Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

Aroma bawang putih yang ditumis menyambut sore itu di rumah Tara. Wajan di atas kompor sibuk mendidihkan kuah soto, sementara Tara mengaduk-aduk isi dalam panci dengan spatula kayu. Di belakangnya, Nura sibuk membuka bungkusan kerupuk, sambil terus berceloteh soal gebetan barunya yang katanya mirip artis Korea. Amel, si pendiam yang ternyata receh, tertawa gamblang ketika mendengar celetukan Nura yang bilang, 

"Tapi mukanya cuma mirip kalau dilihat dari belakang."

Putri datang dengan membawa es teh jumbo dari warung dekat rumah. Mereka tak berhenti tertawa saat Tara panik karena sambalnya terlalu pedas. Tapi tetap saja, sambal itu yang paling cepat habis di antara lauk lainnya.

Meja makan mereka dipenuhi dengan soto, telur balado, tumis kangkung, dan kerupuk yang sudah agak melempem tapi tetap disantap dengan senang hati. Mereka duduk melantai, makan dengan tangan, dan saling menyuapi dengan gurauan. Tawa mereka menggema di rumah Tara, seperti lagu yang mengisi ruang kosong dalam hati.

"Nggak nyangka ya, kita bisa kumpul juga akhirnya, padahal udah beda kantor semua sekarang," kata Putri sambil menyeruput kuah sotonya.

"Aku ngajakin dari bulan lalu, kalian pada gak bisa terus," kata Nura sewot tiba-tiba. "Apalagi si Putri mah tuh, main terus sama pacar barunya." 

Putri tertawa sampai tersedak kuah Soto, hal itu membuat yang lain berhasil ikut terpancing tawanya. 

"Kalau waktunya gak dadakan susah jadi, selalu begitu," seloroh Tara, yang lain mengangguk menyetujui.

"Si Amel si yang paling susah mah," tawa Nura tertahan, Amel yang sedari tadi diam dan sibuk makan terpancing, ia tak terima. 

"Kok jadi aku? Aku mah ayok aja kalau diajak juga!" 

Mereka saling bertatap, memancing si pendiam dari kegiatan makannya semudah itu ternyata. Lalu suara tawa terdengar memenuhi rumah Tara hari itu.

 

                                    ***

 

Di Minggu berikutnya, Tara menyempatkan bertemu dengan Mika dan Rani, sahabat dari masa SMK-nya. Pertemuan itu sudah lama direncanakan tapi terus tertunda karena kesibukan masing-masing. Kali ini mereka berhasil meluangkan waktu. Mereka tak memilih tempat mewah atau acara istimewa. Hanya keliling mall, mampir ke toko buku, lalu duduk di taman kota sambil membuka bungkusan jajanan dari food court.

Tara menggigit crepes cokelat yang sejak tadi diincarnya. Mika sibuk membuka mainan yang ia beli dari miniso, dan Rani mengambil selfie dengan kamera depannya. Mereka duduk di bangku taman, dikelilingi oleh pohon-pohon rindang dan anak-anak kecil yang berlarian. Angin sore membelai pelan rambut mereka.

"Eh, inget nggak waktu Tara pernah jadi ketua kelompok padahal dia nggak mau?" tanya Rani sambil tertawa.

"Iya, terus ending-nya kita yang kerja semua, Tara bagian nyemangatin," sambung Mika.

"Itu namanya manajemen sumber daya manusia," bela Tara, tertawa paling keras.

Obrolan mereka terus mengalir, seperti air yang tak pernah kehabisan arah. Mereka membicarakan masa lalu, masa sekarang, dan impian kecil masing-masing yang dulu terasa jauh tapi kini pelan-pelan mulai didekati.

 

                                    ***

 

Di pagi yang cerah Tara membuka lemarinya saat tubuhnya masih dibungkus handuk, ia memilih pakaian terbaik hari ini. Pakaian sederhana dengan warna pastel dan celana bahan putih. 

Setelah minggu kemarin Tara sibuk bertemu teman-temannya. Beberapa hari setelahnya, Tara kembali bertemu Awan. Mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu di tempat wisata bertema Jepang yang baru buka di dekat kota. Tempat itu tak besar, tapi penuh sentuhan estetika; pohon-pohon sakura buatan yang menjuntai indah, ornamen kayu, lentera merah bergantung di beberapa sudut, dan aliran air yang menenangkan.

Tara menyewa hanbok berwarna pink pastel, lengkap dengan hiasan rambut bunga-bunga kecil. Awan memilih kimono biru gelap yang sederhana. Mereka berfoto di antara pohon sakura, saling membantu memperbaiki posisi baju, dan tertawa saat angin menerbangkan pita Tara sampai nyangkut di kepala Awan.

"Lihat hasil fotonya deh," kata Awan sambil menunjukkan layar kamera. "Kayak beneran di Jepang."

"Cuma bedanya, kita nggak perlu visa," sahut Tara.

Mereka menaiki perahu kayu yang menyusuri kolam buatan. Rasanya tenang. Rasanya cukup. Meski bukan negeri Sakura sungguhan, tapi senyuman Tara tak kalah asli dari keindahan mana pun.

 

                                     ***

 

Menutup akhir bulan, pada hari minggu, Tara dan keluarganya mengadakan bersih-bersih rumah. Rumah itu sudah lama butuh sentuhan tangan-tangan penuh perhatian. Tara kebagian menyapu dan mengepel. Kak Dira mencuci baju di halaman belakang, sementara Sekar sibuk mengelap jendela yang dipenuhi debu. Ayah dan Mamah sibuk mengatur ulang lemari dan rak buku.

Sesekali mereka saling meneriakkan lelucon. Tara menyalakan musik dari ponselnya, dan mereka semua ikut menyanyi. Lelah tentu saja, tapi peluh yang menetes hari itu terasa menyenangkan.

Saat matahari hampir tenggelam, mereka duduk di ruang tengah dengan es teh dan gorengan. Tara menyandarkan tubuhnya ke sofa, memandangi keluarganya satu-satu.

"Kita bisa kayak gini tiap bulan nggak, sih?" tanyanya pelan.

Mamah hanya mengangguk sambil tersenyum, dan Ayah menyahut, "Asal kamu nggak kabur terus ke kamar ya."

Mereka semua tertawa. Dalam lamunannya yang mulai terbang Tara berpikir, hal-hal kecil seperti ini seharusnya patut untuk Tara syukuri. Tara menatap satu per satu wajah di sekelilingnya. Ia bersyukur. Di antara banyak hal yang belum ia miliki, keluarga yang lengkap adalah sesuatu yang tak tergantikan.

 

                                     ***

 

Di malam harinya, Tara duduk di kamar. Di meja kerjanya, laptop sudah tertutup. Cerita "Lukisan Tanpa Warna" sudah selesai sejak beberapa hari lalu. Ending-nya ia tulis dengan tenang, tanpa tekanan, dan penuh cinta. Ia membaca ulang beberapa komentar pembaca yang senang, yang terharu, yang merasa terwakili.

Ia teringat kembali kalimat indah dan menenangkan yang ia tulis di ending, kalimat yang ditujukan untuk sang pemeran utama. Bukan sekadar penutup, tapi kalimat— yang juga ditujukan untuk dirinya sendiri:

"Kadang… dunia nggak langsung ngasih panggung untuk orang yang pantas. Tapi mereka yang terus bertahan, terus bikin sesuatu yang jujur dari dalam hati, merekalah yang akhirnya bersinar. Bukan karena keberuntungan, tapi karena ketulusan."

Lalu matanya tertuju pada boneka kecil yang duduk manis di ujung meja.

Yaya. Nama boneka itu.

Boneka yang diberikan oleh Awan, dan kini jadi teman setia. Tara meraih boneka itu dan memeluknya. Mungkin orang lain akan menganggapnya kekanak-kanakan, tapi Yaya telah jadi bagian dari hari-harinya. Tara mengajaknya ngobrol, memeganginya supaya berjalan, memeluknya saat hendak tidur. Mungkin saat bersama Yaya, jiwa anak kecilnya bangkit, sehingga dengan Yaya, Tara tidak harus menjadi dewasa. 

Tara merebahkan tubuhnya yang mulai kaku di kasur akibat menatap layar laptop cukup lama. Ia menatap langit-langit kamarnya, kadang matanya menyipit akibat sinar lampu. Tapi, di sanalah Tara menemukan sebuah jawaban dari perjalanannya yang belum usai. 

Ia menyadari bahwa sebuah kisah tidak selalu selesai dengan jawaban pasti. Kadang, cukup dengan menerima diri, melanjutkan hidup dengan satu niat baik, dan menggenggam satu hal yang dicintai. Dan, dalam hal ini Tara memilih 'menulis'.

Ia tak tahu apakah nanti akan mendapatkan lagi gelar sebagai pekerja kantoran secepat jalannya kak Dira, atau mungkin ia akan menghabiskan masa luangnya jadi penulis penuh waktu dulu. Tapi satu yang ia tahu, hidup akan terus berjalan. Dan yang terpenting bukan bagaimana orang lain menilai langkahmu, tapi bagaimana kamu menghargai tiap pijakanmu sendiri.

Bersama anxiety yang Meski hingga kini masih kerap menghampiri tanpa aba-aba, Tara yakin ia mampu mencapai puncak keberhasilannya sendiri. Hidupnya mungkin tak seterang cahaya si sulung atau semeriah langkah si bungsu, tapi Tara tak akan berhenti melangkah. Ia percaya keberuntungan pun akan segera menghampirinya, cepat atau lambat. 

Tara memejamkan mata malam itu, dengan hati yang jauh lebih ringan. Ia tak lagi merasa harus mengejar segalanya. Karena hari ini, detik ini, sudah cukup indah untuk dirayakan.

 

                                     ***

 

                                  SELESAI

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • kyungsoo12

    relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    anxiety emang semenakutkan itu ya:)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    suka banget iiiii

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    Baru prolog dah menggambarkan anak tengah wkwk

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    tos dulu anak tengah

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    ceritanya sederhana, konfliknya gak berat, tapi ngena di hati

    Comment on chapter PROLOG
  • kuinchi_

    Seruuu bingitssss, ditunggu chapter selanjutnya ka intannaw😁

    Comment on chapter Bagian 23: Laut Biru Di Atas Sampul
Similar Tags
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
475      317     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
29.02
452      242     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
Konspirasi Asa
2973      1055     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Gray November
3972      1353     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...
PENYESALAN YANG DATANG TERLAMBAT
770      475     7     
Short Story
Penyesalan selalu datang di akhir, kalau diawal namanya pendaftaran.
Unexpectedly Survived
188      163     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Foodietophia
540      404     0     
Short Story
Food and Love
ANSWER
722      448     6     
Short Story
Ketika rasa itu tak lagi ada....
IF ONLY....
544      392     2     
Romance
Pertama kalinya aku merasakan jatuh cinta sepihak… Perasaan yang berakhir bahkan sebelum dimulai… Merasa senang dan sedih seorang diri, benar-benar seperti orang bodoh. Ada penyesalan besar dalam diriku, padahal masih banyak hal yang ingin kuketahui tentang dirinya. Jika saja aku lebih berani bicara padanya saat itu, kira-kira apa yang akan terjadi?
Senja di Balik Jendela Berembun
48      42     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...