dan semua perabotan yang antah-berantah kembali ke posisi semula, aku duduk di sofa. Televisi masih menyala tanpa suara. Di layar, sepasang tokoh dalam sinetron tengah tertawa, berpelukan, menciptakan kebahagiaan yang terasa jauh dari rumah ini. Mama masih di sudut ruangan, memeluk lututnya, seperti mencoba meringkuk dari dunia. Aku ingin menggenggam tangannya. Tapi ia memalingkan wajah, dan aku tahu, sore itu kami semua sedang saling menjauh.
Aku masuk ke kamar, menutup pintu pelan-pelan, seakan suara kecil pun bisa memecah ketegangan yang menggantung di seluruh rumah. Kamar ini satu-satunya tempat yang tersisa untukku. Tapi bahkan, di sini pun, aku tidak benar-benar merasa aman. Dinding tipis tak mampu membendung suara, tak mampu mengusir bayangan.
Aku duduk di tepi ranjang. Menatap meja belajar yang tak tersentuh sejak pagi. Buku-buku terbuka, tapi pikiranku tak mampu membaca satu huruf pun. Aku terlalu lelah untuk belajar, tapi juga terlalu resah untuk tidur.
Di luar, langit mulai menggelap tanpa bulan yang bersedia berbagi sinarnya. Hari meredup tanpa hidangan di meja. Waktu berlalu perlahan, seolah bingung ke mana harus membawa kami. Aku hanya bisa terpaku, rasanya seperti tinggal di bangunan tua yang setiap malam retaknya bertambah. Sedikit demi sedikit. Dan aku, terjepit di dalamnya, mendengar setiap bunyi patahan.
Aku ingin berteriak. Tapi kepada siapa? Aku ingin marah. Tapi tak tahu ke mana arah amarah itu harus pergi. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu, walaupun aku selalu hidup dalam bayangan. Tapi setidaknya, tidak sesakit ini.
Tiba-tiba, suara pintu dibanting keras dari arah ruang depan. Dentumannya memecah malam, setajam petir di langit mendung. Aku terlonjak. Sesaat kemudian, terdengar langkah kaki menuruni teras, disusul deru kendaraan yang melaju terlalu kencang untuk malam setenang ini.
Aku tahu itu Papa. Lagi-lagi pergi, meninggalkan semuanya tanpa sepatah kata. Aku menarik selimut hingga ke dagu, seolah itu cukup untuk menahan dunia luar agar tak menyentuhku. Begitu Papa pergi, suara ketukan pelan terdengar di pintu kamarku. Sekali. Dua kali. Lalu pintu terbuka perlahan. Mama melangkah masuk, ringan dan ragu, seakan takut menyentuh kesunyian yang telah lama menetap di rumah ini. Wajahnya tampak lelah; rambutnya kusut, dan matanya bengkak oleh tangis yang tak selesai.
Aku duduk, menyisakan tempat di ranjang. Mama duduk di tepinya, tak bicara apa-apa. Tangannya gemetar saat meraih tanganku. Lalu menggenggamnya erat. Terlalu erat. Aku ingin bertanya banyak hal. Tapi tak ada satu pun kalimat yang bisa keluar. Dan Mama... hanya menunduk.
“Maaf ya Nak. Mama sama Papa... cuma capek. Capek banget. Mungkin juga terlalu kecewa... terlalu lelah karena rasanya udah nggak ada harapan lagi.” ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan yang takut pecah.
Aku menahan napas. Mama menyandarkan kepala di bahuku. Dan untuk beberapa saat, kami hanya diam. Tapi ada sesuatu dalam diam itu. Sesuatu yang seperti beban. Lalu Mama berkata, tanpa menatapku, “Kamu anak baik, Nara. Selalu bisa diandalkan. Nanti kalau kamu kuliah... semoga semuanya lebih baik, ya.”
Kalimat itu terdengar biasa saja. Lembut. Ibu mana yang tak ingin anaknya punya masa depan? Tapi aku tahu, maksudnya tak sesederhana itu. Dulu, semua harapan ditaruh di pundak Bara. Sekarang, harapan yang sama—mungkin lebih berat, lebih berlapis luka dan rasa takut—perlahan diarahkan kepadaku. Tanpa mereka sadari, mereka sedang mewariskan sesuatu. Bukan sekadar cinta. Tapi harapan yang diselimuti ketakutan, kegagalan, dan penyesalan. Dan aku...? Aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk menanggungnya. Tapi aku juga tidak bisa bilang tidak.
Aku hanya memeluk Mama malam itu. Pelan. Tanpa kata, tanpa janji. Hanya pelukan—satu-satunya hal yang bisa kulakukan untuk menambal sesuatu yang sudah terlalu lama retak. Dalam diam, aku berharap Mama mengerti, bahwa meski aku tak tahu bagaimana cara memperbaiki semuanya, aku ada di sini. Berusaha. Meski tak selalu kuat, aku tetap mencoba.
**
Hari-hari setelahnya terasa makin sunyi. Bukan karena tak ada suara, tapi karena tak ada lagi kehangatan. Papa masih pergi pagi-pagi sekali, pulang larut malam tanpa sepatah kata. Kadang, aku mendengar langkah kakinya di dapur—berat dan kesal—disertai gerutu pelan, suara laci yang ditendang, atau denting gelas yang dibanting ke wastafel. Mama tetap di rumah, tapi tubuhnya seperti tak lagi di sana. Matanya kosong, gerak-geriknya lambat. Ia sering berdiri di depan jendela, menatap halaman kosong seperti menanti sesuatu yang tidak akan datang.
Aku tetap pergi ke sekolah. Nilai-nilaiku baik. Aku mengerjakan tugas tepat waktu. Aku ikut organisasi, mulai aktif di kegiatan yang dulu tidak pernah kusentuh. Bukan karena aku benar-benar ingin. Tapi karena aku pikir... mungkin dengan jadi “baik,” rumah ini bisa sedikit lebih tenang. Mungkin kalau aku tidak jadi masalah, aku bisa jadi penyeimbang di tengah semua yang berantakan. Mungkin kalau aku cukup hebat, Mama bisa tersenyum lagi.
Aku mulai menata diri seperti orang yang sedang tidak hancur. Senyumku lebih rapi, jawabanku lebih cepat, langkahku lebih tegap. Di luar rumah, orang bilang aku dewasa. Tapi mereka tak tahu... Setiap kali membuka pintu pulang, aku selalu menarik napas panjang, seolah bersiap masuk ke medan perang. Dan setiap malam, aku bertanya dalam hati:
Kalau aku juga runtuh, siapa yang akan tetap berdiri?
Suatu sore, Mama duduk di meja makan sambil merapikan tumpukan kertas dari meja belajarku. Ia memandangi satu per satu lembar nilai ulangan yang tercecer, lalu tersenyum tipis. “Nilai kamu tinggi-tinggi banget ya, Ra. Seneng Mama liatnya.” Aku ikut tersenyum melihat ekspresinya. Ada sesuatu di sana—bukan hanya bangga, tapi juga lega. Seperti harapan kecil yang masih bisa digenggam, di tengah hidup yang rasanya makin mudah runtuh.
Beberapa hari kemudian, Papa pulang lebih awal dari biasanya. Ia tidak banyak bicara, hanya duduk di ruang tamu sambil membaca berita di ponselnya. Tapi saat aku lewat, ia menatapku sekilas dan bertanya, “Nilaimu aman, kan?” Aku mengangguk pelan. “Bagus. Jangan kayak Abangmu. Jangan bikin malu,” katanya datar.
Itu kalimat pertama dari Papa setelah berhari-hari diam. Dan itu cukup untuk membuat dadaku sesak. Sejak saat itu, komentar yang sama mulai sering muncul. Bukan dalam bentuk tuntutan langsung, tapi lewat perbandingan diam-diam, harapan-harapan kecil yang terus ditambahkan satu per satu.
Mama mulai menyuruhku ikut bimbingan belajar tambahan, Papa mulai lebih sering bertanya soal rencana masa depanku, tentang nilai, lomba-lomba, bahkan tentang universitas yang belum sempat kupikirkan. Aku mulai merasa… aku bukan cuma anak perempuan mereka lagi.
Aku mulai menjadi proyek pemulihan.
Kadang aku ingin bilang, “Aku takut gak sanggup.” Tapi setiap kali ingin bicara, aku teringat mata Mama yang sembab, punggung Papa yang menjauh, suara pecahan gelas, dan bayangan Bara yang hilang dari rumah ini. Jadi aku tidak bilang apa-apa. Aku hanya tersenyum, mengangguk, mengiyakan. Dan diam-diam berharap, semoga aku cukup untuk menyelamatkan sisa-sisa rumah ini. Aku hanya tersenyum, mengangguk, mengiyakan. Dan dalam diam, aku berharap—semoga aku cukup. Cukup untuk menyelamatkan sisa-sisa rumah ini yang masih bisa diselamatkan.
Malam itu, aku duduk di ruang tamu yang sunyi. Mama terdiam di kursi rotannya, menatap layar televisi tanpa melihat apa yang sedang diputar. Papa duduk di meja makan, sibuk memeriksa ponselnya, namun tidak pernah benar-benar membaca apa pun. Hanya menunggu waktu berlalu. Sama seperti Mama yang menunggu sesuatu yang entah kapan datangnya, seolah keajaiban bisa menyembuhkan semua yang pecah di rumah ini.
Tiba-tiba Papa meletakkan ponselnya dan berdiri, matanya mengarah ke arahku. “Nara, besok kita ke lapas ya. Kita ketemu Bara.”
Aku terkejut. Tidak ada kelembutan dalam suaranya, hanya ketegasan yang membuat hatiku sedikit terhenyak. Ada jarak di antara kata-kata itu, tapi juga sedikit harapan. Harapan yang terlambat. Aku mengangguk pelan, meski hati ini penuh dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Aku tahu, perjalanan itu bukan hanya untuk Bara. Tapi juga untuk Mama dan Papa, untuk mencari sedikit kedamaian yang sudah lama hilang.
Mama menoleh. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menunduk dengan cepat, seolah ingin menyembunyikan segala yang terpendam. Tanpa kata-kata, ia beranjak ke dapur, mencoba kembali menata segala sesuatu di rumah ini dengan rapi. Tapi aku tahu, tidak ada yang bisa dirapikan lagi.
Besok, kami akan melihat Bara di balik jeruji. Bukan untuk mencari jawaban atau pengampunan. Tapi untuk mengingatkan kami semua bahwa meski rumah ini telah retak, ada satu-satunya yang masih terasa utuh. Cinta keluarga yang, meski tersembunyi, masih ada di sana, terpendam dalam keheningan yang harus kami hadapi bersama.
Eh eh eh eh bab selanjutnya kapan ini? Lagi seru serunya padahal.. kira-kira Nara suka Nata juga ga ya??? Soalnya kan dia anhedonia🧐 .