Hari demi hari, Tara merasa semakin dekat dengan Awan. Ada sesuatu yang tumbuh perlahan, tak bernama, tapi terasa. Hubungan mereka terasa makin spesial, seperti ada rasa yang sama-sama mereka pertanyakan, namun belum berani mereka ungkapkan. Hari-hari pulang Tara kini selalu diiringi suara mesin motor dan cerita-cerita kecil yang dibagikan di balik helm.
Sore itu, mereka tengah membahas jalannya cerita dari Buku Konspirasi Alam Semesta. Awan baru saja selesai membaca novel yang ia pinjam dari Tara, dan diskusi mereka mengalir di atas motor yang melaju.
"Serius deh, Mas. Aku suka banget cara pikir Juang di novel itu, kritis, bijaksana. Tapi aku nggak suka ending-nya, Juang jadi egois," ujar Tara sedikit berteriak, khawatir suaranya tenggelam di antara angin dan mesin.
"Iya, aku juga suka sama Juang. Dia berani ambil keputusan. Tapi bener, dia egois di akhir," balas Awan sambil sesekali melirik ke spion, menangkap pantulan senyum Tara yang membuat dadanya hangat.
"Iya, kasihan Ana... Lagi hamil malah ditinggal suaminya," gumam Tara.
"Ya, tapi itu juga bukti kalau Juang cinta banget sama tanah airnya," sahut Awan.
Tara mengangguk, meski tak terlihat dari depan. "Tapi mereka lucu sih... jadian di puncak gunung, nggak pasaran banget. Haha."
"Kamu mau juga?"
"Mau apa?"
"Jadian di puncak gunung?"
Pertanyaan itu membuat waktu seolah terhenti. Tara terdiam. Ada yang berdesir pelan di dadanya. Ia tak tahu harus menjawab apa, jadi ia memilih mengalihkan.
"Aku pengin naik bianglala. Sama kayak Ana, ngelihat senja dari atas kincir angin."
Awan tersenyum. Senyum yang tak dilihat oleh Tara. Motor terus melaju, menyusuri langit yang mulai mendung. Diam-diam, tangan Tara menarik sedikit ujung jaket Awan, seolah ia tak ingin jatuh dari ruang tenang yang perlahan mereka ciptakan bersama.
***
Minggu pagi, usai menjemur sepatunya di belakang rumah, Tara menerima notifikasi dari seseorang yang kini akrab mengisi hari-harinya: Awan.
| "Ra, main yuk!"
Tara mengernyit heran, lalu membalas:
| "Hah? Main ke mana?"
| "Naik bianglala."
Tara terdiam sejenak, lalu menjerit kecil. Ada bahagia yang membuncah. Naik bianglala memang jadi mimpinya sejak lama. Meski Jakarta punya banyak wahana tinggi itu, entah kenapa ia belum pernah sekalipun mencobanya. Kini, ajakan itu datang dari seseorang yang belakangan mulai mengisi ruang hatinya.
Tanpa ragu, Tara bersiap. Ia mandi, berdandan sederhana dengan kaus panjang garis-garis biru putih dan celana jeans gelap, ditambah riasan tipis di wajahnya. Saat keluar rumah, Vespa hijau Awan sudah terparkir di depan, bersama pemiliknya yang mengenakan sweater hijau tua dan celana jeans hitam. Kehadirannya membuat jantung Tara berdetak lebih cepat. Ia mengambil helm dari bagasi, lalu mereka pun melaju, berpadu dengan hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah tidur.
Awan membawanya ke Dufan. Setelah membeli tiket, mereka masuk dengan penuh semangat, tertawa dan bercanda sepanjang jalan. Roller coaster jadi wahana pertama mereka. Tara sempat ketakutan, berteriak sekuat tenaga dan meminta berhenti, tapi begitu selesai, ia justru ketagihan, teriakannya seperti melepaskan semua hal yang selama ini ia pendam. Seperti sunyi yang akhirnya menemukan suara.
Setelah itu mereka naik kuda berputar, Tara bahagia memilih kuda paling lucu. Mereka hampir menjajal semua wahana, sampai akhirnya sore datang dan senja mulai menyapukan jingga di langit barat. Saat itulah mereka naik bianglala.
Putaran lambatnya seperti waktu yang berjalan pelan-pelan, memberi ruang untuk bernapas. Saat gondola mereka sampai di puncak, Tara membelakangi senja, tapi wajahnya bersinar seolah cahaya itu datang dari dalam dirinya.
"Kita udah di puncak, nih," bisik Awan.
Tara hanya mengangguk kecil.
"Boleh aku bicara serius, Ra?"
Tara sedikit terkejut, tapi tanpa kata, ia mengangguki pertanyaan dari Awan.
"Kita di sini bukan kebetulan, Ra. Kita udah lama kenal, banyak hal yang udah kita bagi. Dan aku jatuh cinta... sama cara kamu kagum sama hal-hal kecil. Sama langit, sama buku, sama tulisan kamu."
Tara tak sanggup berkata-kata. Di tengah keinginannya untuk menyendiri, semesta justru menyodorkan momen paling hangat dalam hidupnya.
Awan menatap matanya dalam. "Tara Aksara, mau nggak jadi pacarku?"
Tara tertawa kecil, bahagia sekaligus malu. Awan masih gelisah menunggu jawaban.
"Duh, ayok jawab dong. Sebentar lagi kita sampai bawah," katanya tak sabar.
Tara menatap senja sekali lagi, cahayanya membias di wajahnya. Lalu ia menatap Awan, yang masih gelisah seperti bocah.
Dengan suara pelan, nyaris seperti doa. Tara berkata, "Iya, aku mau."
***
Dan dunia seolah berhenti berputar untuk sejenak. Suara hiruk-pikuk taman bermain menghilang di latar, digantikan oleh detak jantung dua anak manusia yang baru saja saling membuka hatinya. Tara memejamkan mata sejenak, membiarkan udara senja menyapu wajahnya yang hangat, bukan karena terik, tapi karena kebahagiaan yang tak bisa disangkal. Di sampingnya, Awan tersenyum. Senyum yang penuh rasa syukur dan lega, seperti seseorang yang akhirnya tiba di tempat yang sudah lama ingin ia tuju.
"Terima kasih," gumam Awan pelan.
"Buat apa?"
"Buat berani jatuh cinta padaku, di tengah semua ketidakpastian yang mungkin kamu rasakan."
Tara menatap matanya, dan untuk pertama kalinya ia merasa tidak ingin lagi lari dari perasaan yang sejak lama hanya berani ia pendam. “Mungkin karena kamu bikin semua hal terasa pasti, meskipun gak ada satu pun di dunia ini yang benar-benar pasti.”
Bianglala itu kembali berputar, membawa mereka dan kembali turun perlahan, tapi keduanya tahu, mereka sedang menuju naik menuju perjalanan baru yang tak sekadar memutar ruang dan waktu, tapi juga hati. Tara memperhatikan Awan lebih dalam, seolah ingin berkata, Terimakasih sudah mengajakku meraih mimpi sederhana ini: menaiki bianglala.
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik