Pergi
Naln menatap Bu Tia yang kini telah sadar sepenuhnya. Hatinya sudah siap untuk apapun yang akan keluar dari mulut perempuan itu. Entah teriakan, makian, atau tuduhan. Ia tahu... ini memang kesalahannya. Walaupun tidak sengaja, tetap saja itu terjadi karena dirinya.
Dan Benar saja.
Begitu mata Bu Tia menangkap sosok Naln yang berdiri tak jauh darinya, ekspresinya langsung berubah. Sorot mata yang tadinya lemah seketika dipenuhi amarah. Urat di lehernya menegang. Bahkan tubuh yang tadi tampak lesu, kini perlahan berdiri tegak… seakan kemarahan itu memberinya energi tambahan, walaupun tubuhnya masih kosong belum diisi makanan sejak ia dalam kondisi terhipnotis.
Naln hanya diam di tempat. Napasnya berat, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu Bu Tia marah, dan ia tahu alasannya. Tatapan mata merah yang Bu Tia lihat waktu itu... pasti masih membekas.
Bu Tia perlahan berjalan mendekat ke arah Naln. Langkahnya lambat, tapi mantap.
Pak Budi tampak khawatir dengan istrinya yang baru saja terlepas dari hipnotis, ia mencoba menahan istrinya, namun tangan Bu Tia terangkat menolak.
Naln menelan ludah. Ia mundur satu langkah secara refleks.
“Kau...!” Suara Bu Tia terdengar serak, namun penuh tekanan. Tatapannya seperti ingin penuh dengan amarah.
“Kau yang telah menghipnotis saya, kan?!” Bentaknya, keras, menggema di seluruh ruangan. Suasana hening. Bu Dea terdiam, Pak Budi hanya bisa menghela napas.
Naln mengambil langkah mundur lagi. Tapi ia tidak lari. Tidak bersembunyi. Ia tahu, melarikan diri hanya akan membuat semuanya jadi lebih buruk. Walaupun dadanya terasa sesak setiap kata yang di keluarkan dari mulut Perempuan itu.
Bu Dea menggenggam pundak Naln dengan lembut, menariknya pelan. “Maaf, Bu. Lebih baik Ibu istirahat dulu, makan, minum. Kan Ibu baru saja terlepas dari hipnotis, pasti efeknya masih terasa dan bisa berpengaruh pada kesehatan kalau tidak segera diobati.”
Pak Budi mengangguk setuju dan melakukan hal yang sama pada istrinya. “Betul tuh. Ayo makan dulu.”
Bu Tia diam sejenak, memandang Naln dengan tatapan yang masih penuh amarah, meski kemarahannya mulai mereda. Ia lalu berbalik menuju dapur.
Tiba-tiba, terdengar suara gaduh dari luar rumah. Pak Budi segera menyuruh sang istri tetap di dalam. Bu Dea dan Naln ikut keluar untuk mengecek keadaan.
Saat Pak Budi membuka pintu, tampak kerumunan warga telah berkumpul di halaman. Beberapa membawa obor menyala, sebagian lainnya membawa benda-benda lain.
“Ada apa ini sampai ramai-ramai di depan rumah saya?” suara Pak Budi terdengar lantang.
“Kami mencari anak itu, Pak!” teriak seorang warga.
“Iya! Anak yang telah menghipnotis istri Bapak!” warga lain menimpali. Pak Budi menarik Naln ke depan, memaksanya untuk menunjukan diri di hadapan warga.
“Itu dia anaknya!” teriak beberapa warga.
“Usir dia!” suara warga mulai membahana. Bu Dea berusaha menarik Naln agar segera masuk kembali, tapi Pak Budi menahannya.
“Kau tidak ingin kampung kita aman dari anak satu ini!?” bentak Pak Budi pada Bu Dea. Detik-detik berikutnya, salah seorang warga meraih lengan Naln…
Splash!
Naln seketika menghilang, teleport ke arah berlawanan dari kerumunan. Dengan cepat Naln berlari. Tanpa berpikir panjang. Para warga segera mengejar dari belakang.
“K-kenapa jadi seperti ini...” suara Naln pecah diiringi isak tangis.
Air mata membasahi wajahnya, menetes di pipi. Ia takut. Ia tak ingin diusir dari kampung yang selama ini menjadi rumahnya. Bagaimana dengan Lenard tanpa dirinya?
“Usir monster satu ini!” teriak warga.
“Usir! Usir! Usir!
***
Tirell sedang mengangkat jemuran baju. Ada yang sudah kering, ada yang setengah kering, dan ada juga yang lembab. Ia terpaksa segera mengangkatnya karena langit seperti memberi tanda sebentar lagi hujan akan turun.
Angin mulai bertiup sedikit lebih kencang dari sebelumnya, membawa aroma basah dan dingin. Awan mendung menggantung berat, langit berubah menjadi abu-abu pekat. Hawa dinginnya saat menyentuh kulit seperti tusukan es batu yang menusuk tulang.
"Ibu! Ibu! Ibu!." Suara Lenard terdengar, yang awalnya samar, perlahan menjadi jelas ketika anaknya menghampiri Tirell dengan langkah tergesa.
"Ada apa, Nak?" kata Tirell sambil menoleh ke arah Lenard.
"Itu ada Pak Yenda, Bu. Katanya mau ngobrol sebentar," jawab Lenard dengan nada serius.
"Oh, baiklah." Tirell segera menyelesaikan mengamankan jemurannya, lalu melangkahkan kaki menghampiri Pak Yenda yang sedari tadi berdiri menunggu di teras rumah.
"Ada apa, Pak?" tanya Tirell dengan wajah penasaran.
"Oh, Bu," kata Pak Yenda seraya menoleh kepada Tirell,
"Saya ke sini ingin memberitahu sesuatu yang penting." Tirell mengangkat alisnya, semakin penasaran.
"Memberi tahu apa, ya?" Pak Yenda diam sejenak, mencari kata-kata.
"Anak Ibu, Naln, sedang dikejar warga." Mata Tirell membelalak kaget. Namun tidak khawatir atau cemas, hanya penasaran.
"Memangnya Naln kenapa?" Pak Yenda menghela napas panjang. Sudah berkali-kali ia jelaskan ke warga yang bertanya.
“Bu. Jadi begini... Anak Ibu sempat menghipnotis Bu Tia, dan baru sekarang hipnotis itu berhasil dilepas. Lalu, pada hari Senin kemarin, Naln juga membuat tiga temannya hilang tanpa jejak."
Tirell terdiam, dadanya sesak menahan gelombang emosi. Di sampingnya, Lenard berdiri polos, tak mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi.
"Sekarang di mana Naln?" tanya Tirell dengan suara pelan tapi tegas.
"Biar saya antar, jika Ibu mau," jawab Pak Yenda. Tirell mengangguk cepat, lalu menoleh ke arah Lenard.
"Kamu di sini saja ya, jaga rumah."
"Kakak kenapa, Bu?" tanya Lenard dengan nada cemas.
"Tidak usah ikut-ikut, ini bukan urusan anak kecil," jawab Tirell, lalu tanpa menunggu jawaban lagi, ia bersama Pak Yenda segera melangkah menuju lokasi Naln.
Lenard masih berdiri terpaku di depan pintu dengan angin yang semakin kencang menerpa wajahnya. Ia menatap arah punggung ibunya yang perlahan menghilang di kejauhan. Dalam hati, ia terpikir tentang kakaknya. Setelah berpikir panjang, Lenard berlari meninggalkan rumah dan membiarkan pintu di belakangnya masih terbuka. menyusul ibunya tanpa sepengetahuannya. Ia sangat khawatir sesuatu akan terjadi kepada sang kakak.
***
Di sisi Naln... Ia masih berlari, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia melihat sekumpulan warga yang sudah mengepung di arah berlawanan, siap menghadangnya. Jalan buntu. Suara teriakan mulai menggema di udara.
"Kau tidak bisa kemana-mana sekarang!"
"MONSTER!"
"PERGI DARI SINI!"
"WUUUUUUH!"
Naln menelan ludah berat. Ia tahu, sebenarnya ia bisa teleport secepat kilat untuk meloloskan diri, tapi saat ini ia sedang menyusun sebuah rencana. Rencana yang, jika berhasil, bisa membuat siapa saja yang menyaksikannya terdiam terpana, bahkan tak menyangka.
Naln terdiam. Perlahan, rasa putus asa merayapi benaknya. Apakah ini saatnya ia berpamitan pada Lenard?
"Kau telah menghilangkan anakku!" teriakan nyaring memecah kerumunan. Itu adalah suara ibu Vero, anaknya yang hilang.
"Anakku yang paling kecil pulang-pulang sekolah bukan dengan senyum, tapi menangis. Dia bercerita bahwa yang membuat Vero dan dua temannya hilang adalah MONSTER SATU INI!"
Sorakan warga pun menggema: "Lebih baik usir saja dia dari kampung ini!"
Tirell baru saja tiba, berjalan menembus kerumunan tanpa peduli siapa pun yang dilangkahinya. Matanya langsung menangkap sosok Naln yang tengah dihujani makian. Tatapan mereka bertemu.
"Ibu..." suara Naln lirih. Namun, untuk apa berharap pada ibunya? Tirell pasti memihak warga.
Tiba-tiba, suara yang sangat familiar terdengar jelas di telinga Naln.
"Kakak!"
Lenard berlari terbirit-birit, mencoba menerobos kerumunan yang berusaha menghalanginya. Dengan segala daya, Lenard berhasil menghampiri dan memeluk Naln erat-erat. Pipinya basah oleh air mata yang mengalir deras.
"Kakak, jangan pergi..."
Air mata Naln pun mengalir, membasahi pipinya. Dalam hati, Naln terbayang bagaimana jika Lenard harus menghadapi semua ini tanpa dirinya? Kesepian, sendirian...
Naln berjongkok, menyamakan tingginya dengan Lenard. Tangannya terangkat pelan, membelai rambut sang adik yang sedikit berantakan karena angin dan tangis. Sentuhannya lembut, seolah ingin menenangkan, bukan hanya Lenard, tapi juga hatinya sendiri yang sedang kacau.
"Ini sudah waktunya, Lenard..." ucap Naln, suaranya nyaris berbisik.
"Kau harus lebih mandiri, ya? Kakak... kakak sudah nggak layak tinggal di sini." Sebuah senyum mengembang di bibirnya, senyum tipis yang menutupi kesedihan dalam matanya.
Namun Lenard langsung memeluk kakaknya lebih erat.
"KAKAK JANGAN BILANG BEGITU!" teriaknya, tubuh kecil itu bergetar.
Hening menyelimuti sejenak. Hanya isakan tangis Lenard yang terdengar. Lalu dengan suara serak, ia berkata lagi,
"Aku masih pengen ada kakak di sisi aku! Berangkat sekolah bareng, cari kayu bakar bareng, latihan bareng... semuanya bareng! Aku nggak mau itu hilang begitu saja, kakak!"
Dan di saat itu juga, dalam benak Naln, seolah kenangan bersama Lenard terputar seperti kilasan mimpi,tawa kecil mereka saat bermain, obrolan malam saat hujan turun, dan kehangatan sederhana yang mereka bagi.
Walaupun ia tahu semua itu takkan terulang lagi… Naln berjanji dalam hati ia akan mengingat semuanya. Tidak akan melupakannya, walau hanya sedetik pun.
Naln terkekeh, namun penuh dengan kesedihan.
“Mau bagaimana lagi, Lenard? Ini takdir. Lagipula, Ibu juga tidak menginginkan kehadiranku.” Ia diam sejenak.
“Ayah? Entahlah, dia hanya sibuk dengan pekerjaan. Memberi uang, bukan waktu. Bukan perhatian.” Naln melepaskan genggaman tangan adiknya, lalu bangkit perlahan.
“Pergilah. Sebentar lagi serangan mereka sampai ke aku. Kalau kamu di sini, bisa kena juga. Lebih baik kamu bersama Ibu, itu lebih aman.”
Namun bukannya mundur, Lenard justru semakin menempel pada kakaknya. Para warga telah mengangkat benda-benda di tangan mereka, siap dilemparkan ke arah Naln.
“Pergi, Lenard. Jangan begini. Kakak masih ingin kamu hidup.”
“Sedangkan aku gak mau hidup tanpa kakak!” bentak Lenard. Suaranya tegas, penuh keyakinan.
“Jangan, Lenard…” bisik Naln. Ia menghela nafas, tangannya menyambar tangan Lenard.
Splash!
Dalam sekejap, Naln memindahkan Lenard ke hadapan sang Ibu. Tirell langsung menggenggam tangan anak bungsunya dengan panik.
Splash!
Naln kembali ke posisinya, bersiap menerima hujan serangan.
“KAKAK!” Lenard terus berteriak, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman ibunya.
Saat benda-benda itu dilemparkan ke arah Naln... sebagian mengenainya. Namun anehnya, benda-benda itu tak lama jatuh ke tanah begitu saja, dan luka yang sempat terlihat langsung pulih seolah tak pernah ada.
“Jangan khawatir. Aku akan pergi,” ucap Naln. Suaranya tenang, tapi dalam.
“Tapi ingat ini baik-baik. Kalian bukan mengusir monster dari luar... tapi mengusir ciptaan kalian sendiri.” Tiba-tiba…
WUSH!
semburan api menyambar dari entah mana, membakar rumput di hadapan barisan warga. Lalu, sepuluh ular muncul, merayap teratur membentuk barikade. Lenard terpaku. Ular-ular itu... bukankah sudah ditangkap Om Dareth?
Tapi belum selesai keterkejutan itu, tiga sosok muncul tiba-tiba, mengelilingi Naln. Dan ya, mereka adalah Vero dan dua rekannya. Mata mereka biru terang—persis milik Naln. Mereka... dalam kendali penuh. Orang tua mereka menjerit histeris.
“VERO! SADAR, NAK!”
“INI BUKAN VERO YANG KALIAN KENAL!” seru Naln.
“MEREKA BERTIGA TELAH ADA DI BAWAH KENDALIKU! AKU YANG MEMBUAT MEREKA HILANG!”
Kerumunan terdiam. Syok. Tak ada yang bergerak. Api, ular, dan ketiga anak yang hilang... semua berkumpul di satu titik, di bawah kuasa Naln.
Ular-ular itu kembali menyemburkan api, membuat warga panik. Sebuah rumah mulai terbakar. Teriakan menggema. Kekacauan.
Lenard terus mencari celah, menembus asap dan nyala api, sampai akhirnya ia melihat sosok kakaknya. Tanpa ragu, ia hendak berlari, tapi tangan ibunya menghalangi.
“LEPASKAN, IBU!”
“Tidak, Lenard! Kakakmu itu berbahaya!” Lenard menghentakkan tangannya, lepas. Ia berlari ke tengah warga, berdiri tegak. Napasnya memburu.
“KALIAN SEMUA PENGECUT!” teriaknya lantang.
“KALIAN HANYA MELIHAT RETAKAN DI KENING DARIPADA MELIHAT SIAPA DIA SEBENARNYA!” Semua terdiam.
“KALIAN MENAKUT-NAKUTI AGAR MEREKA MENJAUH DARINYA.TAPI PERNAHKAN KALIAN MENAKUT-NAKUTI DIRI KALIAN SENDIRI ATAS PERLAKUAN KEJAM YANG KALIAN BIARKAN TERJADI?!”
Semua terdiam. Hanya suara api yang membara tersisa, mengisi keheningan yang menggantung di udara. Ular-ular itu telah lenyap, mungkin ikut pergi bersama Naln.
Dan kini,monster yang selama ini mereka jauhi... telah benar-benar pergi. Meninggalkan kampung ini, entah untuk selama-lamanya, atau hanya sementara. Tak ada yang tahu.
Mungkin suatu hari, ia akan kembali. Tapi bukan sebagai anak kecil. Melainkan sebagai bencana yang tak lagi bisa ditahan.
Dan semuanya... telah berakhir. Setidaknya, untuk sekarang.