Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

Tidak semua luka menampakkan darah. Beberapa hanya diam, tapi mengguncang segalanya. Dan di tengah sunyi itu, kami tahu: sesuatu dalam diri kami ikut patah.

**

Pagi itu, Mama memasak nasi goreng. Aromanya memenuhi dapur: bawang putih yang ditumis, irisan sosis, dan wajan yang mendesis. Aku duduk di meja makan sambil menggulir layar ponsel, sesekali mengintip ke arah tangga.

“Bara belum turun?” tanya Mama sambil mengaduk.

Aku menggeleng. “Kayaknya dia keluar pagi banget tadi Ma. Kemarin bilangnya mau cetak naskah dulu sebelum bimbingan pagi ini.”

Mama hanya mengangguk, lalu menyendok nasi goreng ke mangkok besar. “Nanti kalo ketemu Bara tolong bilangin ya Ra, jangan lupa sarapan. Badannya udah kurus gitu masih maksa begadang.”

Aku hanya mengangguk, mataku terpaku pada layar ponsel. Chat terakhir dari Bara semalam hanya satu, dia bilang skripsinya selesai dan akan langsung dicetak untuk bimbingan. Tak ada emoji. Tak ada foto naskah. Hanya kata-kata itu, ringkas, tanpa warna, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.

Tapi pagi ini terasa berbeda. Sejak mata terbuka, rasanya seperti terjaga terlalu dini—bukan karena alarm, tapi oleh sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Seolah waktu memanggilku lebih awal, membawa beban yang belum siap aku pikul.  Lalu, suara bel rumah berbunyi. Satu kali. Pelan. Lalu dua kali. Lebih keras.

Papa yang baru turun dari tangga membuka pintu. Di luar, dua orang lelaki berseragam berdiri. Satu mengenakan rompi kuning. Satu lagi memegang helm. Di belakang mereka, sebuah mobil ambulans terparkir dengan lampu strobo yang masih menyala samar.

“M-maaf, apakah ini rumah dari Bara Wicaksana?” suara itu terdengar tegang.

Papa terdiam. “Iya, ada apa ya?”

Mama keluar dari dapur, aku berdiri dari kursi. Saat itu, rasanya dunia seolah berhenti sejenak.

“Anak Bapak mengalami kecelakaan dini hari tadi. Saat ini berada di RSUD. Kami diminta pihak rumah sakit untuk segera menyampaikan kabar ini ke keluarga.”

Mama menjatuhkan sendok. Aku menggenggam ujung meja. Dunia seperti menyusut. Udara di dalam rumah yang tadinya hangat berubah menjadi ruang hampa yang mencekam.

“Sekarang bagaimana keadaannya?” Tanya Papa masih berusaha tenang.

Petugas itu menunduk. “Kami belum bisa beri kepastian, Pak. Tapi sebaiknya Bapak dan Ibu ikut ke rumah sakit sekarang.”

**

Langkah kami tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit. Dinding putih, bau obat-obatan, dan suara kaki Mama yang terburu-buru di lantai keramik. Aku nyaris berlari di belakang Papa. Tanganku dingin. Piliranku kusut. Tapi langkah kakiku tetap berjalan.  Perawat di depan kami sesekali menoleh, memandu dengan cepat. Rasanya seperti mimpi. Tapi bukan mimpi yang bisa dibangunkan. Ini nyata. Bara ada di sini. Karena kecelakaan.

Kami berhenti di depan pintu ruang IGD. Seorang dokter muda keluar, menatap kami dengan mata yang lelah tapi tenang.

“Orang tua dari Bara Wicaksana?” tanyanya.

Papa mengangguk cepat. Aku bisa lihat rahangnya mengeras. “Iya, saya Papanya. Ini istri saya. Dan dia adiknya.”

Dokter itu menghela napas sebentar, lalu berkata, “Pasien mengalami kecelakaan tabrak depan sekitar pukul empat pagi. Benturan keras mengenai sisi kiri mobil. Ada luka terbuka di pelipis dan kemungkinan trauma dada akibat benturan ke setir. Tapi... pasien dalam kondisi sadar saat dibawa ke sini.”

Mama langsung menutup mulut dengan tangan. Aku mendekat dan memegangi lengannya.

Papa bertanya dengan suara yang nyaris pelan, “Sekarang keadaannya bagaimana?”

“Stabil, Pak. Tapi kami masih perlu observasi lanjutan. Kami lakukan CT-scan untuk memastikan tidak ada cedera di kepala. Untuk sementara, kami belum bisa izinkan bertemu. Dua jam lagi kami kabari perkembangan berikutnya.”

Aku mengangguk pelan, walau tubuhku seolah tak paham apa pun yang baru saja dijelaskan.
Kata “stabil” menggantung di udara, tapi entah kenapa tidak memberi rasa lega.

Kami duduk di ruang tunggu. Mama diam, kadang menyeka air mata. Papa sibuk menatap ponselnya, padahal layarnya gelap. Aku memeluk lututku berusaha mencari kekuatan agar kami semua tidak roboh bersama.

Di luar jendela, langit pagi mulai terang. Tapi sinarnya tak masuk ke ruangan tunggu. Aku masih ingat betul semalam. Teh hangat. Sepotong roti. Aku berdiri di depan kamarnya cukup lama. Kuketuk pintunya dan dia hanya menjawab, “Nanti Abang ambil Ra.” Itu saja. Tanpa bertemu, tanpa ada percakapan lebih panjang yang bisa ku ingat. Lalu aku kembali ke kamar. Aku tidur. Dan paginya... begini.

“Ma,” suaraku pelan. Mama menoleh. Matanya merah.

“Tadi malam aku sempat ngasih dia teh. Sama roti... Tapi dia nggak keluar kamar.” Aku mencoba tersenyum, tapi rasanya lebih seperti menarik luka. “Dia cuma bilang ‘Nanti dia ambil dan terima kasih’.”

Mama menggenggam tanganku erat. Tapi tidak berkata apa-apa. Aku tahu, di antara kami bertiga, tidak ada yang benar-benar siap untuk ini.

Waktu pun terus berjalan lebih lambat dari biasaya. Jam di ruang tunggu terasa berdetak mundur, atau kadang berhenti sama sekali. Sudah lewat dua jam.  Aku terus menatap ke arah lorong, berharap setiap langkah kaki yang terdengar adalah perawat atau dokter yang datang membawa kabar baik.

Akhirnya, pintu ruangan terbuka. Seorang suster keluar, menatap kami. “Keluarga Bara Wicaksana?”

Kami bertiga langsung berdiri. Aku nyaris tersandung kursi.

“Pasien sudah dipindahkan ke ruang observasi. Saat ini kondisinya stabil, masih lemas, tapi bisa diajak bicara sebentar. Silakan masuk satu per satu dulu. Kami batasi waktunya.”

Papa menyuruh Mama masuk lebih dulu. Tak lama setelah itu, Papa menyusul. Aku kebagian terakhir—duduk sendiri, menunggu giliran, padahal hatiku sudah gemetar ingin segera melihat Bara. Waktu terasa beku. Lima belas menit seperti seumur hidup. Hingga akhirnya... pintu itu terbuka. Dan kini, giliranku.

Langkahku pelan, seolah takut Bara akan terganggu hanya karena suara nafasku.
Di dalam ruangan itu, lampunya redup. Suara alat monitor berdetak pelan.
Bara terbaring di atas ranjang. Wajahnya pucat. Pelipis kirinya diperban. Selang infus tertanam di lengannya. Tapi dia sadar. Matanya terbuka. Dan saat melihatku, dia tersenyum lemah.

“Hai,” katanya. Suaranya serak, pelan sekali.

Aku menahan napas. Rasanya seperti menahan ombak yang siap pecah di dada.
Kupaksakan senyum. “Bang...”

Aku duduk di kursi di sebelah ranjangnya. Tanganku meraih tangan kirinya yang bebas.
Hangat, tapi dingin di ujung jari.

“Maaf ya,” katanya tiba-tiba.

Aku mengerutkan kening. “Maaf kenapa?”

Dia menggeleng, pelan. “Harusnya aku nggak nyetir sendiri. Harusnya aku istirahat.”

Aku menunduk. “Harusnya aku lebih maksa Abang buat tidur. Harusnya aku ketuk pintu lebih keras.”

Kami diam lama. Suara mesin pemantau detak jantung berdetik seperti jam yang kehabisan waktu.

“Aku capek, Ra” bisiknya. “Aku ngerasa... gagal. Aku udah nyoba. Tapi kayaknya... aku akan tetap gagal.”

Aku menatap matanya. Dan Baru kali ini aku melihat Bara sebagai orang yang rapuh. Bukan si ‘jagoan keluarga’, bukan ‘kebanggaan Papa-Mama’. Hanya seorang Bara. Yang kelelahan. Yang ingin dimengerti.

“Kamu nggak harus bisa semuanya, Bang. Nggak harus jadi kuat terus.” ucapku lirih.

Dia memejamkan mata, dan air mata menetes dari ujungnya.

Aku menggenggam tangannya lebih erat, seolah genggaman itu bisa menahan semua yang runtuh. Kami hanya duduk di sana. Dalam diam yang jauh lebih jujur dari kata-kata.

**

Tak terasa, sudah lima hari sejak Bara dipindahkan ke ruang perawatan biasa.
Lukanya mulai membaik. Tapi kami semua tahu, ada luka lain yang belum bisa sembuh.
Dan pagi ini, luka itu akhirnya punya nama.

Pagi itu, dua orang datang ke rumah sakit. Pakaian mereka rapi. Nada bicara mereka sopan. Tapi dari caranya memperkenalkan diri, dari cara mereka menyebut "pemeriksaan lanjutan," aku tahu... ini bukan kabar baik.

Tak lama setelah petugas keluar, Papa dan Mama duduk di sofa tunggu. Aku memilih duduk di kursi di sisi ranjang Bara. Sunyi menekan udara. Lalu Papa membuka suara, pelan namun berat, “Kecelakaan yang dialami Bara bukan cuma kecelakaan biasa…” Kalimatnya menggantung. Rahangnya mengeras, seolah menahan sesuatu yang tak ingin diucapkan. Lalu akhirnya ia melanjutkan, suaranya nyaris seperti bisikan: “Mobil yang ditabrak Bara... pengemudinya meninggal dunia.”

Dunia seperti berhenti berputar sesaat. Semua suara lenyap, bahkan detak jam di dinding pun terasa menjauh. Aku menoleh ke Bara. Wajahnya membeku. Mata yang tadi redup kini terbelalak kaget, seperti tak percaya pada kenyataan yang baru saja dijatuhkan kepadanya. Bibirnya gemetar. Tubuhnya tampak lebih pucat dari sebelumnya, seperti darahnya mengalir ke tempat lain yang lebih aman dari rasa bersalah.

Tangannya mencengkeram selimut, seolah itu satu-satunya hal yang masih bisa ia genggam dalam dunia yang tiba-tiba runtuh. Dan aku hanya bisa diam, menyaksikan bagaimana sebuah jiwa retak tanpa suara.

 “Jadi aku... ngebunuh orang?” suaranya serak.

“Nggak seperti itu, Bar,” jawab Mama cepat, seperti ingin meredam ledakan yang tak terdengar. “Kecelakaannya sedang diselidiki. Bisa jadi kamu nggak sepenuhnya salah. Kita masih tunggu hasil lengkapnya.”

Tapi Bara tidak menjawab. Dia hanya menunduk, lama sekali.

Aku menggenggam ujung selimut di tangannya. “Bukan cuma kamu sendiri yang salah, Bang. Kita semua... punya bagian.” Kataku pelan.

Dia menoleh padaku. Matanya merah. “Aku cuma ngantuk, Ra. Cuma pengen selesaiin skripsi. Cuma pengen semua ini... cepat beres.” Air matanya jatuh. “Tapi sekarang, ada orang yang nggak bisa pulang. Dan aku masih hidup.”

Kami semua diam. Dan saat itulah, aku melihat Bara benar-benar hancur. Dia menunduk lama, bahunya sedikit gemetar. Tangannya mengepal di atas selimut rumah sakit yang putih bersih.
Air mata terus jatuh dari wajahnya, tanpa suara. Bukan tangisan keras. Bukan ledakan. Tapi tangisan yang datang dari tempat terdalam, yang bahkan tidak tahu harus marah pada siapa.

Mama akhirnya berdiri, berjalan pelan ke luar ruangan. Aku tahu dia tidak tahan melihat anaknya seperti itu. Papa masih berdiri mematung, menatap dinding seperti sedang mencoba mengatur napasnya. Aku tetap duduk di samping Bara.

“Abang mau ngomong apa pun, ngomong aja,” kataku pelan. “Kalau nggak mau ngomong, ya nggak apa-apa.”

Dia menarik napas dalam, mencoba bicara. Tapi suaranya patah-patah. “Aku... aku bahkan nggak tahu siapa nama orang itu, Ra.”

Dia menatapku, matanya penuh ketakutan. “Aku nabrak orang. Orang yang punya keluarga. Punya rumah. Punya... anak mungkin. Dan sekarang dia nggak ada. Gara-gara aku.”

Aku menggenggam tangannya. “Itu kecelakaan, Bang. Bukan karena kamu sengaja. Bukan karena kamu jahat.”

“Tapi karena aku maksa diri sendiri buat terus kuat,” katanya lirih. “Karena aku takut bilang ke Papa-Mama kalau aku nggak sanggup. Karena aku lebih milih kelihatan beres... daripada minta tolong.”

Aku tak bisa menjawab. Karena aku tahu dia benar. Kami semua membiarkan Bara tumbuh dengan pujian yang menekan. Dengan harapan yang diam-diam mengikat lehernya sendiri.

Dia menyeka wajahnya dengan punggung tangan, lalu berbisik, “Mereka bakal nyidik aku kan? Polisi?”

Aku mengangguk pelan.

“Kalau aku ditahan... Mama bakal kecewa.”

Aku menggigit bibirku. “Mama lebih takut kehilangan kamu. Dan kamu masih di sini. Itu yang penting sekarang.”

Dia menarik napas, pelan dan berat. Seolah baru menyadari bahwa hidupnya tak akan pernah kembali seperti semula. Segalanya terasa diam, bahkan waktu pun seperti menunduk sejenak.

Beberapa jam berlalu tanpa terasa. Malam itu, aku kembali duduk di ruang tunggu. Papa dan Mama duduk terpisah, masing-masing tenggelam dalam pikiran yang tak terucap. Sunyi mengisi ruangan—tak ada kata, tak ada rencana.

Di luar, hujan rintik turun perlahan, seolah langit pun merasakan duka yang sama. Di dalam kamar, Bara tertidur lelap—bukan hanya karena obat atau lukanya, tapi karena beban dunia yang terasa terlalu berat untuk dipikul sendirian.

Malam itu, aku sadar... Ini bukan sekadar luka yang harus disembuhkan. Ini tentang bagaimana kami belajar bertahan, ketika segala sesuatu mulai runtuh.

Besok, mungkin akan ada berita di media. Besok, mungkin akan ada panggilan resmi. Besok, Bara bukan lagi hanya seorang mahasiswa yang kecelakaan. Tapi juga... seorang tersangka.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • limbooo

    Eh eh eh eh bab selanjutnya kapan ini? Lagi seru serunya padahal.. kira-kira Nara suka Nata juga ga ya??? Soalnya kan dia anhedonia🧐 .

  • limbooo

    Nara yang OCD, aku yang sesak nafas 🫠
    Ceritanya sampe ke relung hati🥹

  • rirydudidam

    aku memang sedang terlalu kacau, lalu baca ini, nangis lagi lah aku. padahal aku tidak pernah seperti Nara, tapi aku tetap nangis.

  • ervina

    Kasian si Nara

  • patraya

    Can't believe that the author could convey the emotion so thoroughly in the story.. this story simply bring the reader into an emotional rollercoaster. Love it!

  • niningdoyosyi

    Ceritanya perlahan ku baca, benar benar sesuai realita, hampir semua orang mengalaminya kurasa,,,
    Semakin nagih bacanya😍

  • iin

    Ceritanya bagus

    Comment on chapter PROLOG
  • amandabee

    Ini novel bener2 keren bgt sih, tata penulisannya, alurnya, bener kita terbawa ke ceritanya jadi bacanya bikin canduuuu bgttttt

  • witri

    Ceritanya seru, nagih bacanya.
    Ditunggu kelanjutannya 🫶🏻

    Comment on chapter PROLOG
  • sabitah

    sedih banget sumpah, bergetar bacanya

Similar Tags
Kacamata Monita
3041      943     3     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Kaca yang Berdebu
170      138     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Monologue
1004      684     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Langit Tak Selalu Biru
112      98     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Simfoni Rindu Zindy
1891      1080     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
345      279     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
DocDetec
982      540     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
BestfriEND
79      72     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Only One
1726      1017     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
FAYENA (Menentukan Takdir)
1007      574     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...