Berbeda tempat
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan pintu memecah keheningan pagi buta. Dengan mata yang masih berat karena kantuk, seorang pria berjalan menuju pintu rumahnya. Langkahnya pelan, tak terburu-buru. Namun pintu terbuka, rasa kantuk itu langsung sirna.
“Lenard?” Thalen membelalakkan mata, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di ambang pintu berdiri seorang anak laki-laki, bajunya kotor, wajahnya pucat dan lesu. Rambutnya berantakan, matanya kosong.
Thalen segera berjongkok, menyamakan tinggi tubuhnya dengan keponakannya itu. Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipi Lenard dengan lembut.
“Ya ampun... kamu kenapa? Kamu luka?” suaranya pelan, khawatir.
“Masuk, masuk dulu, ayo...”
Lenard tak menjawab, hanya mengikuti langkah pamannya masuk ke dalam rumah. Ia duduk di atas sofa.
Thalen berlari kecil ke dapur, mengambil air minum secepat mungkin. Saat kembali, ia melihat Lenard hanya menatap lantai, tak bersuara. Tangannya gemetar, seolah mencoba menahan sesuatu yang terlalu berat untuk ditanggung anak seusianya.
“Nih minum.” Thalen mendekatkan gelas ke bibir Lenard dengan hati-hati. Tangan kecil itu terlalu lemah bahkan untuk menggenggam gelas sendiri
Setelah cukup, Thalen menarik gelas dan meletakkannya diatas meja. Ia duduk di samping keponakannya, tubuhnya condong sedikit, matanya tak lepas dari Lenard. Ia ingin bertanya. Ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, melihat sorot mata Lenard… Thalen tahu, pertanyaan apa pun tak akan mendapat jawaban yang jelas, setidaknya belum sekarang.
Thalen menarik napas pelan. Ada sesuatu yang salah. Sangat salah. Seketika, firasat buruk menyergap dadanya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada yang terjadi.
Sesuatu yang besar.
Ia meraih tangan Lenard, menggenggamnya erat dan baru saat itu ia sadar, tangan kecil itu bergetar.
“…Lenard,” bisiknya lirih, penuh hati-hati,
“kalau kamu nggak bisa cerita sekarang, nggak apa-apa. kamu di sini aman. Di sini kamu nggak sendiri.”
Namun Lenard tetap diam. Matanya menatap lurus ke depan, menembus ruang, seolah menyaksikan kembali apa yang telah ia lalui. Dan tanpa sepatah kata pun, air mata kembali jatuh dari sudut matanya.
Thalen hanya bisa memeluknya perlahan, mencoba memberi rasa hangat yang mungkin telah hilang.
Beberapa menit, ruangan tenggelam dalam keheningan. Hanya suara napas Lenard yang masih berat dan sesekali detik jarum jam yang nyaris tak terdengar. Hingga akhirnya, dengan suara serak dan gemetar, Lenard membuka suara.
“Paman…” Thalen langsung menoleh.
“Iya? Sudah mendingan?” Lenard mengangguk pelan. Tatapannya kosong, tapi ada keberanian yang perlahan terkumpul di matanya.
“Gini, Paman… Kakak…” Ia terdiam, menelan ludah, seolah kata-kata berikutnya terlalu berat untuk diucapkan.
“Kenapa kakak kamu? Bukannya kata Ibu, Naln sudah lama nggak pulang ke rumah?” tanya Thalen. Lenard menarik napas dalam-dalam.
“Iya… Tapi… kemarin malam… kakak pulang.” Alis Thalen terangkat, mulai bingung.
“Oke... Lalu kenapa? Apa yang terjadi?” Lenard menggigit bibir bawahnya. Ia menunduk, tangannya mengepal kuat di atas pangkuan.
“Dia… ngebunuh Ayah… sama Ibu…” Sejenak, waktu seolah berhenti. Napas Thalen tercekat. Matanya melebar.
“Kakak kamu…?” gumamnya tak percaya.
“Lenard, kamu… kamu main-main, kan? Kamu nggak sehat. Mungkin kamu cuma… halusinasi. Mimpi buruk…” Lenard langsung menggeleng keras, air matanya mulai jatuh satu per satu.
“Aku nggak bohong, Paman! Aku lihat sendiri! Aku lihat semuanya! Dia... dia pakai pedang, dan... dan... mereka jatuh…” Suara Lenard pecah. Tubuh kecilnya bergetar.
Thalen membeku. Tangannya sempat terulur mengguncang bahu Lenard, tapi kemudian berhenti sendiri, kaku. Wajahnya pucat. Dunia terasa oleng di sekelilingnya. Kakaknya… Tirell… benar-benar…?
Ia memalingkan wajah. Menutup matanya. Air mata mengalir tanpa permisi. Dengan cepat, ia menyekanya dengan kasar.
“K-kenapa Naln membunuh mereka?” Thalen Kembali bertanya. Suara nya terdenggar gugup, ada kesedihan di dalamnya.
“Kayaknya…kakak mulai benci sama orang yang udah ngolok-ngolok kakak, tapi dia kalo ga salah denger…ngebantai satu desa, termasuk kampung aku, ngebakar rumah-rumah pake ular, terus ngubah penduduk desa jadi monster…E-eavron.” Thalen diam sejenak. Bukannya ular itu sudah…
Ia menghela nafas. Tidak tahu akan jadi seperti ini.
“Yaudah kamu istirahat dulu,ya. Mandi gih sana, nanti paman siapin baju sama sarapan. Kita lanjut ceritanya nanti ya.” Lenard mengangguk, tak bisa menolak, ia lapar.
***
Sron menatap Naln dengan tajam, namun seringai puas terukir di bibirnya. Tawa pelan lolos dari tenggorokannya, bukan tawa biasa, tapi tawa yang dingin, licik, dan menyimpan kebanggaan gelap.
“Bagus,” ucapnya, suaranya rendah.
“Aku bangga padamu.” Matanya turun ke arah kalung yang menggantung di leher Naln. Bentuknya kini berbeda, sedikit lebih berkilau, lebih tajam di ujungnya dan lebih bercorak. Ada sesuatu yang berubah.
“...Kau meneteskan darahmu pada kalung itu, bukan?”
Nada Sron terdengar tenang, tapi dinginnya menusuk. Naln yang menunduk mendadak tegang. Matanya melebar. Darimana Sron tahu? Apa dia... mengawasinya?
“Jangan takut, Naln. Aku tidak akan marah,” lanjut Sron, melangkah pelan menghampiri.
“Justru aku kagum. Aku tidak menyangka kau akan seberani itu. Tapi...” Ia berhenti, menatap tajam ke arah Naln.
“Kau telah melakukan kesalahan besar.” Naln spontan mendongak, jantungnya berdegup kencang.
“Apa maksudmu?” Sron menyeringai.
“Kau membiarkan satu orang hidup.” Naln tak menjawab, tapi sorot matanya berubah. Cemas. Terkejut.
“Kau pikir aku tidak tahu?” Sron melanjutkan.
“Kau kira aku tak bisa bicara dengan alam, sama seperti kau, Naln? Jangan bodoh.” Naln terdiam.
“Dulu, aku juga pernah seperti kau. Sama. Aku membiarkan satu orang hidup... karena aku pikir dia berarti.” Ia mendongak menatap langit, sejenak muram melintas di wajahnya.
“Dan sampai sekarang aku menyesal.”
“Aku tidak peduli,” potong Naln. Suaranya dingin, tapi getir.
“Terserah aku. Aku bebas memilih siapa yang akan kubiarkan hidup.”
“Oh?” Sron mengangkat alis.
“Baiklah. Tapi aku sarankan... ubahlah dia. Atau bunuh. Itu lebih mudah.” Naln memalingkan wajah.
“Tidak.” Suaranya tajam, penuh penolakan. Ia berbalik, mulai melangkah menjauh tanpa menoleh lagi. Sron menghela napas panjang, menatap punggung Naln yang perlahan menjauh.
“Dipikir-pikir… bagaimana kabarmu, sahabat?” gumamnya pada diri sendiri. Kalimat itu lebih lembut, namun tak kalah gelap.