Kehangatan baru
Pagi itu, langit membentang cerah. Burung-burung berkicau pelan, seperti tak tahu bahwa dunia seseorang sedang runtuh. Cahaya matahari masuk melalui jendela yang sudah terbuka, dibuka oleh Paman Thalen, saat membangunkan Lenard pagi tadi.
Lenard membuka matanya perlahan. Tidurnya gelisah, penuh mimpi buruk yang terus berulang. Ingatan itu… masih terukir jelas. Tubuh Ibu dan Ayah tergeletak di lantai, dingin dan tak bernyawa.
Ia menoleh ke jendela. Angin pagi mengusap wajahnya lembut, tapi tak mampu menenangkan gejolak di dadanya. Pandangannya kosong menatap luar.
Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh. Biasanya, pada jam segini, ia sudah duduk di bangku sekolah, bercanda dengan teman, membuka buku pelajaran.
Tapi sekarang... sekolah itu mungkin sudah tak ada. Hanya menyisakan puing-puing hangus yang hitam, tempat di mana tawa anak-anak pernah hidup. Lenard menghela nafas. Pikirannya kalut.
"Lenard! Ayo sarapan!" Suara itu terdengar dari arah dapur, bukan suara Ibu, melainkan suara Paman Thalen. Suara yang terasa asing namun kini menjadi satu-satunya yang memanggil namanya dengan hangat.
Lenard bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah menuju dapur. Di sana, meja makan sudah tertata rapi. Di balik meja, Thalen tampak sudah siap untuk mulai harinya. kemeja putih bersih, jas terpasang rapi, dasi hitam melingkar di lehernya. Wajahnya bersih, tampan. Lenard duduk di seberang pamannya. Di depannya, tergeletak piring kosong.
“Sok, ngambil sendiri ya. Sengaja paman nggak ambilin, siapa tahu kamu mau ngambil banyak,” ujar Thalen dengan nada ringan.
Lenard hanya mengangguk kecil. Ia mengambil centong nasi, menyendokkannya perlahan. Gerakannya hati-hati, seperti takut membuat suara di ruangan yang sunyi itu.
Thalen memperhatikan diam-diam. Pandangannya tidak sekadar melihat, lebih seperti menganalisis. Seolah tiap gerakan Lenard menyimpan potongan cerita yang ingin ia pahami, satu per satu, dalam diam.
“Kamu nanti di rumah sendiri, ya, Paman baru pulang pukul tujuh malam. Maaf jadi membiarkan mu sendiri di rumah.” Lenard menggeleng, ia menaruh sendoknya.
“Ga perlu minta maaf, Paman, aku gapapa kok.” Thalen tersenyum. Tangannya mengambil sesuatu dari kantong jas nya. Mengeluarkan beberapa lembar uang.
“Nih, uang jajan, pake aja, jangan sungkan.” Thalen menaruh lembaran uang itu di samping piring Lenard. Sedangkan Lenard, ia memperhatikan tangan pamannya menaruh uang tersebut.
“Gak kebanyakan-“
“Udah ambil aja, jangan sungkan.” Suara Thalen lebih terdengar seperti memaksa.
“B-baiklah, makasih Paman.” Thalen terkekeh, ia bangkit, berjalan mendekat, tangannya terulur untuk mengacak-acak rambut Lenard.
“Oh ya, nanti kalo ada anak kecil, Perempuan, datang kerumah sambil bawa gula. Bilang makasih ya. Kata paman gitu. Oke?” Lenard mengangguk.
“Paman berangkat, ya, Lenard, tolong jaga rumah.” Tangan Thalen berhenti mengacak-acak rambut Lenard. Kini tangannya meraih tas kecil tak jauh dari tempat ia memakai sepatu. Thalen membuka pintu, lalu keluar dan menutup pintunya lagi.
Lenard terdiam. Ia menatap makanan di depannya. Ia menggelengkan kepala. Berusaha menghilangkan pikiran pemandangan kejadian malam kemarin lusa.
***
Pagi ini, Lenard, muncul keinginan di benaknya, ia ingin membantu membersihkan rumah sebagai bentuk terima kasih pada Paman Thalen. Tapi begitu ia mulai berjalan menyusuri lorong rumah, rencana itu perlahan berubah.
Entah kenapa, rumah Paman dipenuhi berbagai alat canggih. Ada robot penyapu lantai yang bisa bicara, alat pengepel otomatis yang mengikuti jejak debu, mesin pembuat kopi yang hanya butuh satu sentuhan jari, hingga kulkas yang bisa menyapa dengan suara ramah. Bahkan di luar, rumput taman pun dibersihkan oleh robot kecil yang meluncur seperti kura-kura modern. Tirai terbuka otomatis begitu matahari menyentuh jendela.
Lenard berdiri terpaku. Dari mana Paman membeli semua ini? pikirnya.
Ia menghela napas. Mungkin... membersihkan kamarnya saja cukup. Ia berjalan menuju lemari peralatan untuk mencari sapu, tapi ternyata, tidak ada sapu. Hanya robot penyapu itu, duduk diam seperti menunggu perintah. Mau tak mau, Lenard membawanya. Saat ia mengangkat robot itu, terdengar suara ketukan pelan di pintu depan.
Tok. Tok. Tok.
“Paman Thalen, aku mau nganterin gula!” Suara itu terdengar seperti suara anak perempuan. Lenard meletakkan robot, lalu berjalan ke arah pintu. Ia membukanya.
Di ambang pintu berdiri seorang anak perempuan, mungkin seumurannya. Rambutnya cokelat dan panjang, matanya hijau terang. Ia menatap Lenard penuh tanya.
“Kamu siapa? Mana Paman Thalen?” Lenard terdiam sejenak.
“Aku... ponakannya. Paman sudah berangkat kerja dari tadi.”
“Oh...” Anak itu cemberut.
“Ya udah deh, ini gulanya. Bilang ke Paman kamu, makasih buat gula kemarin ya.” Lenard menerima kantong kresek berisi gula itu.
“Kata Paman juga makasih.”
“Sama-sama.” Anak itu tersenyum.
“Eh, nama kamu siapa? Siapa tahu kita bisa berteman.” Lenard menatap wajah cerianya. Diam sejenak. Lalu berkata,
“Aku Lenard.” Anak itu mengulurkan tangan.
“Salam kenal, Lenard. Aku Lyra. Senang bertemu denganmu. Teman?” Lenard membalas uluran tangannya.
“Teman.” Mereka saling melepaskan tangan. Lyra kemudian berlari menjauh sambil melambai.
“Dadah, Lenard! Lain kali main sama aku ya!” Lenard berdiri di ambang pintu, memandang punggung Lyra yang makin menjauh. Suara langkah kakinya perlahan menghilang. Untuk pertama kalinya sejak malam itu, dadanya terasa... sedikit lebih ringan.
***
Malamnya, Lenard duduk di sofa ruang tengah, memandangi layar televisi yang menyala. Acara apapun di depan matanya tak benar-benar ia perhatikan, ia hanya menunggu. Menunggu Paman Thalen pulang. Hingga akhirnya...
Klik.
Suara gagang pintu diputar. Thalen masuk.
"Lenard, aku pulang." Lenard langsung mematikan TV, berlari kecil menyambut pamannya. Ia mengambil tas kerja Thalen dan mengangguk sopan.
"Eh? Makasih, Lenard." Thalen tersenyum, melepas jasnya dan duduk di sofa dengan napas lega. Ia menatap Lenard, ekspresinya lembut namun sedikit serius.
"Lenard, Paman mau tanya sesuatu." Lenard menatap balik, penasaran.
"Kamu mau sekolah lagi?" Spontan, Lenard mengangguk dengan semangat.
"Mau!"
"Kalau besok lusa?" Lenard mengangguk lagi, bahkan lebih cepat. Thalen tertawa pelan.
"Oke, untung Paman sempat daftarin kamu ke salah satu sekolah tadi pagi." Lenard tersenyum lebar.
“Beneran?!”
"Iya. Eh, tadi gimana yang gula?"
"Udah, Paman. Kata Lyra makasih buat gula kemarin."
"Kalian udah kenalan?" Lenard sempat ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk.
"Iya." Thalen tersenyum puas.
“Bagus. Kalau nggak salah, Lyra juga sekolah di sana. Kalian bisa bareng, tuh. Teman baru.” Senyum Lenard melebar. Dalam hati, ia bersorak, asyik! Hidupnya yang sempat hancur... seolah mulai dibangun ulang, pelan-pelan.
"Paman mau dibantuin apa? Paman pasti capek." Thalen menggeleng sambil bangkit.
"Udah, nggak usah. Kamu siap-siap tidur aja. Paman mau bersihin diri dulu."
"Oke." Lenard pun berjalan menuju kamarnya. Pintu kamarnya tertutup perlahan.
Thalen berdiri di ruang tamu yang mulai hening. Ia menarik napas panjang.
“Oke…kerja lagi." gumamnya pelan.
***
Hari yang ditunggu-tunggu tiba.
Lenard berdiri di depan mobil dengan seragam merah putih, topi merah di kepala, dan tas hitam di pundaknya. Ia memperhatikan Paman Thalen yang mondar-mandir seperti emak-emak panik, ambil bekal, botol minum, lalu dompet.
Akhirnya, Thalen berdiri di depan Lenard sambil mengobok dompetnya.
"Nih, uang jajan," katanya, menyerahkan selembar seratus ribu. Lenard melongo, tapi tetap mengambilnya.
"Ayo masuk, udah telat. Duh, kenapa gue rempong begini sih," gerutunya. Lenard menahan tawa sambil masuk ke mobil. Mesin menyala, dan mereka melaju menuju sekolah baru Lenard.
Sesampainya di sekolah, Lenard terpaku. Gedungnya… gila, ini sekolah elite! Ada tiga gedung megah untuk SD, SMP, dan SMA. Masing-masing tiga lantai, luas, dan modern. Taman hijau tertata rapi, air mancur menyala, parkiran penuh, dan masih ada gedung indoor buat olahraga. Lenard melongo. Lalu menoleh ke arah pamannya. Sebenarnya... Paman kerja apa sih? batinnya.
Lenard turun dari mobil, disusul Thalen yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Mereka berjalan beriringan, tangan Thalen menggenggam tangan Lenard seperti seorang ayah mengantar anaknya. Dengan penampilannya, Thalen benar-benar mirip rich daddy. Bahkan, seorang guru muda sampai menabrak tiang karena terlalu fokus menatapnya. Thalen dan Lenard menahan tawa. Paman seganteng itu kah?... Pikir Lenard.
Setibanya di ruang guru, Thalen menyerahkan Lenard pada wali kelas 5A, kelas baru Lenard. Kelas enam sudah penuh, jadi ia harus mengulang di kelas lima. Tapi Lenard tak keberatan. Bukankah Lyra juga di kelas itu? Anak kecil pengantar gula dan yang kemarin datang meminta garam ke rumah pamannya, lalu mengajaknya bermain sebentar.
Lenard akhirnya diantar ke kelas oleh guru perempuannya, Bu Ayla. Sesampainya di sana, Bu Ayla duduk di kursi guru, membiarkan Lenard berdiri sendiri di depan kelas, diperhatikan oleh teman-teman barunya.
"Silakan perkenalkan dirimu, Lenard. Sebutkan nama, umur, tempat tinggal, dan sekolah sebelumnya." Lenard menelan ludah.
“Halo semua, namaku Lenard. Umurku dua belas tahun. Aku tinggal di perumahan Modern House. Sebelumnya aku sekolah di SD Bangsa jaya 1.” Beberapa murid langsung berbisik-bisik. Kabar tentang desa yang terbakar dan penduduknya yang hilang memang sudah menyebar. Apalagi sekolah lama Lenard juga ikut hangus.
"Diam, semuanya. Tidak sopan membicarakan orang lain," tegur Bu Ayla.
"Ayo, sambut Lenard dengan ramah."
"Senang bertemu denganmu, Lenard! Semoga kita bisa berteman baik!" seru seorang anak perempuan lantang. Lenard menoleh. Itu Lyra. Ia tersenyum, sedikit lega. Seketika rasa hangat namun aneh menghmpirinya.
"Baiklah, Lenard, silakan duduk di bangku kosong," ucap Bu Ayla.
Lenard melangkah pelan, matanya menyapu ruangan. Ia melihat Lyra melambaikan tangan, menunjuk bangku kosong di sebelahnya. Bukannya tadi sudah ada orang di sana? Ternyata, teman sebangku Lyra rela pindah demi keinginan Lyra duduk bersama Lenard. Lenard duduk.
"Beneran ya, ternyata kamu sekolah di sini, kata Paman Thalen," bisik Lyra. Lenard hanya mengangguk.
"Nanti ke kantin bareng yuk. Aku nggak ada temen," ajak Lyra sambil tersenyum. Teman sebangkunya yang tadi hanya melirik dan terkikik kecil.
Hari itu, Lenard resmi punya teman baru, Lyra Selveryne. Mereka sering pulang bersama, kadang diantar Paman Thalen, kadang oleh ibu Lyra sepulang kerja.
Tahun-ketahun berganti. Mereka tumbuh, bermain, dan belajar bersama. Namun saat SMA, jalan mereka berpisah. Lenard tetap di sekolah yang sama, sementara Lyra diterima di sekolah impiannya di luar provinsi. Meski jarak memisahkan, kenangan mereka tetap tinggal di hati masing-masing. Eaa...