Loading...
Logo TinLit
Read Story - Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
MENU
About Us  

Padahal sudah ditata hari-hari penuh beban, dibungkus letih dalam diam. Tapi... adakalanya jalan pulang tak selalu sampai tujuan, karena takdir datang tanpa tanda, hanya sunyi yang tiba-tiba retak mematahkan rem di tengah jalan.

**

Setelah liburan, semuanya kembali seperti biasa. Pagi yang dingin, udara yang senyap dan suara pintu kamar mandi yang bergema terlalu keras di rumah yang terlalu sepi. Sarapan kembali jadi rutinitas yang sunyi. Hanya suara sendok dan piring yang saling beradu di tengah meja makan. Kadang ada percakapan. Kadang tawa kecil. Tapi semua terdengar seperti formalitas, sekadar agar ruangan tak sepenuhnya hening.

Mama kembali sibuk. Papa kembali serius. Aku… kembali menjadi bayangan yang berjalan di tengah rumah tanpa suara. Dan Bara, kembali tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia lebih sering mengurung diri di kamar. Aku bisa mendengar suara ketikan dari laptopnya hampir setiap malam. Kadang sampai jam dua pagi. Kadang lebih.

Semua kembali ke tempatnya masing-masing, seperti tak pernah ada yang berubah. Kedekatan yang sempat terasa… perlahan menjauh lagi, seperti kabut yang menghilang begitu matahari naik. Dan aku hanya bisa diam, memandangi rumah ini, mencoba meyakinkan diri bahwa liburan kemarin benar-benar terjadi bukan sekadar ilusi.

 “Aku harus seminar akhir minggu ini,” Kata Bara di suatu malam ketika kami berdua sedang mencuci piring. “Dosen pembimbing mau ngebut. Kalau bisa, bulan depan udah sidang.”

Aku mengangguk. “Tapi bisa kan Bang? Maksudnnya skripsi Abang tinggal dikit lagi kan?”

Dia tidak langsung menjawab. Tangannya terus menggosok piring. Lalu, pelan-pelan, ia berkata, “Ya... Harus dipaksa bisa sih Ra, kalau nggak semua orang bakal kecewa.”

Aku menoleh ke arahnya. “Jangan maksa juga sih Bang. Papa Mama pasti ngerti kok.”

Bara menggeleng pelan. “Mereka ngerti, tapi mereka juga punya harapan. Dan harapan itu berat, Ra. Kadang lebih berat dari tugasnya sendiri.”

Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku hanya memandangnya sebentar, lalu mengambil piring terakhir dan menumpuknya dengan hati-hati.

Malam-malam berikutnya, aku sering melihat Bara duduk di depan layar laptopnya dengan mata merah. Kadang dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seperti ingin menghapus semuanya. Kadang aku mendengar suara laptop ditutup dengan keras, lalu tak lama kemudian dibuka lagi.

Papa dan Mama masih memuji ketekunannya. Mereka bilang, “Bara rajin banget ya, tanggung jawab sama tugasnnya.”

Tapi mereka tidak tahu bahwa pujian itu, yang terdengar membanggakan di luar, justru menjadi beban yang berat bagi Bara. Beban yang sedang menggerogotinya pelan-pelan tanpa suara.

Dan aku.., hanya bisa menyaksikan semuanya dalam diam. Tanpa tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa berdoa di dalam hati, semoga semuanya akan baik-baik saja.

Hari-hari berikutnya terasa panjang. Seperti minggu yang tidak pernah selesai. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi di kepala Bara. Tapi aku bisa melihat jejaknya: dari kopi dingin yang tak habis, dari kertas catatan yang penuh coretan, dari cara dia menghindari kami saat makan malam.

Pernah di suatu malam, saat rumah dipeluk sepi dan lampu mulai diredupkan. Mama menyuruhku memanggil Bara di kamarnya.

“Ra, tolong bilangin ke Bang Bara makan malamnya udah Mama taruh di meja,” katanya singkat sambil membereskan piring.

Aku berjalan ke depan pintu kamar Bara dan mengetuk pelan. “Bang… kata Mama makan dulu! Makanannya udah di meja.”

Tapi yang kudapat hanya keheningan. Beberapa menit. Sampai akhirnya terdengar suaranya dari dalam. Suara yang terdengar pelan dan letih. “Nanti aja Ra.., Abang masih sibuk.”

Aku diam sebentar. Ingin menjawab sesuatu, tapi tak tahu harus menjawab apa. Dari balik pintu, aku bisa mendengar napasnya. Berat. Tidak teratur. Seolah sedang menahan sesuatu yang ingin jatuh.

Besoknya, aku bangun lebih pagi. Dari jendela kamar, aku melihat Bara duduk di teras belakang, sendirian. Jaket hitamnya terlihat kebesaran di tubuhnya yang makin kurus, dan rambutnya makin acak-acakan. Dia menatap layar ponselnya, lalu meletakkannya dengan kasar di meja. Begitu aku mendekat, tangannya sigap menutupi layar ponsel itu.

“Udah bangun?” tanyanya.

Aku tidak menjawab, lalu duduk di sampingnya. Kami sama-sama menatap halaman kosong yang basah oleh embun.

“Aku dapet email dari dosen pagi ini. Katanya... kalau minggu ini aku belum kirim bab empat dan materi untuk persentasi, dia bakal coret nama aku dari daftar sidang.” Katanya pelan.

Aku menoleh cepat. “Serius?”

Bara mengangguk. “Dan kamu tahu apa yang aku rasain waktu baca itu?” Dia tertawa, tapi bukan tawa yang nyaman. “Aku ngerasa... lega... Kayak, ‘Oke. Ini alasan buat nyerah.’ Tapi tiba-tiba aku inget kalau Papa Mama udah ngomong ke semua orang: Om, Tante, bahkan tetangga. Kalau Bara bentar lagi lulus. Kalau Bara anak yang bisa dibanggakan.”

Aku hanya bisa diam. Tanpa berkomentar apa-apa.

Kemudian Bara tertunduk, matanya sembab dan mukanya terlihat lelah. “Kalau aku mundur sekarang, mereka bakalan kecewa.” Sambungnya kemudian.

“Tapi Bang, kalau dipaksa terus, Abang yang hancur,” kataku pelan.

Bara tidak menjawab. Matanya menatap jauh, kosong, dan ama sekali. Kami hanya duduk dalam sunyi. Akhirnya dia berdiri, menepuk celananya yang basah karena bangku yang lembap. “Aku mau mandi. Abis itu lanjut ngerjain skripsi. Pokoknya harus kelar. Harus selesai. Harus."

Dia masuk ke dalam, meninggalkan aku sendiri dengan segelas kopi yang sudah dingin. Aku merarik napas dalam, mencoba menenangkan degup di dada. Karena untuk pertama kalinya, aku benar-benar takut kehilangan Bara. Bukan karena dia akan pergi jauh, tapi karena dia sudah terlalu jauh dari dirinya sendiri.

Beberapa hari kemudian, Bara pergi ke kampus. Udara siang itu terasa lebih panas dari biasanya. Bara berdiri di depan ruang dosen, menggenggam map plastik berisi bab empat yang belum benar-benar selesai. Tangan kirinya berkeringat, dan ia sudah tiga kali mengecek isi map itu dalam lima menit terakhir, seolah ada sesuatu yang akan berubah jika dicek ulang.

Tiba-tiba suara pintu berderit, membuatnya terkejut seketika.

“Bara?” Suara itu datar. Dosen pembimbingnya, Pak Rudi, berdiri di depan pintu dengan alis terangkat setengah.

“Iya, Pak. Saya mau... ini, mau konsultasi soal bab empat,” jawab Bara cepat, lalu menyerahkan mapnya.

Pak Rudi menerimanya dengan satu tangan, lalu melangkah masuk tanpa mempersilakan. Bara mengikuti dari belakang, duduk di kursi dengan punggung setengah kaku.

Suasana ruang dosen itu terlalu sunyi. Hanya terdengar bunyi kipas angin tua yang berderit pelan. Pak Rudi membuka lembar demi lembar naskah Bara tanpa bicara. Sesekali mengernyit. Sesekali menggeleng kecil.

Bara duduk menunggu, jari-jarinya saling menggenggam di bawah meja.

Setelah beberapa menit, Pak Rudi menutup map itu dengan bunyi plek yang keras. “Ini belum cukup. Masih banyak bagian yang belum matang. Teorinya masih belum mendukung isi hipotesis, masih berantakan, tidak nyambung. Argumentasinya juga belum solid.”

Bara mengangguk pelan. “Saya akan revisi, Pak.”

Pak Rudi menyandarkan tubuh. “Bara.. Bara.., saya tahu kamu mahasiswa yang aktif. Tapi akhir-akhir ini saya lihat kamu kurang fokus. Kita ini sudah masuk bulan kelima bimbingan. Kalau kamu belum siap, saya tidak bisa memaksakan masuk jadwal sidang semester ini.”

Bara menunduk. “Saya berusaha, Pak. Serius.”

“Saya percaya kamu berusaha,” kata Pak Rudi, tapi nadanya tidak menunjukkan empati. “Tapi universitas ini tidak menilai usaha. Kita menilai hasil. Saya hanya mengingatkan. Jangan jadikan saya alasan kalau nanti kamu tertunda.”

Bara hanya bisa terdiam, lalu mengangguk, meski ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa roboh perlahan.

“Silakan pulang dan revisi. Saya tunggu sampai Jumat. Lewat dari itu, saya tidak jamin.”

Bara berdiri, membungkuk pelan, dan keluar dari ruangan dengan map yang terasa lebih berat dari sebelumnya.

Di luar, matahari menyengat. Tapi tubuhnya terasa dingin. Dia berjalan tanpa arah dulu. Melewati deretan motor mahasiswa. Melewati kantin yang sudah tutup. Sampai akhirnya dia duduk di bangku dekat taman kampus. Sendirian.

Matanya menatap kosong ke depan, dan entah sejak kapan..., rasanya Bara benar-benar ingin hilang. Bukan mati. Bukan pergi. Hanya... hilang. Agar tidak harus menjelaskan kenapa dirinya tidak sekuat yang orang pikir.

Seminggu setelah bimbingan itu, di rumah suasana begitu sunyi dan hening, seolah waktu ikut menahan napas. Detik-detik jam dinding berderik pelan, menunjukkan pukul 00.42.
Dan Bara..,  masih duduk di depan laptop. Lampu kamarnya menyala redup, membuat bayangan di wajahnya terlihat lebih dalam. Tangannya bergerak cepat di keyboard, sesekali berhenti untuk menghela napas panjang, lalu menunduk memegangi kepala.

Di luar, hujan mulai turun rintik-rintik. Aku berdiri diam di depan jendela kamarku, menatap rintikan hujan yang terbias oleh cahaya lampu. Aku tidak bisa tidur. Rasa kantukku hilang. Entah kenapa, malam ini terasa berat. Udara terlalu sunyi, terlalu dingin, dan... terlalu gelap, meski lampu menyala.

Aku berjalan pelan ke dapur, membuat secangkir teh dan mengambil sepotong roti, lalu mengendap ke depan kamar Bara.

Tok. Tok. Tok. Kuketuk pintu kamarnya, pelan dan cukup jelas. Tapi tak ada jawaban. Tak ada suara langkah. Tak ada gesekan kursi. Hanya diam. Diam yang aneh. Diam yang menelan seluruh rumah.

“Bang,” panggilku kemudian. “Udah jam satu. Nggak istirahat dulu?” Kataku berusaha mengingatkan.

Butuh waktu sebelum suara dari dalam menjawab. “Dikit lagi, Ra. Tinggal kesimpulan. Besok harus dikumpul.”

“Abang udah makan?” Tanyaku lagi

“Belum. Tapi nanti, santai aja.”

Aku mengigit bibirku, lalu berkata. “Aku taruh roti sama teh ya. Di depan pintu.”

“Iya-iya Ra, nanti diambil. Makasih ya.” Jawabnya dari dalam. Dan itu saja. Tidak ada suara kursi digeser, tidak ada langkah mendekat, dan idak ada pintu yang terbuka.

Aku menaruh nampan kecil berisi teh dan roti itu, lalu berdiri beberapa detik menatap pintu. Rasanya seperti melihat seseorang perlahan menenggelamkan dirinya sendiri di kolam yang dalam, dan tidak tahu cara berenang naik ke permukaan.

Waktu terus bergulir, jam sudah menunjukkan pukul 03.17. Bara akhirnya menutup laptop. Nafasnya berat, tangannya gemetar. Tapi dia tersenyum kecil. “Kelar juga akhirnya,” gumamnya sambil menatap layar dengan mata merah.

Bara bangkit, tapi bukan menuju ke ranjang, bukan untuk istirahat, bukan untuk tidur. Karena dia tahu kalau dia berbaring sekarang, pikirannya tidak akan membiarkannya tenang. Jadi Bara mandi, membasuh tubuhnya dengan air dingin. Lalu mengganti baju. Mengambil flashdisk yang berisi naskah lengkap skripsi yang baru saja ia kerjakan.

Bara turun diam-diam ke lantai bawah saat jarum jam menunjuk pukul 04.00.
Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, berusaha tak membangunkan siapa pun.
Tak ada catatan yang ditinggalkan. Hanya tubuh lelah dan sebuah file di tangan.
Ia ingin mencetak naskah itu langsung ke percetakan. Berharap pagi ini juga bisa selesai, dan ia bisa langsung menuju kampus untuk bimbingan dengan dosennya.

Langit masih gelap. Tapi dia tetap menyetir.

Di dalam mobil. Radio menyala pelan. Bara menguap. Dua kali. Tiga kali. Dia memukul pipinya sendiri. “Bangun. Tinggal dikit lagi, Bar. Tinggal cetak, tinggal lulus,” bisiknya, mencoba menyemangati dirinya sendiri.

Tapi pikirannya melayang. Kata-kata dosen, wajah Papa, senyum Mama, suara Nara... semua tumpang tindih di kepalanya seperti gema yang tak kunjung selesai.

Suara klakson dari mobil di belakang membuatnya tersentak. Bara menekan gas, melewati lampu merah yang hampir menyala. Telinganya terasa berdengung, matanya mulai berat, dan rasa kantuk itu datang seperti kabut.

Kecepatan mobil seperti mengaduk kabur di matanya, membuat pikirannya melayang entah ke mana. Jalanan masih lengang, hanya sesekali dilalui kendaraan lain yang melintas cepat. Lampu jalan menyilaukan, memaksa Bara memicingkan mata, mencoba tetap fokus. Namun setiap detik yang berlalu, rasa kantuk semakin menghimpitnya—berat, nyaris tak tertahankan.

Dia mengedipkan mata berkali-kali, berusaha mengusir rasa lelah yang semakin menguasai. Tapi kemudian, di tengah desakan itu, lampu kendaraan yang mendekat dari arah berlawanan menyilaukan mata Bara sekejap. Semuanya jadi kabur. Dia mengerutkan dahi, tapi matanya terlalu berat untuk dibuka lebar.

Lalu, satu detik. Itu saja. Sebuah klakson lain, lebih keras, lebih dekat. Bara terperanjat, tetapi sudah terlambat. Dalam kebingungannya, dia hanya melihat bayangan mobil yang mendekat, dan refleksnya telat untuk menghindar. Semua terjadi begitu cepat, terdengar suara keras rem yang berdecit, diiringi suara benturan yang mengelegar, seperti dentuman baja menghantam dinding keheningan. Kaca pecah. Suara ban berderit bergesekan dengan aspal. Asap mengepul dari ujung kap mesin yang ringsek.

Bara terdiam. Tubuhnya terdorong ke depan, lalu kembali terseret ke kursi. Sabuk pengaman menyelamatkannya, tapi hanya sebagian. Dahi kirinya berdarah, napasnya tersengal. Matanya terbuka setengah..., terkejut, panik, dan... kosong.

Tangan Bara masih menggenggam setir, tapi rasanya tubuhnya telah pergi lebih dulu.
Jalanan yang semula lurus kini berubah menjadi lorong samar, dipenuhi bayang-bayang dan semburat merah yang menyilaukan. Semuanya berputar, menyatu dalam satu titik—titik yang memekik sunyi, dan sebuah takdir yang sudah tak bisa ditarik kembali.

Jauh dari lokasi kejadian, di rumah yang sunyi dan gelap, aku tiba-tiba terjaga. Tidak ada suara, tidak ada mimpi buruk. Tapi jantungku berdetak terlalu cepat, terlalu kencang, seperti sedang berlomba dengan sesuatu yang tak terlihat. Ada firasat aneh yang merambat pelan ke dalam tubuhku. Bukan rasa takut, tapi semacam kegelisahan yang tak bisa dijelaskan, seolah ada sesuatu yang patah di kejauhan.

Aku bangkit dari tempat tidur, langkahku tertatih menuju jendela. Langit masih muram, tapi warna lembayung mulai menyusup pelan di antara kabut fajar. Dan saat itu juga—dari kejauhan, terdengar suara sirine memecah pagi. Suaranya menusuk, meraung panjang, seperti peringatan yang datang terlambat. Aku menatap ke arah suara itu, tubuhku membeku. Entah kenapa, aku tahu... sesuatu telah terjadi.

Aku menatap langit untuk beberapa saat, berharap mungkin itu hanya ketakutan yang muncul tanpa alasan. Mungkin hanya mimpi yang tak kuingat, atau tubuh yang terlalu lelah. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantung yang masih memburu.

Lalu aku kembali ke tempat tidur, menarik selimut sampai ke leher. Menutup mata, pura-pura tidak mendengar sirine yang masih samar di kejauhan. Pura-pura semuanya baik-baik saja. Tapi tubuhku tetap tegang. Nafasku tidak juga tenang. Dan jauh di dalam dada, rasa itu masih ada.  Rasa bahwa sesuatu… sedang berubah. Dan tak ada yang bisa kuperbuat selain menunggu pagi datang, dengan doa yang tak selesai di ujung lidah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (13)
  • sabitah

    ga ada typo, bahasanya puitis tapi ringan, setiap bab yang di baca dengan mudah membawa masuk ke cerita. ceritannya juga unik, jarang banget orang mengedukasi tentang KESEHATAN MENTAL berbalut romance. dari bab awal sampe bab yang udah di unggah banyak kejutannya (tadinya nebak gini taunya gini). ini cerita bagus. penulisnya pintar. pintar bawa masuk pembaca ke suasananya. pintar ngemas cerita dengan sebaik mungkin. pintar memilih kata dan majas. kayaknya ini bukan penulis yang penuh pengalaman...

    Comment on chapter PROLOG
  • romdiyah

    Ga sabaarrrrr selanjutnya gimana?? Mendebarkan banget ceritanya. Aaa bagus bangett ,😭😍😍😍😍😍

  • limbooo

    Baru di prolog udah menarik banget cerita ini 😍

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Penantian Panjang Gadis Gila
267      210     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
BestfriEND
31      27     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Ilona : My Spotted Skin
457      335     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
FAMILY? Apakah ini yang dimaksud keluarga, eyang?
167      148     2     
Inspirational
Kehidupan bahagia Fira di kota runtuh akibat kebangkrutan, membawanya ke rumah kuno Eyang di desa. Berpisah dari orang tua yang merantau dan menghadapi lingkungan baru yang asing, Fira mencari jawaban tentang arti "family" yang dulu terasa pasti. Dalam kehangatan Eyang dan persahabatan tulus dari Anas, Fira menemukan secercah harapan. Namun, kerinduan dan ketidakpastian terus menghantuinya, mendo...
Matahari untuk Kita
601      354     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Loveless
5156      2537     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Wilted Flower
256      198     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Fidelia
2058      882     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Merayakan Apa Adanya
345      253     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.