Loading...
Logo TinLit
Read Story - Heavenly Project
MENU
About Us  

"Rein? Are you, okay? Kalau lo lelah, istirahat aja. Mata lo asli bengkak. Gue nggak tau kenapa, semacam perpaduan habis nangis, begadang, atau jangan-jangan ...."

Sisil menutup mulut tidak percaya, matanya membulat. Suara meleking itu bisa saja berteriak keras jika tidak mengingat di mana ia berada. Lagi-lagi di hari Senin yang cerah ini ada banyak korban berjatuhan di saat upacara. 

Beruntunglah, salah satu korban itu tidak ada nama Sakha di dalamnya.

"Jangan-jangan apa, Sil?" tanya Reina pelan, tanpa tenaga. Tidak ada Reina dengan semangat api yang membara, gadis itu kini seperti daun di musim gugur, kering, layu, dan jatuh. 

"Lo punya pacar, Rein?" tanya Sisil. "Lo nggak habis ditolak atau putus gimana, kan?"

"Pacar gimana etdah, Sil? Emang ada orang yang mau sama gue, hah?" tanya Reina mengeluarkan beberapa obat dari lemari, lalu meneguknya. Ia pijit kedua pelipis dengan pelan begitu juga dahi agar mengurangi sensasi berputar hebat. "Gue izin istirahat bentar, Sil. Kalau ada apa-apa, atau lo sama Lim kelabakan, pokoknya langsung panggil gue." 

"Iya, iya." Sisil mengembus napas jengah, memutar bola mata. Ia menemani Reina, hingga gadis itu merebahkan tubuh di brangkar, lalu menarik selimut di bawah kaki. "Lo juga kalau ada apa-apa, kabarin kita. Gue sama Lim, bukan orang lain atau sekedar teman satu ekskul dengan lo. Kita juga sahabat lo, paham?" 

Reina mengangguk paham, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sisil yang mengerti akhirnya kembali menyibak gorden pembatas, memberi ruang bagi Reina untuk sendirian. 

Menyebalkan. Reina menelan ludah, begitu bulir air bening perlahan jatuh dari sudut matanya. Rasa sakit atau kehangatan yang membingungkan. Sungguh, Reina benar-benar tidak paham. 

Perhatian, saling mengandalkan satu sama lain, herannya lagi tanpa menuntut dirinya untuk melakukan sesuatu dan terlihat sebagai manusia. Sungguh, Reina tidak mengerti. 

Apakah boleh ia bertemu dengan orang-orang sebaik ini? Sisil, Lim, atau mungkin ... Sakha? Bagaimana jika pada akhirnya orang-orang itu akan pergi ketika ia tanpa sengaja menyakitinya? 

Bukankah itu jauh lebih menyeramkan? Tidakkah seorang Reina ini rasa-rasanya seperti sampah? 

"Gue kenapa, hm?" gumam Reina pada diri sendiri, ia biarkan air mata itu mengalir deras, sembari menatap gorden dengan pandangan menerawang. Tidakkah ini benar-benar terlihat mneyedihkan?

Usaha dan hasil kerja kerasnya runtuh dalam semalam. Ia berusaha menahan diri untuk tidak membeli sesuatu, tetapi entah mengapa begitu mudah memberikan hasil kerjanya kepada pria itu?

Ayah ... tidakkah menyedihkan, bahwa dirinya seorang baru bisa mendapatkan pujian ketika pria itu mengambil hasil kerja kerasnya? Tidakkah itu menyebalkan dan membuat Reina ingin menyerah begitu saja? 

Lagipula, ada sebuah rahasia, mungkin akan ia telan hingga mati dalam seumur hidupnya. Bukan karena tidak bisa berbicara, melainkan ia tidak yakin apakah itu benar ataukah sebaliknya? 

 

***

 

Masuknya jam pelajaran, yang awalnya Reina kira menyenangkan di mana pikirannya dapat teralihkan oleh pelajaran, kini malah sebaliknya. Suatu hal langka, di mana sebuah cokelat batangan tertera di mejanya, dan Reina yakin itu jelas bukan untuknya. 

"Kurang ajar," umpat Reina pelan dengan mata yang masih membengkak. Ia menopang dahi dengan sebelah tangan, sembari berharap tenaganya kembali memenuhi tubuhnya. 

Tidak bisakah orang-orang ini membiarkannya untuk beristirahat. Mungkin bisa saja ia beristirahat di ruangan kesehatan dengan berbagai macam alasan, tetapi nyatanya? Tentu tidak, betapa rugi bila dirinya ketinggalan penjelasan dan lagipula Reina baru tau betapa menyeramkannya ruang kesehatan itu. 

Berbaring sembari menatap langit ruangan seorang diri, lalu pikirannya mengimajinasikan beberapa hal, dan menyebalkannya adalah bukan bayangan baik yang ia pikirkan. Menyeramkan, di mana pikirannya malah menjadi semakin berisik dan riuh, berusaha sebisa mungkin Reina menghentikan, tetapi yang ada ia malah seperti ikut terseret di dalam kegelapannya. 

Rasa sakit, bingung, marah , sedih. Sungguh, Reina bingung. Rasanya seperti tubuh ada di sini, tetapi jiwa entah ke mana melayang pergi. Tiba-tiba saja rasanya ingin berteriak, kacau, tidak menerima. 

Nahas semakin Reina berusaha menolak kegelapan itu, malah ia diseret ke dalamnya. Rasanya sesak, membuat tubuhnya membrku, begitu juga bulir keringat yang mengucuri dahi. 

"Reina ...." 

Reina tidak tahu ini panggilan yang ke berapa, tetapi tepukan di lengan dari belakang membuat Reina tersentak. Guru yang tadi memberikan materi, kini mulai memberikan tugas di salah satu buku panduan. 

"Ibu sedang ada perlu dan kelas akan Ibu tinggalkan sementara waktu. Setelah selesai dikerjakan tugasnya, bisa tolong antarkan ke meja kantor?" 

Reina mengangguk pelan. 

Hingga akhirnya kelas yang tadi hening, kini riuh. Tidak adanya guru membuat para murid bebas melakukan apa pun. Ada yang mengerjakan tugas secara berkelompok, ada yang memutuskan berkeliling untuk mencari contekkan, dan juga ....

Reina menoleh, menatap seseorang dari bangku belakang sudut kiri itu dengan tajam. Ia selalu merasa dilihat dan diawasi, Reina tau siapa makhluk menyebalkan itu. 

Sakha. 

Ya, siapa lagi yang mengedarkan pandangan secara tergagap ketika langsung didapati oleh Reina. Nick masih dengan buku komik di balik buku pelajaran, sementara Sakha menunduk seolah membaca buku. 

Tak ingin rasa penasaran memenuhi kepalanya, Reina bangkit, sembari menenteng buku tugas dan juga kursi kayu. Membawanya ke samping Sakha. 

"Nggak usah panik, gue nggak minat sita komik lo hari ini," ujar Reina, negitu terjadi kehebohan di kedua bangku itu. Sakha yang sibuk meantau keadaan dan Nick yang sibuk menyelamatkan komiknya. "Gue mau belajar di sini, boleh?" 

Ulasan senyum terbit dari bibir Sakha, dengan semangat ia menepikan buku-buku yang memenuhi meja. Nick memandang Reina dengan ekspresi anehnya. "Kenapa lo? Tumbenan. Kelas juga riuh gini, biasa lo yang paling sibuk ketuk penggaris ke meja supaya yang lain diam." 

Reina berkacak pinggang. "Jadi, lo senang kalau tuh komik gue sita, hah? Sini! Kasih ke gue!" 

Nick menggeleng, memegang erat salah satu buku pelajaran yang Reina yakini ada buku lain di dalamnya. Reina mendesis, setengah menghentakan bukunya ke meja. "Kerjain dulu sana tugas lo! Baru baca komik lagi." 

"Iya, iya." Nick menurut, meraih pena dari kantong tas, menekan ujungnya. Sama halnya drngan Sakha dan Reina, meskipun pada nyatanya Sakha yang terlebih dahulu siap. Dalam tundukkan kepala, matanya diam-diam melirik ekspresi serius gadis itu. 

"Kalau misalnya ada bantuan, kamu bisa andalkan saya, Rein," ucap Sakha. 

Nihil, bukannya ucapan terima kasih seperti yang Sakha harapkan. Gadis itu mengangkat sebelah sudut bibir, sorot mata yang seperti habis menangis seharian itu bergetar, seakan ingin menumpahkan air mata yang menggenang di sana. "Kerjakan tugas lo, Kha."

Sakha mengabaikan, berbicara mengikuti keinginan diri saja. "Cokelat di atas meja kamu, jangan lupa dimakan. Saya nggak tau kamu kenapa dan apa yang bisa buat kamu bahagia. Yang pasti, saya baca, ada beberapa senyawa di cokelat yang bisa menimbulkan rasa bahagia." 

"Triptofan, feniletilamin, dan teobromin. Tiga senyawa itu bisa merangsang produksi neurotransmitter, meningkatkan serotonin dan endorfin di otak," balas Reina menambahkan penjelasan. "Makasih, Kha. Lain kali jangan merepotkan diri lo, paham?" 

Mungkin Sakha yang tidak mengerti, atau bisa jadi kesabaran Rein yang tipis itu tidak dapat diluncurkan karena kondisi dalam tubuhnya yang terlalu sesak, tidak ada yang tau. Yang pasti, hari ini Reina tidak bersikap bossy seperti biasa, dan herannya, bisa ditaklukkan oleh Sakha yang tidak seberapa. 

"Beritau saya, Rein. Apa yang bisa buat kamu bahagia." 

Reina mengernyitkan dahi, lalu kembali menulis. "Bukan urusan kamu." 

Sakha tersenyum tipis, tatapan sendu itu beralih ketika akhirnya Sakha memutuskan untuk mengembus napas panjang, memijit pelipis dengan pelan. "Kalau kamu seperti ini, kelas terus menjadi riuh. Saya tidak suka."

Reina yang menyembunyikan pandangan dengan geraian poninya, secepat mungkin mengusap mata dengan lengan, fokus kembali dengan soal di hadapan. 

Bahkan gue sendiri nggak tau, Kha. Hal apa yang bisa buat gue bahagia.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Survive in another city
124      103     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
1514      695     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Is it Your Diary?
160      127     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Only One
889      632     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
Tumpuan Tanpa Tepi
10869      3036     0     
Romance
Ergantha bercita-cita menjadi wanita 'nakal'. Mencicipi segala bentuk jenis alkohol, menghabiskan malam bersama pria asing, serta akan mengobral kehormatannya untuk setiap laki-laki yang datang. Sialnya, seorang lelaki dewasa bermodal tampan, mengusik cita-cita Ergantha, memberikan harapan dan menarik ulur jiwa pubertas anak remaja yang sedang berapi-api. Ia diminta berperilaku layaknya s...
Renata Keyla
6676      1543     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
I'm Growing With Pain
13940      2099     5     
Romance
Tidak semua remaja memiliki kehidupan yang indah. Beberapa dari mereka lahir dari kehancuran rumah tangga orang tuanya dan tumbuh dengan luka. Beberapa yang lainnya harus menjadi dewasa sebelum waktunya dan beberapa lagi harus memendam kenyataan yang ia ketahui.
Cinta Tiga Masa
11      5     0     
Romance
Aku mencurahkan segalanya untuk dirimu. Mengejarmu sampai aku tidak peduli tentang diriku. Akan tetapi, perjuangan sepuluh tahunku tetap kalah dengan yang baru. Sepuluh tahunku telah habis untukmu. Bahkan tidak ada sisa-sisa rasa kebankitan yang kupunya. Aku telah melewati tiga masa untuk menunggumu. Terima kasih atas waktunya.
BigHope Company
63      57     1     
Short Story
Seharusnya, aku tahu bahwa aku dan dia tidak bisa bersama. Semesta membuatku terlalu jatuh dalam pesonanya yang bersinar layaknya cahaya di tengah-tengah kegelapan. Lantas, apakah perasaanku ini hanyalah sebuah kesalahan belaka? Apapun itu ... aku bahagia pernah menaruh rasa untukmu. Idolaku sekaligus Bosku.
Hey, Limy!
1464      673     3     
Humor
Pertama, hidupku luar biasa, punya dua kakak ajaib. kedua, hidupku cukup istimewa, walau kadang dicuekin kembaran sendiri. ketiga, orang bilang, aku hidup bahagia. Iya itu kata orang. Mereka gak pernah tahu kalau hidupku gak semulus pantat bayi. Gak semudah nyir-nyiran gibah sana-sini. "Hey, Limy!" Mereka memanggilku Limy. Kalau lagi butuh doang.