Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

Malam itu, rumah dipenuhi tawa dan kisah yang ramai. Dira dan Sekar tak henti-hentinya bercerita, tentang dunia luar yang terasa begitu hangat bagi mereka. Dira, berbagi kisah tentang kehidupannya di kantor, tentang kenaikan jabatannya yang membuat banyak orang kini menaruh hormat padanya. Ia berkata, ada semacam rasa bangga yang tumbuh dalam dirinya, karena kini ia menjadi seseorang yang selalu dicari dan dibutuhkan. Seseorang yang dianggap penting.

Lalu Sekar, dengan semangat anak muda yang meledak-ledak, bercerita tentang petualangan kecilnya bersama teman-teman usai menonton film di bioskop. Tentang cerita layar lebar yang ramai, tentang mereka yang sempat nyasar ke studio lain, dan bagaimana mereka akhirnya tertawa karenanya.

Namun di sudut ruangan yang sama, ada Tara. Ia mendengar semua, tetapi jiwanya tak hadir sepenuhnya. Matanya kosong, senyumnya tipis, hatinya sepi. Ia kembali menjadi penonton dari panggung keluarga yang ramai. Bukan karena ia tak ingin ikut serta, tapi pikirannya melayang jauh, tentang PHK yang baru saja menimpa Putri, Nura dan Mas Andri , tentang teman-teman salesnya yang lain yang juga berada di posisi genting. Dan dirinya sendiri yang tak tahu kapan gilirannya tiba.

Malam itu ia bagai robot, digerakkan oleh kebiasaan, ikut tertawa tanpa benar-benar merasa lucu, menanggapi dengan anggukan tanpa makna. Di dalam dirinya, badai telah lama terjadi. Sunyi yang mencekam. Cemas yang menggigit pelan-pelan. Sedih yang tak punya tempat untuk berlabuh.

"Kenapa terjadi di aku lagi?" tanyanya lirih, entah pada siapa. Mungkin hanya pada cicak di dinding, yang diam-diam memperhatikannya.

 

                                    ***

 

Ketika malam semakin larut, saat Sekar sudah tertidur di sampingnya, gelisah kembali mengetuk dada Tara. Bukan panik yang membuat jantung berdebar, bukan rasa takut akan gila dan mati, tapi rasa kosong yang sulit dijelaskan. Seperti sedang tenggelam, tapi tidak cukup dalam untuk berteriak.

Ia memutuskan menghubungi Awan. Berharap kehadiran lelaki itu, walau hanya lewat layar, bisa menenangkan pikirannya yang kusut. Tapi setelah beberapa kali panggilan tak dijawab, Tara mulai merasa sendirian lagi. Sampai akhirnya panggilan kelima dijawab.

Wajah Awan muncul. Nampak kusut. Mata sipit. Rambut acak-acakan dan kamarnya yang sudah gelap.

"Apa?" suaranya serak dan pendek.

Tara tercekat. Itu bukan suara yang biasa ia dengar dari Awan. Itu bukan nada yang biasa menyambutnya.

"Aku panik," katanya akhirnya, dengan suara pelan.

Awan mengusap wajahnya. "Tidurin aja ya, nanti juga paniknya ilang."

Seperti air yang membasuh bara, kalimat itu tidak memadamkan, malah membuat sesak. Tara memaksakan senyum.

"Aku ngantuk banget, Ra," ucap Awan lagi, hampir seperti permintaan untuk segera diakhiri.

"Iya, maaf ya ganggu. Kamu lanjut tidur aja."

Setelah panggilan berakhir, Tara hanya duduk diam. Tidak ada pesan lanjutan dari Awan malam itu. Dan ia pun tidak menanyakan apapun lagi.

 

                                     ***

 

Pagi menjelang. Hari Minggu. Tara ingin ke Gramedia. Ia merasa perlu menyegarkan kepala, mencari udara yang lebih tenang, atau mungkin hanya ingin berjalan di antara rak-rak buku yang diam tapi penuh makna.

Ia mengirim pesan dulu. Lalu menelpon.

"Kenapa, Ra?" suara Awan terdengar di ujung sana.

"Temenin aku ke Gramedia, yuk!" Tara berkata dengan nada ceria yang dibuat-buat, seolah ingin membuang jauh semua gundahnya, apalagi mengingat kejadian semalam. 

Beberapa detik hening. Suara kresek-kresek mengisi celah. Lalu sebuah jawaban datang.

"Maaf ya, Ra. Hari ini aku udah janji main sama teman seangkatan."

Tara menunduk. Matanya menatap lantai. Napasnya berat. Tapi ia tak menunjukkan itu.

"Iya... gapapa."

Telepon dimatikan.

Setelahnya, Tara memberanikan diri. Ia berdiri, berganti pakaian, membawa tote bag kesayangannya, dan melangkah keluar rumah. Tak ada yang mengantarnya, tak ada tangan yang menggenggamnya di sepanjang perjalanan. Tapi Tara tahu, ada satu hal yang harus ia jaga hari itu: dirinya sendiri.

Ia pergi ke Gramedia. Sendiri.

Di antara rak-rak buku yang diam dan penuh makna, ia merasa seperti bertemu teman lama. Tak satu pun dari mereka berbicara, tapi semuanya mendengarkannya dalam diam. Tara berjalan pelan, sesekali berhenti, membaca sepenggal kisah di belakang bukunya yang tak ia benar-benar pahami satu persatu. Tapi, cukup untuk membuatnya merasa ditemani.

Dan di sana, diam-diam, tanpa satupun orang tahu, ada tangis yang mulai Tara tahan sekuat yang ia bisa, ketika bayangan dari suara-suara keluarganya tadi malam dan suara Awan memenuhi pikirannya, dadanya sesak tiba-tiba.

Lalu satu pertanyaan menamparnya diam-diam.

"Apa aku terlalu mengandalkan dia untuk mengisi lubang di hatiku yang harusnya aku peluk sendiri dulu?"

 

                                      ***

 

Di penghujung tahun 2024

Desember datang tanpa suara. Angin yang biasanya sibuk membawa hawa-hawa liburan, kini hanya menyisakan sepi di antara lorong-lorong kantor yang kehilangan tawa. Meja Amel sudah kosong sejak seminggu lalu, meninggalkan bekas hangat yang perlahan mendingin, seperti teh yang tak sempat dihabiskan. Penjualan marketplace yang tak sesuai harapan, membuat anak itu juga ikut tersingkirkan. 

Tara duduk diam di kursinya, menatap layar komputer yang menampilkan laporan penjualan. Sunyi, seperti ruangan ini. Di ruang tempat dulunya ia dan teman-temannya berbagi cerita, kini hanya tersisa ia, Awan, dan satu orang pendatang baru yang masih belajar ritme kerja. Di luar ruangan, tim Account Executive masih sibuk, tetapi Tara tahu, bahkan mereka pun tak sepenuhnya tenang.

Semua orang kini bekerja seperti sedang meniti tali yang menggantung di atas jurang: hati-hati, tak banyak suara, dan menahan napas.

 

                                     ***

 

Sore itu langit seperti ikut murung. Matahari tergantung malu-malu di balik awan kelabu, seolah tak ingin terlalu terang di tengah dunia yang terasa redup. Tara duduk di boncengan motor Awan. Hangat, tapi tak mampu mengusir dingin yang pelan-pelan merayap dari dalam hati.

Mereka tak banyak bicara, hanya suara angin dan deru mesin yang menemani perjalanan pulang. Jalanan tampak biasa, tapi batin mereka riuh oleh hal-hal yang tak terucap.

Lalu, di tengah sunyi itu, Awan berkata lirih, namun jelas.

"Aku takut perusahaan ada di tahap bangkrut, Ra."

Kalimat itu seperti embun dingin yang mendarat di dada Tara. Ia menunduk pelan, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam pikirannya. Ketakutan yang sama memang sudah lama bersemayam, hanya saja belum berani ia beri nama.

"Semoga aja nggak," jawabnya, nyaris seperti doa.

Awan melanjutkan, masih dengan nada yang rawan patah.

"Kalau kita sama-sama kena PHK juga, dan udah nggak sekantor, LDR atau jarang ketemu... kita jangan sampai putus ya, Ra. Aku mau selalu sama kamu."

Tara menahan napas sejenak. Kata-kata itu manis, tapi juga menyiratkan luka. Ia tahu, bukan hanya kehilangan pekerjaan yang menyakitkan, tapi kehilangan satu sama lain mungkin akan jauh lebih berat. Dan sekiranya mereka sama-sama kena PHK, itu berarti mereka akan jarang bertemu nantinya. 

Tara tersenyum kecil, lelah dan letih, tapi masih ada rasa hangat yang tersisa.

"Iya, lagian siapa juga yang mau putus," katanya sambil mengeratkan pegangannya pada jaket dikedua pinggang Awan, seperti ingin memastikan bahwa meski dunia mereka goyah, cinta ini setidaknya masih punya pijakan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • yuliaa07

    real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii

    Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik
  • pradiftaaw

    part damai tapi terjleb ke hati

    Comment on chapter Bagian 18: Teman yang Bernama Cemas
  • langitkelabu

    tidak terang tapi juga tidak redup:)

    Comment on chapter PROLOG
  • jinggadaraa

    gak cuman diceritain capeknya anak tengah ya, tapi juga ada selip2an anak sulung dan bungsunya:) the best cerita ini adil

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    makasih Tara sudah kuat, makasih juga aku

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    gimana gak ngalamin trauma digunjang gempa sendirian:('(

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rayanaaa

    seruu banget

    Comment on chapter EPILOG
  • rayanaaa

    Oke, jadi Tara itu nulis kisahnya sendiri ya huhuu

    Comment on chapter EPILOG
  • auroramine

    ENDING YANG SANGAT MEMUASKAN DAN KEREN

    Comment on chapter EPILOG
  • jisungaa0

    nangis banget scene inii

    Comment on chapter Bagian 30: Renungan
Similar Tags
Seseorang Bernama Bintang Itu
551      389     5     
Short Story
Ketika cinta tak melulu berbicara tentang sepasang manusia, akankah ada rasa yang disesalkan?
The Second Lady?
469      342     6     
Short Story
Tentang seorang gadis bernama Melani yang sangat bingung memilih mempertahankan persahabatannya dengan Jillian, ataukah mempertahankan hubungan terlarangnya dengan Lucas, tunangan Jillian?
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
743      443     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.
SENJA
577      444     0     
Short Story
Cerita tentang cinta dan persahabatan ,yang berawal dari senja dan berakhir saat senja...
LARA
9020      2179     3     
Romance
Kau membuat ku sembuh dari luka, semata-mata hanya untuk membuat ku lebih terluka lagi. Cover by @radicaelly (on wattpad) copyright 2018 all rights reserved.
6 Pintu Untuk Pulang
669      393     2     
Short Story
Dikejar oleh zombie-zombie, rasanya tentu saja menegangkan. Apalagi harus memecahkan maksud dari dua huruf yang tertulis di telapak tangan dengan clue yang diberikan oleh pacarku. Jika berhasil, akan muncul pintu agar terlepas dari kejaran zombie-zombie itu. Dan, ada 6 pintu yang harus kulewati. Tunggu dulu, ini bukan cerita fantasi. Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke dalam komik tentang zombie...
Behind The Spotlight
3913      1943     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
629      444     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
577      396     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
Je te Vois
1810      933     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...