"Deringle"
Malam itu, bulan bersinar terang di langit yang kelam. Ratusan bintang menggantung di angkasa, berkerlap-kerlip seperti cahaya harapan yang sulit untuk diraih. Langit malam tampak indah, tapi tidak dengan hati seorang pejalan kaki yang tengah hancur.
Langkah demi langkah terdengar pelan, seolah tiap jejak menyimpan luka. Naln, anak yang kini tanpa rumah, tanpa tempat berpulang, melangkah perlahan di jalan setapak.
Di belakangnya, sepuluh ular mengikuti dalam barisan rapi, seakan mereka tahu arah yang harus dituju. Andai ada orang lewat, mungkin mereka akan menyebutnya pawang ular. Tapi kenyataannya? Naln hanyalah anak yang dibuang.
Ia menengadah, menatap bintang dan bulan yang menggantung diam di atas sana. Sudah berapa lama ia berjalan, ia tak tahu.
Lampu-lampu jalan di sekitarnya berkedip-kedip tak beraturan. Beberapa padam, beberapa menyala sempurna, seperti mencerminkan pikirannya, kusut, terputus, remang.
Ia benar-benar sendirian. Meski ada sepuluh ular yang mengikuti, tak satu pun dari mereka bisa menggantikan suara manusia. Tidak ada yang bisa mengerti bahasanya. Tidak ada yang bisa membalas kesepiannya.
Dalam hatinya, perlahan tumbuh rasa benci terhadap para warga. Perasaan yang dulu selalu ia hindari, kini perlahan muncul. Entahlah… mungkin ini memang saatnya. Tapi meski begitu, pikirannya terus melayang ke satu nama, Lenard.
Apa yang tengah dia lakukan sekarang?
Mencariku?
Memikirkanku?
Aku… sangat khawatir padanya.
Tiba-tiba, hadir suara tanpa wujud.
"Kau sudah lama berjalan. Apa kau punya tujuan?" Suaranya seperti gema angin yang berbisik dari sela pepohonan. Suara yang tidak asing. Naln menunduk, menjawab lirih,
“Ada.”
“Kemana?” Ia terdiam sejenak, lalu menjawab dengan ragu,
“D-Deringle…” Hening. Seketika udara terasa menegang.
“Darimana kau tahu nama itu?” Suara Alam terdengar lebih dalam, lebih berat, ada nada serius di sana. Sebuah peringatan. Naln mengernyit.
“M-Memangnya kenapa dengan hutan itu?”
“Jawab pertanyaanku. Dari mana kau tahu nama itu?” Nada tajam itu menusuk. Naln menelan ludah.
“Dari… seseorang dalam mimpi. Seorang lelaki berambut putih yang-”
“Jangan ke sana, Naln.” Alam memotong. Cepat. Tegas. Dingin.
“Kenapa?” Naln menoleh ke arah sumber suara yang tidak pernah benar-benar terlihat.
“Aku penasaran dengan sosok itu. Dia mengajakku ke sana… bahkan menawari pelatihan.”
“JANGAN.”
Suara itu menggema, seperti ribuan daun kering yang bergetar bersamaan. Untuk pertama kalinya, suara Alam terdengar menyeramkan, bukan karena kerasnya, tapi karena ketegasannya yang mutlak. Naln terdiam, tapi tidak tunduk.
“Aku akan tetap pergi,” gumamnya.
“Tidak cukupkah aku menjadi pelatihmu tanpa wujud?” tanya Alam, terdengar getir. Naln menggeleng pelan.
“Bukan begitu, Alam. Kau membantuku, tapi hanya sementara waktu... Sedangkan dia—dia menawarkan kekuatan yang lebih…”
“Pokoknya jangan.” Naln mengeraskan rahangnya.
“Kau tak berhak mengaturku,” desisnya.
“Aku akan ke sana. Jangan ganggu aku, Alam.” Hening. Tidak ada balasan. Hanya suara langkah Naln yang kembali menggema di jalan malam, dan tatapan bulan yang kini seakan mengawasinya dengan pilu.
Saat masih di kampung, Naln pernah diam-diam pergi ke perpustakaan desa. Ia menghabiskan waktu berjam-jam menyisir lembaran peta tua negaranya, mencari satu nama yang terus menghantui pikirannya "Deringle."
Sebuah hutan. Letaknya di Provinsi Jawa Barat. Bahkan saat pelajaran TIK di sekolah, Naln memanfaatkan komputer untuk mencari informasi lebih dalam. Ia pikir, siapa tahu suatu hari aku ke sana... mencari sosok berambut putih dalam mimpiku.
Dan kini, hari itu tiba.
Ia melanjutkan jalannya. Hingga ia menemukan sebuah kawasan dengan pepohonan yang tinggi, lebat, dan liar. Hutan itu gelap, sunyi… dan menyeramkan. Apa yang ada di sana? Apakah makhluk seperti ular-ular api ini berasal dari sana juga?
Sepanjang perjalanannya, Naln memperhatikan pagar tinggi mengelilingi area hutan. Terlihat kokoh, dilapisi logam hitam mengilap, dan yang paling mencolok, ada semacam medan energi di sekelilingnya. Sensor pelindung. Aura magis atau teknologi, Naln tak yakin, tapi yang jelas tak ada kekuatan biasa yang bisa menembusnya.
Lalu, bagaimana ia bisa masuk?
Naln terus melangkah menyusuri tepian pagar, berharap menemukan celah atau sesuatu… dan setelah beberapa menit berjalan, matanya menangkap sesuatu. Sebuah gerbang.
Gerbang tua, tinggi, menjulang dengan lambang kuno di bagian tengahnya. Di sana tertulis dengan jelas dalam huruf kapital yang sedikit memudar:
"DON’T ENTER!" Dan di bawahnya:
"DERINGLE."
Naln menatapnya lekat-lekat.
Naln menggenggam jemarinya erat. Di balik rasa takutnya, ada tekad yang mulai menyala. Ia melangkah mendekati gerbang itu, tak tahu apakah ia sedang menuju awal kehidupan baru atau…kematian.
Naln memberanikan diri memegang slot besi pada gerbang itu. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada semburan energi, tidak ada alarm, bahkan tidak ada reaksi dari medan pelindung seperti yang mengelilingi pagar.
Ia menggeser pintu gerbang perlahan. Suara logam tua berderit mengiris keheningan malam. Gerbang itu terbuka. Kok bisa? Mungkin… sensor pelindung hanya bekerja pada pagar yang mengelilingi hutan. Bukan pada gerbang utama ini.
Tanpa ragu lagi, Naln melangkah masuk. Hutan ini… sunyi. Terlalu sunyi. Bahkan suara jangkrik pun tak terdengar.
Naln menatap lurus ke depan. Gelap. Ia tetap melangkah, semakin dalam…
Gelap semakin menjadi. Udara makin dingin, seperti malam yang tak pernah selesai. Untungnya, Naln tidak benar-benar sendirian.
Ia memberi isyarat pada ular-ularnya. Tiga dari mereka membuka mulut dan menahan api kecil di sana, seperti obor hidup. Setidaknya sekarang aku bisa melihat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan langkahnya lebih jauh ke dalam Deringle.
Beberapa menit berjalan, Naln mulai merasa... ada sesuatu yang mendekat. Langkahnya terhenti.
BUM!
BUG!
Sebuah hantaman keras melempar tubuhnya ke udara. Ia terbanting menghantam batang pohon dengan suara retakan pelan di sela napasnya yang tercekat.
Sebuah sosok muncul dari dalam gelap. Tinggi. Hitam. Tubuhnya besar dan kabur seperti kabut pekat yang memadat menjadi daging. Saat Naln mendongak, ia melihat mata biru menyala, bersinar terang di antara kegelapan.
WUUUSH!
Naln menggerakkan tangannya, ular-ular api langsung bereaksi, menyemburkan lidah-lidah panas ke arah sosok itu. Tapi...
BRAK!
Sosok hitam lainnya muncul dari samping. Disusul satu lagi... dan satu lagi... dan lagi. Mereka bermunculan dari balik pepohonan, dari tanah, dari bayang-bayang. Dua... tiga... empat... enam... Kenapa semakin banyak?
Naln terdesak. Ia berusaha menghindar sekuat tenaga, tubuhnya terhuyung, lututnya lemas. Api sudah tak cukup untuk menahan mereka. Tapi tiba-tiba, sebuah ide melintas.
Naln menatap mata salah satu sosok hitam. Fokus. Lebih dalam... Dan mata itu berubah biru terang, seperti milik Naln.
Dengan sisa kekuatannya, ia mengendalikan sosok itu. Sosok itu kini berbalik melawan kawannya sendiri, menghantam, menebas, mencabik. Namun... terlalu banyak.
Naln terhempas lagi. Sekali... dua kali... tiga. Ia terbanting ke batang pohon, ke tanah, ke akar yang mencuat seperti tangan-tangan kematian.Napasnya pendek. Kesakitan menjalar ke tubuh.
Kenapa... pemulihanku lambat sekali? Saat serang warga, luka-luka bisa sembuh seketika. Tapi sekarang... tidak. Darah mengalir dari pelipis dan sudut bibirnya. Luka bertambah. Sakitnya nyata.
BUG!
BUG!
BUG!
Naln terduduk lemas. Punggungnya bersandar pada pohon. Pandangannya buram. Dunia bergoyang. Ular-ular api miliknya kini di tangan sosok hitam, dicekik, ditahan, tak berdaya. Mereka tak mati.
Para sosok hitam itu mengelilingi Naln. Diam, tapi mengancam. Seperti sedang bersiap menghabisinya. Tubuh Naln remuk. Penuh luka. Nafasnya berat. Matanya nyaris tak terbuka.
"Apa... ini sudah saatnya?" Dalam hati, ia pasrah. Mungkin inilah akhir perjalanan. Di hutan yang tak pernah menyambut siapa pun.
Namun tiba-tiba...
"HENTIKAN!" Sebuah suara. Tegas. Dalam. Bergema. Seperti mengguncang seluruh isi hutan.
Sosok hitam serempak membeku. Lalu perlahan... melepaskan ular-ular itu. Mereka bubar. Seperti diperintah oleh tuan mereka.
Naln mendongak lemah. Di hadapannya, berdiri seorang pria. Rambutnya putih, sedikit berantakan. Matanya, mata itu, terang, tapi dengan dua pupil berbentuk segitiga. Satu menghadap ke atas, satu ke bawah.
Pria itu...
Pria dari mimpi itu...
Ia berjongkok. Wajahnya menatap lurus ke Naln.
"Kau tak apa-apa?" Suaranya berat. Dalam. Tapi ada sesuatu di balik nadanya yang tak bisa Naln pahami. Tangan pria itu menyentuh pundaknya. Hangat.
"Bertahan. Aku akan membantumu." Tapi...Sudah terlambat. Kelopak mata Naln terasa seperti batu. Kepalanya pusing. Dunia memudar. Dan akhirnya... Gelap. Ia pingsan.