Suara riuh televisi terdengar, memenuhi ruang tengah yang tampak terang dengan cahaya bola lampu yang dihidupkan. Langit malam kini mendominasi bersama titik bintang yang menghiasi.
Sakha yang berdiri tertegun menatapi suasana malam melalui jendela, kini membalikkan badan. Ia daratkan tubuhnya ke sofa sembari menonton acara komedi yang entah mengapa tidak terasa lucu hari ini.
Sakha yakin, para artis itu sudah totalitas dengan komedinya. Hanya saja Sakha sedang tidak selera untuk sekarang. Ia hanya ingin bersama pikirannya, tetapi untuk berdua saja bersama pikiran sepertinya akan sepi sekali.
"Ma," panggil Sakha, sembari meraih kucing kecil yang mengeluskan diri pada kaki Sakha, tetapi masih saja menggeram saat ia berusaha mengambil dan menggendongnya. "Ada yang mau Sakha tanya."
"Apa?" tanya perempuan dengan kacamata yang bertengger di hidungnya. Suara sentuhan jari dengan laptop tidak terhindarkan, wanita itu duduk di kursi kerjanya, tidak jauh dari Sakha.
"Menurut Mama, kenapa perempuan harus bekerja keras? Maksudnya, alasan selain uang gitu, Ma." tanya Sakha hati-hati.
"Alasan selain uang," gumam Mama Sakha. Perempuan itu memejamkan mata sejenak, lalu memperhatikan anaknya. "Mereka ingin bermanfaat untuk sekelilingnya. Ah, bisa juga untuk mengalihkan pikiran."
"Alihkan pikiran?" Sakha tidak mengerti. "Pikiran yang gimana?"
"Perempuan yang kamu maksud sebenarnya siapa, Sakha? Mama atau siapa?" tanya perempuan itu balik, menatap tajam dari sudut matanya. Berhasil membuat Sakha berdehem, membenarkan posisi duduknya. "Jangan sampai ketahuan Mama kalau kamu punya pacar."
Sakha menggeleng pelan. Ia menunduk, sembari menggelitiki perut hewan berbulu itu. "Tidak ada, Sakha bertanya karena murni penasaran," jawab Sakha pelan, mengembus napas panjang.
Merasa hawa dingin memenuhi ruangan, secepat mungkin Sakha bangkit, menutup pintu kamar. Ia rebahkan tubuhnya di atas kasur dengan kesal, sembari meringkuk dalam selimut tebal.
Pada nyatanya, sendiri atau tidak, rasanya sama-sama kesepian, bukan?
***
Peking University.
Kedua sudut bibir Reina terangkat, matanya yang bulat tampak berbinar sembari menatap selembar foto dari universitas ternama di Cina yang kini menjadi rebutannya. Bukankah orang bilang, kerjarlah ilmu sampai ke negeri Cina? Sekarang, biar Reina yang akan berusaha mewujudkannya.
Langkah pertama, tentunya ia harus giat belajar. Teknik pomodoro, di mana seseorang belajar dalam jangka waktu berapa dan mengambil jeda dalam berapa menit untuk beristirahat.
Metode doodling, di mana ia akan belajar entah dari video atau sebuah buku, sembari membiarkan sebelah tangan mencoret lembaran kertas kosong. Tidak oerlu coretan yang bermakna, coretan abstrak juga sudah cukup untuk membuatnya mengingat.
Mind of Palace, juga menjadi teknik yang paling Reina unggulkan meskipun pada nyatanya ingatan di kepala tidaklah begitu baik. Reina akui, teknik yang digunakan dalam buku Sherlock Holmes ini unik, cukup membayangkan sesuatu yang diingat lalu diletakkan di sebuah benda atau ruangan tertentu.
Seperti ada ruangan dan dunia khusus di dalam otak. Entah pintu yang mana ia buka, tetapi yang cukup mempengaruhi suasana hatinya.
"Bisa, Rein. Semangat," gumam Reina.
Kedua, belajar saja tidak cukup. Dirinya juga harus realistis betapa sederhananya keluarga ini. Sederhana? Entahlah, sebenarnya Reina tidak yakin, hanya saja beberapa keadaan menuntutnya untuk menjadi lebih hemat, perhitungan, dan bekerja lebih keras mencari tambahan yang ada.
Kuliah di luar negeri memang banyak yang bisa menggunakan beasiswa, hanya saja dalam mengurus berkas juga membutuhkan biaya, bukan? Lagipula, ada beberapa kasus yang Reina baca, ketika sampai di tempat yang dituju, uang beasiswa yang dijanjikan tidak kunjung cair dan pada akhirnya? Ya, jika tidak bekerja sambilan, tentu balik ke negeri sendiri.
Perlahan, Reina mengepalkan tangan mengatur napasnya yang tersengal. Ia ingin, tetapi ia tidak yakin. Namun, meskipun tidak yakin, ia harus berusaha baik belajar maupun mematahkan ketidakyakinan itu.
"Reina."
Reina yang tadinya menatap foto gedung univesitas di genggaman, kini menoleh ke arah pintu. Tidak ada ketukan, hanya seorang pria paruh baya yang masuk secara tiba-tiba dengan senyumnya yang lembut.
Menyeramkan, batin Reina. Matanya langsung menyalang tajam, rasa was-was mulai menghinggapi tubuhnya. Laki-laki ini pasti menginginkan sesuatu darinya bukan?
"Ayah tadi ada lihat uang di toples celengan kamu."
Sudah Reina duga, pasti akan ada pembicaraan ke sana. Reina diam saja, enggan membuka suara. Sorot matanya tajam, seakan menyimpan banyak rasa dendam di dalam sana.
"Ayah mau pinjam. Beli rokok. Ah, ada cicilan Ayah lainnya juga, yang jatuh tempo dalam waktu beberapa hari lagi. Tolong Ayah, ya?" ucap pria paruh baya yang hanya mengenakan celana pendek bersama singlet.
"Ambil aja," gumam Reina tercekat. Membiarkan pria paruh baya itu meraih toples bening di dalam lemarinya. Tanpa reaksi, ia kembali kalut dalam buku-bukunya, berusaha mengabaikan pria di sampingnya.
"Terima kasih," ucap pria itu, mengusap puncak kepala Reina dengan bangga. "Tidak rugi Ayah punya anak seperti kamu."
Reina mengangkat sebelah sudut bibirnya tipis. Ketika pintu kamar kembali ditutup, ia meremas selembar foto di tangannya lalu setengah menghentaknya ke tong sampah dengan kasar.
Entah harus senang atau sebaliknya, mengapa ingin mendapatkan pengakuan rasanya begitu menyesakkan?