Loading...
Logo TinLit
Read Story - The First 6, 810 Day
MENU
About Us  

Noah, seseorang yang sangat-sangat ingin ku temui. Bagaimana bisa aku melupakannya? Aku tidak tahu apakah kehilangan kontak dengannya membuatku juga lupa dengannya. Dua tahun berlalu, kupikir semuanya akan memudar selamanya dan tidak akan kembali berwarna. Namun, kehadiranku ke pulau ini ternyata perlahan-lahan membuka lembaran lama yang telah lama kututup.

Aku bertemu Noah melalui sebuah surat. Aku sudah lupa bagaimana awal mulanya, namun surat itu terus menerus kubalas. Aku bahkan tidak tahu lagi sudah berapa surat yang terkirim dan kuterima. Minggu demi minggu yang mendebarkan, aku selalu menanti suratnya dengan rasa penasaran—akan ada kejutan apa di surat itu nantinya.

Hanya surat, ya, hanya surat. Tidak ada nomor telepon atau alamat email. Tidak dariku. Namun, aku sempat mendapatkan nomor telepon Noah di tujuh surat terakhir kami. Aku sengaja memintanya, bukan untuk menghubunginya, melainkan karena aku ingin diam-diam mendaftarkannya dalam sebuah seleksi karya seni. Dia sama sekali tidak tahu soal itu. Karya lukis cat minyak yang dia kirimkan padaku sebagai hadiah, kugunakan diam-diam untuk mendaftarkannya. Kupikir lukisan itu terlalu bagus hanya untuk menjadi hadiah pribadi. Ternyata, karyanya terpilih sebagai salah satu dari sepuluh terbaik dan dia diundang ke kota tempatku tinggal untuk seleksi akhir.

Pada awal kami bertukar surat, kami tidak pernah saling meminta nomor telepon ataupun akun media sosial. Semuanya mengalir begitu saja. Walau terkadang aku terpikir untuk meminta, tidak pernah kutuliskan dalam surat-suratku—sampai aku mendapatkan informasi seleksi seni itu.

Noah memang penuh talenta, terlebih saat dia mengirimkan lukisan cat minyak yang sebenarnya dibuat khusus untukku. Tidak hanya itu, aku juga pernah meminta sesuatu darinya—sebuah lagu. Dia lama mengabulkannya, tapi akhirnya dia mengirimkan kaset rekaman. Aku baru sadar kemudian, kaset walkman yang selama ini menemaniku, ternyata berisi permainan piano Noah. Ya, Noah juga bisa bermain alat musik. Itu adalah permainannya yang ia rekam sendiri setelah tahu aku adalah seorang pianis.

Noah yang kukenal dari surat-surat itu adalah anak penuh dengan mimpi-mimpi, yang terkadang terlalu kecil untuk melawan besarnya rasa pesimis dalam dirinya. Sayangnya, lingkungannya tidak mendukung. Saat aku datang ke pulau ini, aku baru mengetahui alasannya.

Surat keempat terakhir Noah mengabarkan bahwa ia dihubungi oleh pihak panitia seleksi—bahwa ia lolos sepuluh besar dan diundang untuk seleksi akhir, mencari tiga terbaik yang akan diberi kontrak pameran oleh lembaga seni bergengsi.

Surat ketiga dan kedua tidak menyebutkan bahwa ia akan datang ke kota tempatku tinggal. Namun saat surat terakhir tiba, dia mengabarkan bahwa dia akan datang sekaligus menemuiku. Dia memberitahukan bagaimana ciri-cirinya, di mana kami akan bertemu, dan berapa lama ia akan berada di kota, sekaligus kapan proses seleksi berlangsung. Aku tidak berbohong kalau aku sangat menantikan perjumpaan kami. Aku bahkan membalas surat itu dengan cepat, dan mengirimkan beberapa foto tempat—dari stasiun yang akan ia tuju hingga lokasi galeri seleksi. Aku sengaja memberinya petunjuk visual berupa foto bangunan agar ia tidak tersesat dan merasa familiar dengan tempat-tempat itu.

Namun sayang, pada hari itu tiba, aku tidak bisa bertemu dengan Noah. Banyak sekali hambatan—dari mobilku yang harus masuk bengkel, ibuku yang terlambat datang karena urusan sekolah yang belum selesai, hingga kecelakaan di perempatan jalan menuju gedung tempat seleksi berlangsung.

Aku tidak tahu apakah Noah tahu bahwa aku terlibat dalam kecelakaan itu atau tidak. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar kecewa denganku karena tidak datang dan tidak mengabarkannya. Tidak ada satu pun kemungkinan yang bisa kupastikan. Sedangkan untuk pulih, aku membutuhkan waktu berbulan-bulan. Aku tidak tahu apakah ada surat yang dikembalikan oleh pos karena rumahku selalu kosong dan aku berada di rumah sakit, atau memang Noah tidak pernah mengirim surat lagi karena kecewa.

Semenjak insiden itu, aku bahkan tidak pernah mengingat lagi surat-surat itu. Yang ada hanya kemarahan—karena hidupku terasa tidak adil. Terkadang saat aku terbangun di pagi hari, aku mendapati diriku menangis. Aku tidak tahu apa yang harus kuingat dan apa yang sedang kucari setiap pagi. Tapi ada satu perasaan yang selalu melekat: resah. Seolah aku kehilangan sesuatu. Kupikir aku sudah kehilangan semangat hidupku.

Aku selalu mencari, tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya kucari—seseorang, benda, sesuatu, atau memang harapan hidup itu sendiri. Namun saat aku menemukan dan mendengarkan lagu dari walkman itu, perasaan ini seakan-akan menyelimutiku kembali. Perasaan yang kurasa sudah lama menyatu denganku sejak hari itu. Hari-hari yang sudah kulupakan—genangan darah yang menghantuiku, suara samar yang mendadak menghilang, hujan yang menyakitkan. Itu seperti adegan dari mimpi yang tidak mungkin nyata. Pemandangan yang menakutkan, namun tidak bisa kulupakan.

Aku selalu percaya bahwa ada sesuatu yang sedang ku kejar. Tapi pikiranku tidak bisa menginterpretasikannya. Aku hanya menerka-nerka dengan perasaan resah, apa yang sedang kualami.

Aku tidak pernah sadar bahwa lagu dari walkman yang selama ini kudengarkan adalah sesuatu dari masa laluku—yang bahkan kulupakan bagaimana bisa hadir. Aku hanya mendengarkannya berulang-ulang tanpa menyadari bahwa hal itulah yang selama ini ku kejar.

Noah...
Benarkah itu kau?
Benarkah kau juga ingin bertemu denganku?
Surat?
Apakah aku yang salah karena tidak mengirimkan lagi?
Itu kenapa kau selalu menunggu.
Maafkan aku, aku bahkan tak sanggup berbicara seperti ini denganmu.
Bahkan tidak pernah berpikir kau akan menunggu, aku malah melupakanmu.
Air mataku terjatuh lagi.
Padahal dulu akulah yang sering memberikannya semangat, sekarang aku yang justru kehilangan semangat hidup.
Aku tidak tahu apakah kedatanganku ke pulau ini seperti takdir.
Aku datang untuk menemuimu, namun nyatanya kaulah yang datang menemuiku duluan.
Memang tidak mudah untuk bertemu denganmu—bahkan hatiku belum siap dan jarak pun cukup jauh.

“Sedang apa malam-malam di sini?” suara laki-laki tiba-tiba bertanya di belakangku.
Aku terkejut, dan malu, lalu buru-buru menghapus air mataku.
“Kau...? Kau... menangis?” tanyanya lagi.

Aku mengusap air mata yang membuat pandanganku kabur, dan perlahan mulai melihat sosok seorang anak laki-laki berdiri tak jauh dariku—tidak, maksudku... dia ketua kelasku, Kenan. Ia berdiri sambil membawa kantung keresek di tangan kirinya dan sebuah senter kecil di tangan kanannya.

“Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanyaku dengan suara parau, berusaha menyembunyikan kekalutan. Aku segera berdiri dan membalikkan badan, berniat meninggalkannya.

“Kau mau ke mana?” tanyanya, suaranya terdengar santai, namun senter di tangannya menyinari kakiku, seolah tak ingin membiarkanku pergi begitu saja.

“Mau pulang! Emangnya kenapa? Dasar banyak omong,” balasku ketus, mempercepat langkah sambil menggerutu dalam hati.

Jalanan yang kulalui sangat gelap. Lampu jalan dipasang dengan jarak yang tak masuk akal. Rumah-rumah saling berjauhan. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar takut berjalan malam di pulau ini.

Kilau cahaya senter masih terlihat di belakangku. Dia mengikutiku.

“Kau yakin mau pulang sendirian?” tanya Kenan lagi. Suaranya kini sedikit lebih serius. Kenapa sih anak ini malah jadi seperti pengawal pribadi?

“AAAA!!” aku menjerit spontan. Saat aku memutar tubuhku, niatnya untuk memarahi dia langsung kandas karena... dia sudah berdiri tepat di depanku! “Kau kenapa sih tiba-tiba muncul kayak hantu begitu!” seruku panik.

“Eh? kau yang berhenti mendadak!” katanya membela diri dengan nada bingung.

Aku mendengus jengkel. Kumasukkan tangan ke kantong depan bajuku, seperti kantong Doraemon sambil jalan menjahuinya. Dalam hati aku menggerutu, Kenapa sih dia nggak ngerti kode bahwa aku pengen sendiri!

Tapi kakiku membeku saat aku merasa hawa di sekitarku jadi makin... tidak nyaman. Semakin aku menjauh, semakin aneh rasanya.

“Kau yakin pulang ke arah situ?” Kenan berjalan cepat menyejajari langkahku, kali ini terdengar agak cemas.

“Kenapa sih kau ngikutin terus?! Bisa nggak sih, jangan mengikutiku!” hardikku sengit.

“Oke, oke,” katanya sambil mengangkat satu tangan. “Kalau itu maumu, aku pergi. Tapi sebelum itu…”

Ia menyorotkan senternya ke arah jalanan yang akan kulalui. “Kau lihat jalan ke depan itu? Sudah masuk area kebun. Gelap total. Sedangkan rumahmu... ya, ke arah yang tadi kau tinggalkan.”

Dia menunjuk jalan lain—jalan yang barusan kutinggalkan.

Aku menelan ludah. Baru kusadari tidak ada satu pun lampu jalan ke arah sana. Sementara Kenan sudah menjauh.

Ya tuhan... aku pikir apa barusan?

“Kenan!” teriakku dengan panik. “Tunggu dulu!” seruku sambil mengejarnya.

Aku berlari menyusulnya dan akhirnya berjalan di sampingnya. Dalam hati, aku bersyukur—dan malu.
Andai aku nekat masuk ke area itu... bisa-bisa besok aku ditemukan duduk melingkar sambil nangis di kebun orang.
Apalagi sinyal di sini parah banget. Bisa-bisa aku dikira hilang.

Kenan tetap diam. Tatapannya lurus.
Aku menoleh kanan-kiri, berusaha memastikan bahwa kami benar-benar di jalur yang tepat.
Suasana pulau ini... seperti mimpi buruk. Gelap. Sepi. Merinding. Dari kejauhan, aku mendengar lolongan anjing yang panjang dari arah bukit.
Astaga... jangan-jangan ada serigala?! pikiranku mulai melantur.
Atau... werewolf?
Kalau setampan Song Joong Ki sih nggak masalah... tapi kalau beneran? Mati aku!

“Kenan…” bisikku cemas, mencoba lebih dekat. Tapi dia tetap diam.

“Tempat ini... aman, kan?”

“Sejauh ini sih, belum ada sejarah orang dimakan serigala,” jawabnya ringan tanpa menoleh.
Aku mengangguk, merasa sedikit lega.

“Lagi pula, di sini nggak ada serigala.”

“Terus... itu suara tadi?”

Tiba-tiba dia berhenti. Menoleh padaku sambil menyenter ke arah gelap hutan di samping.
“Itu suara... anjing jadi-jadian,” katanya pelan, lalu menyunggingkan senyum sinis dengan ekspresi menakutkan. “Kau tahu kan... setiap daerah pasti punya mitos horor sendiri... misalnya—”

Plakk!
Kupukul wajahnya dengan lengan jaket yang masih tersampir di pundakku.

“Jangan coba-coba nakut-nakutin aku!” sentakku kesal, wajahku memerah, antara marah dan takut.

Kenan terdiam. Wajahnya terkejut. Ia mengangguk kikuk dan langsung membalikkan badan, meninggalkanku tanpa kata.

Aku celingukan. Sekujur tubuhku bergidik.
Serius... dia ninggalin aku sendirian di jalan segelap ini?!

“Kenan!!” jeritku ketakutan. Aku berlari mengejarnya. “Kenan, tunggu...!”

Aku menarik belakang bajunya. Dia hampir saja tersungkur ke belakang karena kaget.

“Kau apaan sih?!” bentaknya, lalu melangkah menjauh dariku.

“Kau yang apaan! Gimana bisa ninggalin aku sendirian di tempat seperti ini!” balasku putus asa.

“Aku nggak peduli.”

Aku melotot. Gila... dia tega banget?!

“Antar aku pulang!” suaraku tinggi, hampir merengek.

“Aku bahkan nggak kenal kau. Kenapa aku harus mengantar?”

“Aaaahh!!” Aku merengek sekeras-kerasnya seperti anak kecil. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. “Huhuhu... kejam banget sih kamu...!”

Dia menghela napas panjang, kesal.

“Huuh... kalian semua sama aja!” gumamnya lirih.

Aku mendongak. “Kalian? siapa?”

“Orang-orang yang—entah kenapa tugasku selalu nganterin pulang,” keluhnya. “Ayo, jalan! Tapi kalau kau nangis lagi, aku tinggal!”

Aku buru-buru mengusap air mata dan mengangguk patuh.

Sebelum kami berbelok di tikungan, aku akhirnya memberanikan diri membuka mulut, masih dihantui rasa penasaran yang menggantung di benakku sejak tadi.

“Waktu kau bilang ‘kalian’... maksudmu siapa? Aku dan siapa yang sering minta diantar pulang?” tanyaku pelan, mencoba terdengar tenang, meski dalam hati degupku tak karuan.

“Kau kenal orangnya,” jawabnya datar, tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.

“Aku bahkan baru beberapa hari di sini. Mana mungkin aku langsung kenal orang-orang?” sahutku sedikit kesal.

“Kalau kau lihat seseorang yang... kelihatan seperti kena fenomena ‘Anaerobiosis’, ya... seperti itulah dia,” ucapnya santai, tapi nadanya menyimpan teka-teki.

Aku mengerutkan kening. “Apa lagi itu? Anaerobiosis? Ya ampun, kenapa sih dari tadi semua orang pakai istilah aneh-aneh! Aku nggak ngerti!”

“Cari aja di internet. Kau anak kota, kan? Jangan-jangan... kau bahkan nggak tahu apa itu internet?” balasnya dengan ekspresi mengejek yang jelas-jelas disengaja.

Aku mendelik padanya, menahan emosi yang mendidih di kepala. Kugapai ponselku dari saku jaket dan mulai membuka browser meski sinyal seperti siput kelelahan.

“Ana... ana-ero-bio-sis...” gumamku sambil mengetik.

Sayangnya, sinyal benar-benar menyebalkan. Butuh waktu cukup lama sampai laman pencarian terbuka dengan baik.

“Hmm... pantes aja, ini istilah biologi toh,” aku mendesah keras sambil menaikkan sebelah alisku. “Aku anak IPS, tahu!”

Lalu dengan wajah setengah mengejek, aku menatapnya. “Jadi... kau berteman dengan... mikroorganisme?” kataku, penuh sindiran.

Langkahku terhenti. Kenan menoleh sebentar, tanpa ekspresi, lalu kembali melangkah seperti tak terjadi apa-apa. Aku cepat-cepat mengejarnya.

“Eh! Jawab dong. Serius nih, bagaimana caranya kau bisa berteman dengan mikroorganisme?” desakku penasaran.

Dia tetap tak merespons. Hanya tatapan malas dan kesal yang sesekali terpancar dari raut wajahnya. Entah kenapa, aku merasa seperti sedang berbicara dengan tembok.

Tiba-tiba, dia berhenti.

Aku juga ikut berhenti, menatapnya.“Jadi, gimana... berteman dengan mikroorganisme itu—”

“Pura-pura aja kita nggak pernah ketemu malam ini. Dan... kau juga nggak usah terima kasih karena udah kuantar pulang,” potongnya datar, tanpa menoleh sedikit pun.

Aku terdiam. Dia marah? Apa aku keterlaluan?

Tapi pikiranku langsung beralih pada layar ponselku yang masih terbuka, menampilkan artikel tentang ‘anaerobiosis’.
Mataku tertumbuk pada kalimat: “bisa hidup tanpa udara atau oksigen.”

Entah kenapa, bagian itu terasa... mencurigakan.

“Temanmu itu... bisa hidup tanpa udara... atau oksigen?” tanyaku ragu. Bukan itu sebenarnya yang ingin kutanyakan, tapi aku terlalu takut untuk bertanya langsung: Apakah dia berteman dengan... sesuatu yang tak terlihat?

“Hantu?”

Aku menggigit bibir, merinding dari kepala sampai kaki. Terlebih saat melihat Kenan menyeringai—bukan sembarang senyum, tapi... senyum yang ganjil. Menyeramkan.

Mungkin aku yang terlalu banyak berkhayal. Atau... jangan-jangan memang ada yang aneh?

Tiba-tiba dia membalikkan badan dan berjalan pergi, meninggalkanku yang masih tenggelam dalam pikiran-pikiran aneh.

Spontan aku menangkap lengannya. “Hei! Kau... mau ninggalin aku lagi?”

Dia berhenti. Menoleh sebentar dengan ekspresi ambigu.

“Atau... kau yang mau ikut bersamaku?” katanya dengan nada ambigu, menggoda, dan entah kenapa membuatku merinding.

Refleks aku menghempaskan tangannya. “Huh! Dasar aneh!” desisku dengan jijik. Apa sih yang ada di otak anak ini?

Tanpa bicara, dia mengangkat dagunya, mengisyaratkan sesuatu di sebelah kiri.

Aku menoleh mengikuti arah tunjuknya. Dan... “Oh!”

Aku terdiam. Mataku membulat.

Ternyata aku sudah berdiri di depan rumahku sejak tadi...

Wajahku langsung memanas. Malu luar biasa.

“Uh... ya udah... thanks,” gumamku canggung, langsung berjalan cepat menuju pekarangan rumah.

Aku tak berani menoleh ke belakang. Entah Kenan masih di sana atau sudah pergi. Tapi satu hal pasti: malam ini terlalu absurd untuk kujelaskan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Langkah Pulang
480      340     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Sweet Like Bubble Gum
1359      916     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Main Character
1408      860     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
When Flowers Learn to Smile Again
1001      729     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Menanti Kepulangan
44      40     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Da Capo al Fine
340      279     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Ilona : My Spotted Skin
590      425     3     
Romance
Kecantikan menjadi satu-satunya hal yang bisa Ilona banggakan. Tapi, wajah cantik dan kulit mulusnya hancur karena psoriasis. Penyakit autoimun itu membuat tubuh dan wajahnya dipenuhi sisik putih yang gatal dan menjijikkan. Dalam waktu singkat, hidup Ilona kacau. Karirnya sebagai artis berantakan. Orang-orang yang dia cintai menjauh. Jumlah pembencinya meningkat tajam. Lalu, apa lagi yang h...
Sweet Seventeen
1245      852     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Liontin Semanggi
1609      972     3     
Inspirational
Binar dan Ersa sama-sama cowok most wanted di sekolah. Mereka terkenal selain karena good looking, juga karena persaingan prestasi merebutkan ranking 1 paralel. Binar itu ramah meski hidupnya tidak mudah. Ersa itu dingin, hatinya dipenuhi dengki pada Binar. Sampai Ersa tidak sengaja melihat kalung dengan liontin Semanggi yang dipakai oleh Binar, sama persis dengan miliknya. Sejak saat...
Fragmen Tanpa Titik
44      40     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...