Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

Awal April tahun 2024 datang dengan langit yang masih sering berawan. Udara kota belum juga memutuskan untuk benar-benar hangat atau dingin. Di dalam ruang kantor yang sunyi dan berisi ketukan-ketukan keyboard serta suara mesin pendingin ruangan yang mengalun lirih, Tara duduk di mejanya seperti biasa. Jemarinya menari di atas papan ketik, matanya sesekali melirik jam dinding. Tak ada yang berbeda dari hari itu, setidaknya, sampai suara ketukan pelan terdengar di pintu ruangannya.

Kak Ratu, HRD di PT Scentura Group, berdiri di ambang pintu dengan map di tangan. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.

"Putri," panggilnya pelan namun tegas.

Putri yang duduk di seberang Tara langsung menoleh. Suaranya seolah menarik satu titik dari ruang waktu yang hening. Tanpa banyak tanya, ia bangkit dan mengikuti langkah Kak Ratu keluar ruangan.

Tara menatap punggung mereka yang perlahan menghilang di balik pintu, lalu kembali ke layar komputernya. Ia tak berpikir macam-macam. Kak Ratu memang sering memanggil karyawan secara mendadak untuk berbagai hal, jadi barangkali hanya ada laporan atau evaluasi yang perlu dibicarakan.

Namun, tiga puluh menit kemudian, dunia kecil di ruangan itu berubah.

Putri kembali. Tapi bukan seperti saat ia pergi. Langkahnya lemah, wajahnya pucat. Mata yang biasanya berbinar kini sembap dan merah, seperti baru saja dihantam badai yang tak terlihat. Ia berjalan pelan menuju mejanya, lalu duduk tanpa berkata apa-apa. Suara tangis yang ia tahan mengendap-endap, tapi tak butuh waktu lama hingga suara itu benar-benar pecah di antara keheningan.

"Put, kamu kenapa?" bisik Tara, bingung dan cemas.

"Habis nangis ya?" tanya Nura.

"Kak Puput kenapa, ih?" Amel ikut bersuara, cemas melihat keadaan.

Putri tak menjawab. Hanya tangisnya yang menjadi bahasa. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, dan bahunya bergetar hebat.

"Put, cerita dong," kata Tara lagi, kali ini lebih lembut.

Putri mengangkat wajah, matanya masih basah.

"Aku... aku di-PHK," ucapnya lirih.

Semua yang ada di ruangan membeku. Suara-suara lenyap, hanya desiran AC yang terasa menusuk telinga.

"Hah?" Nura dan yang lain serempak kaget. Mereka tahu Putri bukan karyawan bermasalah. Beberapa minggu terakhir, ia bahkan terlihat cukup sibuk dan tekun.

"Gara-gara apa, Put? Kamu kan nggak pernah bikin salah," tanya Nura lagi, kini menaruh tangan di bahu Putri.

Putri menarik napas panjang, mencoba mengatur suaranya.

"Di antara semua CS, cuma aku yang pendapatannya paling kecil. Katanya... itu nggak cukup menutup biaya operasional, jadi mereka harus memutus kontrak." Suaranya patah-patah, seperti selembar kertas yang robek perlahan.

Mereka semua terdiam. Bahkan Tara, yang biasanya bisa dengan mudah menghibur, kini kehilangan kata. Ada perasaan waswas yang tiba-tiba tumbuh di dada masing-masing. Bila Putri saja bisa dihentikan kontraknya, siapa yang bisa menjamin mereka tidak?

Sore itu, tak lama setelah kejadian, sebuah pengumuman resmi masuk ke dalam grup internal kantor:

| [PENGUMUMAN RESMI – PT SCENTURA GROUP]

Sehubungan dengan evaluasi kinerja yang dilakukan oleh manajemen terhadap seluruh tim sales baik itu divisi Customer Service maupun Account Executive, maka mulai bulan April 2024, perusahaan akan menerapkan kebijakan baru berkaitan dengan target penjualan individu.

Adapun kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Setiap sales diwajibkan mencapai target penjualan minimum yang telah ditentukan oleh manajemen dan disesuaikan dengan perhitungan rasional berdasarkan data sebelumnya.

2. Apabila dalam dua bulan berturut-turut seorang sales tidak memenuhi target yang ditetapkan, maka perusahaan akan mengeluarkan Surat Peringatan (SP) sebagai langkah awal evaluasi.

3. Bila setelah diberikan SP kinerja tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, maka perusahaan berhak mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Diharapkan seluruh karyawan memahami pentingnya kebijakan ini demi kelangsungan operasional perusahaan ke depan. Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya.

Hormat kami,

Departemen Human Resource Development

PT Scentura Group

 

Grup kantor yang biasanya ramai dengan obrolan ringan tiba-tiba menjadi sunyi. Beberapa hanya mengetik "noted", beberapa lainnya mengirim stiker tangan yang memberi tanda paham, tapi tak satu pun yang benar-benar tenang.

Tara membaca pengumuman itu berulang kali. Matanya tertumbuk pada kalimat pemutusan hubungan kerja. Seolah-olah kata-kata itu memancarkan rasa dingin yang menyusup ke pori-porinya. Ia menarik napas panjang. Bulan April ternyata benar-benar membawa hujan. Bukan dari langit, tapi dari kabar yang membasahi hati diam-diam.

 

                                    ***

 

Tara awalnya masih mengira semua ini hanyalah lelucon awal bulan. Mungkin, pikirnya, ini hanya prank iseng dari HRD yang akan berakhir dengan tawa dan pelukan. Tapi ketika pesan dari Kak Ratu masuk ke masing-masing karyawan, isinya bukan ucapan selamat tinggal yang bercanda, melainkan permintaan iuran untuk membeli kenang-kenangan bagi Putri. Tara tahu, tak ada prank di April ini.

Sore itu, semua berkumpul di ruang tengah kantor. Hampers kecil berisi tas dan sepasang heels dengan warna netral sudah terbungkus rapi. Mereka memilih barang-barang itu dengan alasan yang sederhana tapi tulus agar bisa terus digunakan oleh Putri, agar setiap langkahnya nanti tetap ditemani kenangan dari kantor ini.

Ketika Putri datang dengan langkah pelan dan mata yang berkaca-kaca, suasana ruangan itu langsung berubah. Tak ada formalitas, tak ada pidato panjang. Hanya pelukan, tawa yang diselingi isak, dan kata-kata yang menggantung di antara dada yang sesak.

Tara yang paling tak kuasa menahan air matanya. Ia menghampiri Putri dengan pelukan erat, seperti anak kecil yang takut kehilangan teman sepermainan.

"Pokoknya kita harus sering ketemu dan main ya," kata Tara sambil terisak. Suaranya pecah, namun sungguh dari hati.

Putri mengangguk sambil menghapus air mata Tara dengan tisu yang mulai basah. "Pasti. Kabarin aku selalu ya... jangan sampai enggak."

Nura ikut menyusul. Ia memeluk Putri dari samping, pipinya merah karena menahan tangis yang tak juga jatuh.

"Put, nanti kalau aku lagi mumet, masih boleh curhat ke kamu kan?" Nura mencoba tertawa, meski suaranya bergetar.

"Harus. Kamu tuh tempat curhatku juga, Nur."

Amel menyodorkan kado sambil tersenyum kecut. "Ini buat kamu, Put... Jangan dilihat dari isinya ya, tapi dari hati kita semua."

Putri tersenyum sambil mengelus kado itu. "Makasih ya, Mel. Kalian baik banget. Aku nggak tahu gimana harus bales semuanya."

Lalu, semua mata tertuju pada Kak Ratu yang melangkah mendekat dengan map di tangan dan raut wajah penuh rasa bersalah.

Putri menatap Kak Ratu, mencoba tetap tersenyum, walau matanya kembali berkaca.

Kak Ratu menghela napas, lalu berbicara dengan lembut, suaranya sedikit bergetar.

"Putri... aku mau minta maaf mewakili perusahaan. Keputusan ini bukan karena kamu salah, bukan karena kamu kurang baik. Justru... kamu adalah salah satu karyawan yang paling jujur dan rajin yang kita punya."

Putri mengangguk pelan.

"Ini murni keputusan dari atas, karena efisiensi. Kita semua kena imbasnya, dan aku tahu... tidak mudah. Tapi aku yakin, kamu akan dapat tempat yang lebih baik. Kamu pantas untuk itu."

Putri tak berkata-kata. Ia hanya menunduk, menggenggam erat kado yang diberikan padanya. Seolah-olah, di sanalah semua kenangan tertinggal.

Tara menatapnya lama. Dalam hati, ia tahu, perpisahan memang bagian dari perjalanan. Tapi tetap saja, hari itu meninggalkan lubang kecil yang tak mudah ditambal. Dan ketika Putri berjalan meninggalkan ruangan untuk terakhir kalinya sebagai bagian dari tim, tidak ada satu pun yang bisa benar-benar menahan air mata.

Hujan di luar turun perlahan. Seperti mengerti, seperti turut mengantarkan.

Hari setelahnya, meja kerja Putri yang kosong menjadi pertanda. Bukan hanya tentang satu orang yang pergi, tapi juga tentang kecemasan yang mulai tumbuh dalam diam.

Dan bulan April, tercatat sebagai bulan terakhir Putri bekerja sebagai seorang Customer Service di PT Scentura Group.

 

                                     ***

 

Di pertengahan Mei 2024, ketika langit mendung menggantung tak tentu arah, kabar tak mengenakkan kembali berhembus di antara sekat-sekat ruang kerja Tara. Bukan lagi lewat pengumuman resmi, bukan juga lewat suara lantang yang terdengar dari pengeras suara kantor. Tapi dari bisik-bisik, tatapan kosong, dan langkah yang berat dari dua rekan satu timnya yaitu Nura dan Mas Andri.

Sekitar tiga puluh menit sebelumnya, keduanya dipanggil ke ruang HRD. Tara masih ingat betul wajah Nura yang tampak gelisah sebelum melangkah pergi. Dan kini mereka kembali, masing-masing membawa selembar kertas yang dilipat, digenggam erat seakan-akan isinya lebih berat dari yang bisa dipikul oleh dua tangan manusia biasa.

Tara, Amel, dan Awan langsung tahu, ada sesuatu yang tak biasa.

Mereka memperhatikan keduanya, bukan dengan tatapan ingin tahu, tapi lebih kepada kesiapsiagaan akan kabar buruk yang mungkin bisa menular. Tara mengalihkan pandangannya pada Nura yang duduk kembali di kursinya dengan wajah murung namun mencoba tersenyum.

"Kenapa, Nura? Ada masalah?" tanya Tara pelan.

Nura menoleh, senyumnya mengambang getir di antara ketegangan wajahnya. "SP, Ra. Kita… dapat SP."

Seketika itu juga, atmosfer ruangan seperti berubah. Sunyi. Tak ada suara printer yang biasanya bersahutan, tak ada tawa kecil yang biasa muncul dari chat internal tim. Semuanya hening, seolah napas pun ikut tertahan.

Amel mencondongkan badan, berbisik hampir tak terdengar, "Kamu serius, Kak Nur?"

Nura mengangguk. "Katanya, ini bentuk peringatan karena target belum tercapai. Tapi... ya kita semua tahu penyebabnya bukan semata-mata dari kita aja, kan?"

Mas Andri menambahkan dengan nada datar, "Mereka kasih waktu sampai akhir minggu ini. Kalau masih nggak naik... bisa kena evaluasi lagi."

Tara menatap kertas yang digenggam Nura. Ia tahu betul bagaimana usaha Nura dan Mas Andri beberapa bulan terakhir. Lembur, follow up konsumen sampai malam, tetap aktif walau jelas beban kerja tak sebanding dengan hasil. Tapi hari itu, semua usaha seperti tak lagi penting. Semua seolah diringkas dalam satu lembar surat peringatan.

Dalam hati Tara mulai merasa goyah. Sebab sejak Putri pergi, semuanya seperti menurun sedikit demi sedikit. Suasana tim tidak sehangat dulu, semangat pun ikut mengendur. Tapi yang paling ia takuti adalah... giliran siapa setelah ini?

Tara menatap layar laptopnya yang belum sempat ia sentuh kembali. Ia merasa gamang. Hatinya bertanya-tanya, apakah ia masih bisa terus di sini? Atau waktu juga tengah menghitung mundur untuknya?

 

                                    ***

 

Dan benar saja, di akhir Mei 2024, semua dugaan yang sempat mereka bisikkan perlahan berubah menjadi kenyataan pahit.

Pagi itu, langit tampak biasa saja. Tidak ada tanda-tanda hujan, tidak pula mentari yang terlalu cerah. Kantor pun berjalan sebagaimana biasanya, suara pintu dibuka, sapaan seadanya, suara sepatu yang beradu dengan lantai keramik. Tapi ada sesuatu yang terasa berbeda dari langkah Nura dan Mas Andri saat masuk ruangan.

Tak ada senyum. Tak ada obrolan singkat. Mereka hanya duduk. Diam. Hening.

Tara langsung tahu, firasat buruk yang sejak lama menggantung itu telah jatuh tepat di depan matanya.

"Kita dipanggil lagi sama Kak Ratu tadi pagi," ucap Nura perlahan, seolah takut kata-katanya akan runtuh sebelum selesai.

Tara menoleh. "Terus...?"

Mas Andri menarik napas panjang, lalu mengeluarkan selembar amplop dari dalam map yang ia bawa. "Surat pengakhiran hubungan kerja, besok... hari terakhir kita."

Tak ada suara lain setelah itu, hanya detak jarum jam di dinding dan dada Tara yang berdebar lebih cepat dari biasanya.

Nura mencoba tersenyum. "Aku pikir aku sudah siap, Ra. Tapi tetap aja... rasanya nyesek."

Tara tak bisa berkata-kata. Matanya mulai panas. Ia mengingat bagaimana Nura dan Mas Andri bekerja, selalu sigap, selalu bantu tim, bahkan tak pernah memperlihatkan keluhan meski beban kerja terus bertambah.

Amel mendekat dan langsung memeluk Nura. "Kita gak akan lupa. Kalian tetap yang terbaik buat kita."

Tara menunduk. Bulan ini, ia kehilangan lagi dua orang yang telah menjadi bagian dari kesehariannya di kantor. Setelah Putri, kini Nura dan Mas Andri. Ia merasa seolah tim yang pernah menghidupkan ruangan kecil itu perlahan menghilang satu per satu, meninggalkan kekosongan yang sulit diisi.

Dan di kursinya, Tara tahu, ia mungkin akan bertahan sedikit lebih lama. Tapi entah sampai kapan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (17)
  • kyungsoo12

    relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    anxiety emang semenakutkan itu ya:)

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    suka banget iiiii

    Comment on chapter PROLOG
  • asmira24

    Baru prolog dah menggambarkan anak tengah wkwk

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    tos dulu anak tengah

    Comment on chapter PROLOG
  • rakasyanuka

    ceritanya sederhana, konfliknya gak berat, tapi ngena di hati

    Comment on chapter PROLOG
  • kuinchi_

    Seruuu bingitssss, ditunggu chapter selanjutnya ka intannaw😁

    Comment on chapter Bagian 23: Laut Biru Di Atas Sampul
Similar Tags
Konspirasi Asa
2802      966     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Hematidrosis
391      261     3     
Short Story
Obat yang telah lama aku temukan kini harus aku jauhi, setidaknya aku pernah merasakan jika ada obat lain selain resep dari pihak medis--Igo. Kini aku merasakan bahwa dunia dan segala isinya tak pernah berpihak pada alur hidupku.
Melody Impian
633      434     3     
Short Story
Aku tak pernah menginginkan perpisahan diantara kami. Aku masih perlu waktu untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaanku padanya tanpa takut penolakan. Namun sepertinya waktu tak peduli itu, dunia pun sama, seakan sengaja membuat kami berjauhan. Impian terbesarku adalah ia datang dan menyaksikan pertunjukan piano perdanaku. Sekali saja, aku ingin membuatnya bangga terhadapku. Namun, apakah it...
Letter From Who?
484      335     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
MONSTER
6301      1731     2     
Romance
Bagi seorang William Anantha yang selalu haus perhatian, perempuan buta seperti Gressy adalah tangga yang paling ampuh untuk membuat namanya melambung. Berbagai pujian datang menghiasi namanya begitu ia mengumumkan kabar hubungannya dengan Gressy. Tapi sayangnya William tak sadar si buta itu perlahan-lahan mengikatnya dalam kilat manik abu-abunya. Terlalu dalam, hingga William menghalalkan segala...
karena Aku Punya Papa
488      353     0     
Short Story
Anugrah cinta terindah yang pertama kali aku temukan. aku dapatkan dari seorang lelaki terhebatku, PAPA.
Langit Tak Selalu Biru
68      58     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Just Another Hunch
485      335     3     
Romance
When a man had a car accident, it\'s not only his life shattered, but also the life of the ones surrounding him.
SALAH ANTAR, ALAMAKK!!
847      598     3     
Short Story
EMMA MERASA BOSAN DAN MULAI MEMESAN SESUATU TAPI BERAKHIR TIDAK SEMESTINYA
Suara yang Tak Pernah Didengar
324      199     9     
Inspirational
Semua berawal dari satu malam yang sunyi—sampai jeritan itu memecahnya. Aku berlari turun, dan menemukan hidupku tak akan pernah sama lagi. Ibu tergeletak bersimbah darah. Ayah mematung, menggenggam palu. Orang-orang menyebutnya tragedi. Tapi bagiku, itu hanya puncak dari luka-luka yang tak pernah kami bicarakan. Tentang kehilangan yang perlahan membunuh jiwa. Tentang rumah yang semakin sunyi. ...