Ada ruang-ruang yang dulu penuh cerita, kini hanya menyisakan diam. Tawa yang dulu memenuhi rumah, perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang tak bisa diisi. Diam bukan berarti tak ada, tapi kadang, ia justru penuh dengan bisik-bisik hati yang terlalu berat untuk diungkapkan.
**
Pagi itu, rumah terasa sepi—hanya suara detak jam dinding yang berdengung pelan mengisi ruang kosong. Sinar matahari merayap malu-malu melalui celah tirai, menciptakan bayangan lembut di lantai yang dingin. Mama duduk di dapur dengan cangkir teh yang belum disentuh. Uapnya sudah habis, tinggal noda teh yang mulai mengering di pinggiran cangkir. Ia tidak menyadari kehadiranku di ambang pintu. Pandangannya menatap lurus ke lantai ubin. Seolah ada sesuatu yang ingin dilihatnya di sana.
Papa tidak ada. Sejak dua minggu terakhir, ia selalu berangkat kerja sebelum matahari naik. Tidak pamit, tidak sarapan. Mungkin tidak ingin melihat siapa pun. Atau mungkin tak tahu harus berbicara apa lagi.
Aku hanya berdiri di tangga terakhir beberapa detik, lalu berjalan pelan ke wastafel. Mencuci sisa piring dari semalam. Ada tiga. Salah satunya tak disentuh, hanya bekas sendok di atasnya. Piring Papa. Mama tidak menyinggung apa pun saat memasukkan piring itu ke westafel semalam, tidak bertanya kenapa tidak di makan, atau sekedar basa-basi. Seolah, semua diam dan pertanyaan menggantung, tak ingin disentuh oleh siapa pun.
Sambil membilas piring terakhir, aku ingat masa-masa saat aku dan Bara mencuci piring bersama setelah makan malam, atau saat Mama masih suka menyanyi pelan di dapur. Lagu-lagu lawas yang tidak kukenal, tapi akrab di telinga. Aku rindu masa-masa itu—kehangatan yang kini terasa jauh dan nyaris hilang. Sekarang, dapur ini sunyi. Hanya ada bunyi tetesan air dari keran yang bocor, mengisi ruang kosong dengan kesendirian yang tajam.
Selesai mencuci piring, aku diam sejenak di depan jendela dapur. Dari celah tirai yang terbuka, kulihat halaman belakang yang masih basah oleh embun. Rumputnya tumbuh liar. Dulu Papa pernah rutin memangkasnya tiap Sabtu pagi. Sekarang bahkan sapu lidi di pojok gudang pun tidak berpindah tempat.
Mama masih duduk di tempat yang sama. Tehnya tidak ia sentuh. Aku ingin bilang sesuatu, apa saja, sekadar memecah hening. Tapi lidahku seperti tidak bisa diajak bekerja sama. Hanya napasku yang terdengar berat, menyatu dengan dengung lemari es yang mengerang pelan.
Jam dinding berdetik lambat. Aku kembali ke kamar, berharap waktu bergerak lebih cepat. Tapi di kamar, yang kudapatkan hanya bayangan-bayangan dari masa lalu. Suara tawa Bara. Suara Mama memanggil Papa. Suara Papa yang kadang keras, kadang tenang. Semuanya sekarang terasa jauh. Seperti kenangan dari rumah lain.
Kutelusuri rak bukuku yang penuh kertas. Ada foto keluarga terselip di antara novel dan foto lama, kami berempat ketika liburan di Tebing Breksi. Foto itu kabur, tapi kami semua tersenyum. Sekarang bahkan senyum yang dulu menghangatkan berubah menjadi bayang-bayang sunyi yang tak bisa kugapai lagi. Aku rindu kebersamaan yang utuh, tapi kenyataannya hanya ada hening yang terus menekan.
Aku duduk di lantai, memegang foto itu lama. Di luar kamar, Mama menyalakan televisi. Suaranya kecil, tapi cukup untuk jadi latar. Aku tahu dia tidak menontonnya. Ia hanya tidak tahan dengan kesunyian yang terlalu jelas.
Menjelang sore, Papa pulang. Tidak ada suara salam. Hanya suara pintu terbuka, kemudian tertutup pelan. Aku keluar kamar dan mendapati dia duduk di ruang tamu, membuka sepatu dengan gerakan lambat. Mama keluar dari dapur, tidak berkata apa-apa, hanya menatap sebentar, lalu kembali masuk.
“Ma, makan malam dimasak sekarang aja ya,” kataku akhirnya. Aku tahu Mama mendengar. Tapi tidak ada jawaban. Hanya diam yang menggantung di udara.
Malam pun datang perlahan, tanpa sapaan. Lampu ruang makan menyala temaram. Aku membantu Mama menyiapkan makan malam. Nasi, sup ayam, dan tempe goreng. Tidak ada percakapan di dapur. Hanya bunyi centong mengenai piring, dan sesekali suara nafas yang tertahan.
Kami duduk bertiga. Tapi tetap terasa seperti masing-masing makan sendiri. Papa hanya mengambil sedikit nasi, menyendok sup, lalu meletakkan sendoknya kembali tanpa mencicipi. Mama mengaduk teh yang sudah dingin. Aku menggigit tempe, lalu meletakkannya di piringku begitu saja. Dan kursi Bara tetap diam di sana, menghadap ke meja, seolah menunggu pemiliknya kembali.
“Besok Bara mulai ditahan di lapas yang baru.” kata Papa tiba-tiba. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi cukup untuk membuat Mama menunduk lebih dalam.
Aku tidak tahu harus merespons apa. Kata “Lapas” terdengar seperti palu godam kecil yang pelan-pelan meretakkan segala sesuatu yang sudah rapuh.
Mama memandang ke arah kursi kosong itu. “Tadi sore aku nyetrika kemejanya,” katanya tanpa diminta. “Padahal… mungkin dia nggak akan pakai itu lagi dalam waktu dekat.”
Aku diam. Supku sudah dingin, tapi aku terus menyendoknya, seolah mencari sesuatu di dasar mangkuk. Mungkin kepastian. Mungkin harapan. Dan malam terus berjalan. Tanpa Bara.
Tanpa suara tawa. Tanpa rumah yang benar-benar terasa rumah.
Setelah makan malam yang tak benar-benar kami sentuh, aku membantu Mama membereskan meja. Papa sudah masuk ke kamar lebih dulu, pintunya tertutup rapat, tak ada suara apa pun dari dalam. Mama tidak banyak bicara. Hanya mengangguk pelan saat kubawa piring-piring kotor ke dapur. Biasanya dia akan memintaku istirahat, atau menyuruhku belajar. Tapi malam ini tidak ada kalimat itu. Hanya diam, dan mata yang sembab, walau tak lagi menangis di hadapanku.
Kupikir dia akan langsung tidur. Tapi saat aku keluar dari kamar, hendak mengambil buku di ruang tamu, aku melihatnya masih duduk di sana. Mama bersimpuh di atas sajadah, menghadap jendela. Gerimis masih membekas di luar, menetes pelan di kaca. Tangannya terlipat rapi di pangkuan, dan mukena putihnya jatuh lembut ke lantai. Tapi yang membuatku terpaku bukanlah itu.
Mama menangis. Lagi. Bukan tangis keras, bukan ratapan. Tapi air mata yang jatuh perlahan, nyaris tanpa suara. Kepalanya tertunduk, dan di sela-sela doa yang tak terdengar, bahunya bergetar kecil.
Aku berdiri di ambang pintu. Tidak berani masuk, tidak ingin mengganggu. Tapi hatiku seperti remuk melihatnya. Dulu, aku sering mendengar tangis itu dari balik dinding. Sekarang aku melihatnya langsung. Dan tetap tak bisa berbuat apa-apa.
Mama menggenggam tasbih kecil di tangan kanannya. Jarinya bergerak perlahan, seperti menghitung harapan yang semakin sedikit. Atau mungkin, menghitung waktu sampai semuanya bisa baik-baik saja.
Aku ingin memeluknya. Tapi kakiku kaku. Mulutku kelu. Yang bisa kulakukan hanya duduk perlahan di sofa, menatap punggung Mama yang rapuh dalam balutan kain doa. Rumah ini pernah hangat. Pernah penuh suara. Tapi malam itu, suara yang paling nyata adalah suara isak tertahan di sela zikir. Dan dalam diam, aku ikut berdoa agar waktu bisa berputar mundur, atau setidaknya… berhenti menyakiti kami seperti ini.
Setelah mengambil buku, aku masuk ke kamar dengan langkah pelan, menutup pintu tanpa suara. Lampu belajar menyala redup, menyoroti buku-buku yang masih berserakan di meja. Tapi aku tidak berniat belajar. Aku bahkan tidak tahu pelajaran apa yang harus kupelajari malam ini.
Aku duduk di kursi, lalu membuka laci. Di dalamnya, ada buku catatan kecil berwarna biru. Sampulnya sudah kusam, beberapa halaman di ujungnya menguning karena air mata atau sisa tangan yang basah saat menyentuhnya.
Kubuka halaman kosong, lalu mulai menulis:
“Kadang aku ingin menghilang. Bukan karena aku lelah hidup, tapi karena aku tidak tahu lagi bagaimana harus hidup di rumah yang tidak terasa seperti rumah.”
Tanganku berhenti sebentar. Aku menatap tulisan itu, lalu melanjutkan:
“Tadi aku melihat Mama menangis lagi. Dia berdoa, mungkin minta agar semua ini cepat selesai. Tapi aku tahu... tidak akan ada yang cepat. Semuanya pelan. Menyakitkan karena lambat. Seperti retakan yang menjalar sedikit demi sedikit, sampai akhirnya pecah total.”
Aku menarik napas dalam. Kemudian menulis satu kalimat terakhir sebelum menutup buku itu:
“Dan aku rindu Bara. Aku rindu keluargaku. Aku rindu rumah kita yang dulu, walaupun dulu aku sering merasa sendiri.”
Kubaringkan kepala di meja. Mataku mulai panas. Rasanya keheningan ini semakin mengakar dan memenuhi semua sudut. Tak ada suara lain di kamar, selain detik jam dinding dan napasku yang mulai tak teratur.
Malam ini, tak ada yang mengetuk pintuku. Tak ada suara Bara yang ingin meminjam charger. Tak ada tawa dari ruang tengah, tak ada sapaan dari jendela. Hanya diam. Dan diam ini, entah kenapa, lebih menyesakkan daripada tangisan mana pun.
Aku bangkit dari kursi, mataku masih terasa berat, dan aku berjalan pelan menuju lemari. Di dalamnya, ada kotak kayu tua yang dulu sering digunakan Mama untuk menyimpan kenang-kenangan keluarga. Aku membuka kotak itu, mengeluarkan beberapa foto lama, foto-foto yang pernah aku pikir hanya kenangan biasa.
Di antaranya, ada satu foto keluarga yang diambil saat aku masih kecil. Bara tersenyum lebar, Mama memelukku erat, dan Papa berdiri di belakang kami, terlihat lebih muda, lebih utuh. Semua tampak sempurna di foto itu, meskipun saat itu aku tahu, kami tak sepenuhnya baik-baik saja.
Aku memeluk foto itu erat-erat, seperti berharap ada sedikit kehangatan yang kembali. Tapi yang aku rasakan malah semakin sepi, semakin kosong. Di kamar ini, aku mengingat semua tawa yang pernah terlewatkan, semua kata-kata yang tak pernah terucap, dan semua harapan yang perlahan pudar.
Tak lama, aku meraih boneka kecil yang selalu menemaniku sejak dulu. Boneka itu sudah lusuh, dengan mata yang sedikit lepas dan jahitan yang mulai terbuka. Tetapi entah kenapa, aku merasa boneka itu memberi sedikit kenyamanan.
Aku menatap boneka itu lama, lalu memeluknya, seolah dia yang akan mengerti, meski tak bisa bicara. Untuk sesaat, aku merasa sedikit lebih ringan, seakan ada yang mengerti betapa beratnya semua ini.
Eh eh eh eh bab selanjutnya kapan ini? Lagi seru serunya padahal.. kira-kira Nara suka Nata juga ga ya??? Soalnya kan dia anhedonia🧐 .