Beberapa orang hidup untuk bahagia. Beberapa lagi. hanya hidup.
Aku tak ingat kapan terakhir kali tertawa karena memang lucu, bukan karena seharusnya begitu.Tak tahu juga sejak kapan pagi kehilangan maknanya, dan malam hanya jadi jeda panjang sebelum rutinitas dimulai lagi.
Aku hidup. Bangun, mandi, belajar, bertahan. Tersenyum supaya terlihat waras.
Minta maaf bahkan saat aku tak salah. Mengucapkan terima kasih. Menjalani semuanya seperti mesin yang terprogram rapi.
Aku mengulang banyak hal. Takut salah. Takut kotor. Takut dikira gagal. Dan di saat yang sama… aku berhenti merasa. Hal-hal yang dulu membuatku senang, kini hanya jadi kewajiban. Aku tidak sedih. Tapi juga tidak bahagia. Hampa.
Dan anehnya, orang-orang disekitarku malah bilang aku hebat. Pintar. Teratur. Anak baik-baik. Kadang aku berpikir: lucu ya.., bagaimana manusia bisa memuji luka yang tak terlihat.
Padahal kalau boleh memilih, Aku ingin berhenti. Bukan mati, hanya… berhenti. Sejenak. Tanpa beban. Tanpa ekspektasi. Tanpa suara di kepala yang terus memaksa: “Harusnya kamu bisa lebih baik dari ini, Nara.”
Tapi hidup, nyatanya bukan sesuatu yang bisa di-pause. Dan aku terlalu takut untuk kehilangan kendali. Jadi, ya…. aku jalani saja. Sampai akhirnya aku bertemu dia. Yang hidupnya bebas. Yang tidak menyembuhkanku, tapi memberi ruang: untuk jujur, untuk bernapas, dan untuk mulai mengakui bahwa aku terluka.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tidak merasa sendirian.
Eh eh eh eh bab selanjutnya kapan ini? Lagi seru serunya padahal.. kira-kira Nara suka Nata juga ga ya??? Soalnya kan dia anhedonia🧐 .