Hari itu kantor sedang lengang. Debur aktivitas tak lagi seramai pagi, hanya suara AC dan sesekali ketikan keyboard yang terdengar samar. Tara duduk di mejanya, membiarkan matanya menari di layar ponsel yang diam-diam ia buka di sela waktu yang longgar. Di layar Instagram-nya, jemarinya berhenti pada satu unggahan yang tampak mencuri perhatian: sebuah pengumuman lomba menulis dari akun penerbit Purnama Books.
Ada getaran halus yang merambat ke dada saat ia membaca detail perlombaan itu. Tema yang ditawarkan adalah romance atau slice of life, diantara dua dunia yang sangat akrab dalam benaknya, dua ruang yang sering ia kunjungi dalam tulisan-tulisan diam-diamnya. Belum lagi iming-iming hadiah: naskah pemenang akan diterbitkan, dijadikan buku bersama dua karya lainnya, ditambah uang tunai dan buku gratis pilihan dari penerbit. Hadiah yang tidak hanya menarik, tapi juga terasa seperti kesempatan kecil yang mengetuk hatinya.
Tara tidak berpikir lama. Sesuatu di dalam dirinya seperti menyala tiba-tiba. Ia menyukai unggahan itu, membagikannya ke Instagram Story tanpa ragu, lalu membuka notes digitalnya. Di antara deadline pekerjaan dan notifikasi rapat, ia mulai mengukir harapan kecil: ikut lomba ini, siapa tahu jadi jalan baru.
Namun langkah pertamanya tidak mudah. Memilih tema adalah seperti memilih nyawa untuk cerita dan ia ingin memberikan yang terbaik. Tara sempat terpikir untuk menulis romance, tapi hatinya menolak alur yang klise. Ia ingin menulis sesuatu yang tetap romantis, tapi dengan napas yang berbeda.
Pikiran itu terus menggelayut bahkan hingga waktu istirahat. Bersama Awan, kekasihnya, Tara duduk di sebuah kafe kecil di dekat kantor. Mereka memesan bomboloni dan dua gelas minuman manis yang jadi pelengkap percakapan siang itu. Sinar matahari menyelinap dari sela jendela kaca, memantulkan bayangan lembut di meja kayu tempat mereka duduk.
Tara mengaduk minumannya perlahan, lalu bertanya, "Kira-kira tema apa yang cocok untuk genre romance tapi yang nggak biasa?"
Awan berpikir. Ia memotong bomboloni perlahan dengan ujung garpu, sejenak termenung sebelum menjawab sambil mengangguk pelan, "Gimana kalau kamu ciptain tema yang ada kaitannya sama kamu?"
Jawaban yang sederhana, tapi seperti membuka pintu baru dalam kepala Tara. Ia menatap bomboloni yang belum disentuhnya, membayangkan isi cerpen yang belum juga tergambar, lalu tersenyum kecil. Mungkin memang jawaban terbaik selalu datang dari hal yang paling dekat.
Saat makan siang selesai dan mereka kembali ke kantor, langkah Tara terasa sedikit lebih ringan. Sesampainya di meja, di antara dokumen yang menumpuk dan suara rekan-rekan kerja yang mulai berdatangan, ia seperti menemukan satu celah ketenangan untuk merenung. Dari dirinya sendiri, perlahan muncul satu kata: anxiety.
Ya, anxiety. Bukan sesuatu yang asing. Bukan sekadar kata. Itu bagian dari dirinya yang kerap muncul diam-diam, yang mengguncang hati pada malam-malam sunyi, yang membuatnya merasa sendiri meski dikelilingi banyak orang. Dan justru dari situ, ia ingin membangun sebuah kisah.
Bukan tentang gadis sempurna yang jatuh cinta dengan indahnya. Tapi tentang seseorang yang merasa hancur, namun tetap ingin dicintai. Tentang keberanian mencintai saat diri sendiri belum selesai dipahami. Tentang romansa yang tidak manis seluruhnya, tapi jujur adanya.
Tara membuka laptop, jari-jarinya mulai mengetik ide di sebuah dokumen kosong. Tak ada keraguan kini. Ia tahu ke mana ingin membawa ceritanya. Ke dalam labirin perasaan yang selama ini mungkin tak pernah dimenangkan, tapi selalu ia perjuangkan.
***
Di rumah, Tara duduk di hadapan laptopnya, di pojok kamar yang sunyi. Hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang menguar lewat jendela yang sedikit terbuka. Di layar yang menyala redup, kursor berkedip, menunggu dengan sabar di baris pertama halaman kosong.
Ia menarik napas dalam-dalam.
Ada yang terasa berat di dada, namun tak bisa ia ucapkan dengan mulut. Maka seperti biasa, ia memilih menulis. Menyulam keresahan menjadi kata, menjahit perasaan yang tercecer menjadi paragraf.
Tangannya mulai bergerak pelan, dan kalimat demi kalimat mengalir, seperti air yang menemukan celahnya:
"Anxiety... kehadirannya sering kali melahirkan berbagai pikiran yang melampaui batas kewarasan manusia. Banyak orang yang merasa terperangkap dalam penderitaan karena hal ini. Langkah kaki kerap kali ragu karena takut bila nantinya akan terjatuh. Ribuan kalimat tersangkut di tenggorokan, gugup melingkupi setiap percakapan. Rasa cemas muncul saat berinteraksi sebab khawatir akan diabaikan. Keinginan untuk memulai sering kali terhenti oleh bayangan kegagalan yang menghantui. Pikiran-pikiran tak terhitung jumlahnya berusaha merajai, menghentikan diri ini untuk menemukan kedamaian dalam menjalani hidup."
Tara menatap tulisan itu lama, lalu mengetikkan satu kalimat kecil di atasnya. Judul cerita yang ingin ia bawa untuk mengikuti lomba dari penerbit Purnama Books.
"Anxiety: Simpul di Antara Kita," tulisnya.
Judul itu bukan sekadar label. Ia adalah potret perasaan yang selama ini membekas di dalam hatinya. “Simpul” adalah kata yang tepat, cerminan dari bagaimana kecemasan telah mengikat langkahnya, perasaannya, dan kadang, bahkan kebahagiaannya sendiri.
Ia mengernyit kecil, memikirkan kembali momen beberapa jam lalu, ketika ia dan Awan makan siang bersama di sebuah kafe sederhana. Kala itu, Tara sedang bimbang memilih tema.
"Gimana kalau kamu ciptakan tema yang ada kaitannya dengan kamu?"
Saran Awan mengendap di benaknya.
Dan jawabannya baru benar-benar terasa. Kini anxiety adalah bagian dari dirinya. Bukan sesuatu yang ingin ia sembunyikan lagi, melainkan sesuatu yang ingin ia hadapi... dan mungkin, bagi beberapa orang, dikenali.
Ia kembali mengetik, melanjutkan pembukaan ceritanya dengan suara hati yang perlahan mulai berani:
"Anxiety itu seperti alarm yang rusak, dia bisa berbunyi kapanpun, menandakan bahaya yang bahkan tak ada. Dan sialnya dia bisa membuatmu terjebak dalam ketakutan. Bagaimana rasanya hidup dalam belenggu anxiety?"
Rasanya seperti berjalan di atas tali yang menggantung tinggi, seimbang adalah sebuah perjuangan, dan jatuh adalah bayangan yang terus menghantui.
Rasanya seperti ingin bicara, tapi suara tak pernah keluar. Ingin dekat, tapi langkah malah menjauh.
Rasanya seperti bersembunyi di balik tawa, agar tidak ada yang tahu bahwa di dalam hati sedang berteriak meminta tolong.
Rasanya… seperti menjadi asing dalam diri sendiri.
Tara berhenti sejenak. Layar laptop memantulkan bayangan wajahnya yang kelihatan tenang di luar, padahal ribut di dalam. Tapi malam ini, ia merasa sedikit lebih ringan. Sedikit lebih jujur.
***
Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Setelah beberapa jam berkutat dengan kata-kata, Tara akhirnya menutup laptopnya. Matanya terasa berat, punggungnya pegal, dan pikirannya mulai melayang pada tugas-tugas esok pagi. Ia tahu, tubuhnya butuh istirahat. Maka dengan pelan, ia merebahkan diri di atas kasur. Sekar, sang adik, sudah lebih dulu terlelap, napasnya terdengar tenang di sela kesunyian malam.
Namun tepat saat Tara hendak menarik selimut, ponselnya tiba-tiba berdering. Layarnya menyala, memperlihatkan nama yang langsung membuat sudut bibirnya terangkat kecil, Awan. Sebuah panggilan video masuk.
Tara menekan tombol hijau.
Wajah Awan muncul di layar, terlihat agak kusut. "Ra? Aku kira kamu udah tidur loh, soalnya chat aku sejak sejam yang lalu gak dibalas, dibaca aja enggak," ucapnya dengan nada setengah kesal.
Tara tertawa kecil, cepat-cepat menurunkan suara. "Ya ampun, maaf ya. Aku nggak ngeh, tadi lagi keasikan nulis," katanya pelan, sambil melirik Sekar yang masih pulas.
Awan menghela napas sebentar, tapi senyumnya kembali muncul. "Iya, nggak apa-apa kok. Jadi gimana? Udah dapat ide buat lomba nanti?"
Tara mengangguk, matanya berbinar. "Udah. Udah ditulis sebagian juga."
Awan mengangguk kagum dari balik layar. "Hebat banget si pacar aku!"
Tara mengernyit malu, menyembunyikan senyum di balik selimut. Entah mengapa, pujian sederhana dari Awan selalu membuat hatinya menghangat.
"Kamu kalau tidur tim lampu mati atau lampu nyala?" Tara bertanya random, untuk mengalihkan rasa malunya.
"Aku tim lampu mati dong!" jawab Awan semangat. "Kalau pacar aku, tim apa?"
Tara hendak menyembunyikan malunya lagi, tapi buru-buru ia usir rasa itu, "Aku tim lampu nyala, takut kalau gelap hehe."
"Loh takut kenapa? Gak baik loh kalau tidur lampu masih nyala."
"Iya aku tahu kok, tapi tetap aja takut. Semuanya kebayang, termasuk film horor yang ditonton beberapa minggu lalu, semuanya kebayang di kepala ini," timpalnya tak mau kalah.
Awan tertawa cukup kencang, ia mengangguk-ngangguk tanpa ada niat memperpanjang atau mendebatkan hal kecil ini. "Iya deh iya, siap."
Malam itu, mereka mengobrol cukup lama. Dari hal-hal penting seperti cerita lomba, hingga hal-hal kecil yang sepele tapi hangat. Awan selalu tahu caranya membuat Tara nyaman. Ia memperhatikan bagaimana gadis itu berubah saat bersamanya, dari yang penuh kegelisahan, menjadi sosok yang ringan dan ceria, seperti anak kecil yang akhirnya bisa bernapas lega.
Lama-kelamaan, suara Tara mulai melambat. Matanya setengah tertutup, tangannya sudah tidak terlalu menggenggam ponsel dengan erat.
Sampai akhirnya, dia tertidur dalam panggilan itu.
Awan masih menatap layar ponselnya lama, seakan tak ingin melewatkan satu detik pun melihat wajah Tara yang damai dalam tidurnya. Ada simpul kecil di dada Awan saat itu. Antara rindu, cinta, dan harapan agar Tara suatu hari benar-benar bebas dari jerat rasa cemas yang sering membungkusnya.
Dalam diam, ia berbisik pelan, meski tahu Tara tak lagi bisa mendengarnya:
"Semangat ya, Ra. Ceritamu pasti akan menyentuh banyak orang. Karena kamu... selalu menyentuh aku."
relate banget, gak berlebihan cerita ini (emot nangis)
Comment on chapter PROLOG